Mongabay.co.id

Suara Anjing Liar Pegunungan Papua Ini Tidak Melolong, tapi Bernyanyi

 

 

Anjing bernyanyi yang ditemukan di wilayah pegunungan Papua belum lama ini menjadi pusat perhatian. Banyak yang menganggap bahwa anjing liar ini sudah hilang. Bahkan, para ahli biologi dan konservasi pernah memperkirakan anjing bernyanyi ini mendekati kepunahan di alam liar karena hilangnya habitat.

Lantas seperti apakah wujudnya?

Anjing ini bernama latin Canis familiaris hallstromi dan lebih dikenal dengan sebutan New Guinea singing dogs [NGSD] atau anjing bernyanyi New Guinea. Jenis ini juga disebut sebagai anjing liar dataran tinggi [Highland Wild Dog] yang dapat dikenali dari ciri khas suaranya yang tidak melolong, namun seperti bernyanyi.

Tahun 2016, sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh lembaga bernama New Guinea Highland Wild Dog Foundation [NGHWDF], bekerja sama dengan Universitas Papua melaporkan adanya temuan 15 anjing liar dataran tinggi di sisi barat Pulau New Guinea. Lokasinya dekat tambang terbuka Grasberg.

Lalu pada 2018, lembaga yang sama yaitu NGHWDF melakukan penelitian, kolaborasi dengan Universitas Cendrawasih Papua. Lokasi riset di Puncak Jaya, Distrik Tembagapura di Kabupaten Mimika. Para peneliti membuat kandang perangkap selama dua minggu dan terdapat 18 anjing bernyanyi yang berhasil diamati.

Dari jumlah tersebut, 10 di antaranya merupakan anjing bernyanyi yang baru diteliti, dan 8 merupakan anjing bernyanyi yang sudah teramati pada tahun 2016. Penelitian itu telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Proceedings of the National Academy of Sciences.

“Meskipun secara genetik mirip dingo [anjing liar Australia], akan tetapi anjing bernyanyi New Guinea mewakili populasi berbeda, sebagaimana dibuktikan oleh morfologi dan perilaku,” tulis para peneliti.

Baca: The Last Glacier, Runtuhnya Salju Abadi Papua

 

Wujud anjing bernyanyi yang ditemukan di wilayah pegunungan Papua. Foto: Dok. Anang Dianto 

 

Dalam jurnal itu disebutkan, populasinya yang sangat kecil dan tidak lebih dari 200 hingga 300, maka sebagian yang ditangkap ini, dikembangbiakkan untuk tujuan konservasi.

Sehingga, populasi anjing bernyanyi di alam liar tidak hanya mewakili unit evolusi penting untuk konservasi dan pengelolaan, tetapi juga merupakan tautan penting untuk memahami domestikasi anjing.

Para peneliti mengungkap, anjing bernyanyi New Guinea pertama kali dideskripsikan mengikuti koleksi spesimen di ketinggian sekitar 2.100 mdpl di Central Province Papua New Guinea pada 1897.

Awalnya, diklasifikasikan sebagai spesies yang berbeda dari Canis hallstromi, namun taksonomi mereka tetap kontroversial karena ketersediaan spesimen hanya di penangkaran untuk analisis genetik.

Baca juga: Mengenal Pisang Raksasa Endemik Papua, Ini Foto-fotonya

 

Bagi Suku Moni yang tinggal di sekitar pegunungan Carstensz, Intan Jaya, anjing bernyanyi ini memiliki hubungan erat dengan cerita nenek moyang mereka. Foto: Dok. Anang Dianto

 

Anjing sakral

Sementara itu, menurut Hari Suroto, peneliti dari Balai Arkeologi Papua dan juga dosen di Universitas Cendrawasih, masyarakat yang hidup di sekitar Danau Habema, danau tertinggi di Indonesia yang juga merupakan bagian dari Taman Nasional Lorentz, menganggap bahwa anjing ini sangat sakral. Alasannya, anjing tersebut yang mula-mula menjaga nenek moyang mereka.

“Jadi, mereka tidak akan membunuh dan mengonsumsi anjing tersebut. Bahkan mereka juga tidak memelihara. Mereka hanya memelihara anjing kampung biasa,” ungkap Hari, Sabtu [20/2/2021].

Sementara, bagi Suku Moni yang tinggal di sekitar pegunungan Carstensz, Intan Jaya, anjing bernyanyi ini memiliki hubungan erat dengan cerita nenek moyang mereka.

“Yang unik, masyarakat Suku Moni di Intan Jaya juga menyebut anjing bernyanyi ini dingo. Mirip dengan anjing dingo di Australia. Kalau secara linguistik, sepintas mirip karena pada zaman dulu pasti ada hubungan,” ujarnya lagi.

 

Anjing ini bernama latin Canis familiaris hallstromi dan lebih dikenal dengan sebutan New Guinea singing dogs [NGSD]. Foto: Dok. Anang Dianto

 

Dari perspektif arkeolog, dengan melihat kesamaan nama dingo untuk menyebut anjing bernyanyi, maka diperkirakan dulu ada hubungan antara Papua dan Australia. Kondisi ini terjadi saat permukaan air laut rendah.

Hal ini juga terlihat pada beberapa tebing di Raja Ampat dan Fak Fak yang terdapat lukisan prasejarah dengan motif bumerang, senjata yang identik dengan Suku Aborigin di Australia.

“Usia lukisan bumerang itu diperkirakan sekitar 10 ribu tahun lalu. Hubungan antara orang Papua dan Aborigin lebih dulu ada, kemudian anjing bernyanyi datang belakangan ke Papua diperkirakan 3.500 tahun silam.”

 

 

Berdasarkan penelitian di situs-situs arkeologi, Hari mengatakan, anjing bernyanyi ini dibawa oleh penutur Austronesia sekitar 3.500 tahun lalu, dari Asia Timur atau dari China selatan. Mereka membawa tiga binatang yang didomestikasi, yaitu anjing, babi, dan ayam. Imigran yang datang ke Papua di jaman prasejarah tiba di wilayah pesisir sebelum naik ke dataran tinggi Papua.

“Bagi Suku Moni sendiri, nyanyian dingo bisa diartikan ada tanda bahaya datang atau memanggil cuaca. Sebab, anjing ini dipercaya dapat memanggil hujan atau angin,” tutup Hari.

 

 

Exit mobile version