Mongabay.co.id

Delima Silalahi, Dedikasikan Diri bagi Lingkungan dan Masyarakat

Delima Silalahi, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Foto: dokumen Delima Silalahi

 

 

 

 

Namanya, Delima Silalahi. Perempuan kelahiran Siborong-borong, Sumatera Utara ini kini jadi Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). KSPPM merupakan lembaga pengembangan masyarakat yang mulai pendampingan sejak 1980-an.

Delima hobi jalan-jalan, terlebih sejak duduk di perguruan tinggi. Dia kuliah di jurusan administrasi publik di Universitas Sumatera Utara. Semasa kuliah, Delima sering mengunjungi desa-desa untuk menikmati pemandangan dan kehidupan kampung.

Dari sana, dia mengenal berbagai masalah di desa, termasuk kerusakan hutan maupun lingkungan hidup, masalah sosial, lahan yang dihadapi masyarakat adat, maupun petani terlebih saat perusahaan skala besar masuk.

Seiring itu pula Delima mulai mengenal KSPPM dari beberapa seniornya. Dia pun melamar sebagai relawan di KSPPM sekitar 1999.

Dia pun makin banyak belajar dan mengerti serta mengenal langsung berbagai permasalahan masyarakat terpinggirkan seperti petani dan masyarakat adat.

Sebagai relawan di KSPPM, dia pun mulai ikut melakukan pendampingan kepada rakyat desa yang mengalami kriminalisasi atau perampasan lahan. Dia juga aktif membuat kajian tentang dampak maupun faktor penyebab kerusakan lingkungan hidup, terutama di wilayah masyarakat adat.

“Dari sinilah saya terus mengasah kepekaan terhadap permasalahan lingkungan,” katanya.

Sejak di KSPPM, dia tak hanya belajar mengasah kepekaan, juga sejarah, advokasi kepada masyarakat tidak mampu, memperkuat basis serta memberikan pemahaman maupun edukasi terhadap masyarakat desa.

 

Baca juga: Akhirnya, Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta Dapatkan Hutan Adat Mereka

Kegiatan KSPPM dalam memberikan pelatihan kepada kader perempuan. Foto: dokumen Delima Silalahi

 

“Saya banyak belajar dari mereka (petani dan masyarakat adat serta desa). Saya banyak menemukan pengalaman dan pembelajaran dari mereka,” katanya.

Satu kasus yang jadi dampingan KSPPM adalah masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, di Humbang Hasundutan. Komunitas ada ini berhadapan dengan perusahaan perkebunan kayu raksasa, PT Toba Pulp Lestari (TPL). Hutan adat mereka, hutan kemenyan (hutan haminjon) masuk dalamizin konsesi yang pemerintah keluarkan.

Pada 2018, dia menjadi Direktur KSPPM. Setiap hari, Delima melihat bagaimana kerja keras kehidupan masyarakat desa untuk terus bertahan hidup melalui hasil tanah yang mereka garap. Juga meilhat konflik dan perampasan lahan.

Semangat dan tekad kuat masyarakat adat, maupun petani bertahan walau alami kekerasan, kriminalisasi makin menggerakkan hati Delima untuk berjuang bersama mereka.

Perjuangan membantu warga pun mendapat dukungan dan solidaritas dari berbagai kalangan. “Hingga tidak merasa sendiri. Ternyata, banyak juga peduli dan mau ikut turut berjuang bersama-sama memberikan pemenuhan hak kepada masyarakat adat dan petani yang selama ini selalu diabaikan.”

Delima bercerita, ada suka duka selama bergerak dalam isu masyarakat dan lingkungan hidup ini.

Satu hal yang buat dia senang bahkan sampai menangis bahagia kala mendapat kabar Presiden Joko Widodo memberikan surat keputusan (SK) dan menetapkan delapan hutan adat, salah satu mengeluarkan wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta, seluas 5.172 hektar dari konsesi PT TPL, pada penghujung 2016. Pengakuan ini tak datang begitu saja, tetapi buah perjuangan warga yang begitu kuat dalam mempertahankan hutan adat mereka.

“Selama proses perjuangan itu, kami, teman-teman KSPPM, masyarakat adat dan petani, serta teman-teman LSM tak permah lelah mengawal dan meminta keadilan,” katanya.

Mereka protes lewat pertemuan-pertemuan dengan para pihak di Sumut maupun Jakarta, maupun turun ke jalan untuk demonstrasi. “Tak mundur terus mengurus segala administrasi yang sangat birokratis.”

 

Baca juga: Kado Manis Akhir Tahun, Kali Pertama Pemerintah Tetapkan Hutan Adat

Presiden Joko Widodo, yang memberikan SK kepada tetua adat Pandumaan Sipituhuta, yang menyatakan, mengeluarkan wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta dari konsesi PT TPL. Foto: dokumen Delima Silalahi

 

Dalam upaya perjuangan bersama warga itu, dia tak pelak mendapatkan cibiran dari sebagian orang. Dalam kerja-kerja pendampingan, dia harus terus monitoring kasus lingkungan hidup maupun konflik sosial, hingga menyita waktu bersama keluarga. Dia dapat cibiran juga karena memilih pekerjaan yang banyak menyita waktu itu.

“Laki-laki itu bilang kalau seandainya saya jadi istrinya pasti enggak akan dikasih memilih pekerjaan yang seperti ini. Di situ saya merasa dia tidak hanya melecehkan saya juga pekerjaan saya.”

Delima tak ambil pusing dan tetap fokus. Dia terus konsisten berjuang. Apalagi, masih banyak hal harus diperjuangkan dengan makin banyak kerusakan lingkungan hidup dan perampasan ruang hidup rakyat.

Kini, katanya, pemerintah bikin kebijakan tidak berpihak kepada masyarakat. Dia contohkan, food estate di Sumatera Utara, termasuk di wilayah komunitas adat Sipituhuta, Humbang Hasundutan.

Proyek pangan skala besar ini, katanya, karpet merah bagi korporasi atau investor untuk makin menguasai sumber daya alam dan lahan masyarakat khusus tanah adat yang banyak belum diakui negara.

Alih-alih untuk kemandirian mengatasi krisis pangan, justru proyek ini kontradiksi ketika banyak lahan maupun hutan adat diambil dan beralih fungsi.

Delima bilang, isu food estate ini harus dikawal agar lahan maupun hutan tidak hilang.

Dia berharap, ke depan makin banyak orang yang berjuang mempertahankan sumber daya alam serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Menjaga alam, maupun lingkungan hidup, katanya, jadi modal bagi anak cucu bisa bertahan hidup. “Juga terus mengawal dan bergandengan tangan menghadapi rezim yang tak permah berpihak kepada rakyat.”

Lambok, anggota KSPPM mengatakan, sosok Delima merupakan orang yang mau berjuang bersama warga dengan tekad kuat.

Cara dia membangun hubungan dengan dampingan maupun internal KSPPM, katanya, juga bagus. “Mampu mencairkan suasana jika ada perbedaan pendapat.”

 

Baca juga: Kemelut Hutan Kemenyan, Menguak Luka Warga di Tepian Danau Toba

Perempuan Adat Pandumaan Sipituhuta. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

*****

Foto utama: Delima Silalahi, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Foto: dokumen Delima Silalahi

 

Exit mobile version