Mongabay.co.id

Hutan Papua, Bencana Ekologis dan Ekosida

Hutan Papua, berubah wujud, antara lain jadi kebun-kebun sawit.

 

 

 

Lahan berhutan seluruh Indonesia pada 2019 seluas 94,1 juta hektar atau 50,1% dari total daratan, sedangkan 40% hutan primer tersisa di Indonesia berada di Papua dan Papua Barat.

Hutan Papua adalah suatu-satunya hutan Indonesia yang memiliki tingkat keragaman hayati tertinggi di dunia, dengan 20.000 spesies tanaman, 602 jenis burung, 125 mamalia dan 223 reptil. Hutan juga jadi sumber utama mata pencaharian bagi masyarakat adat.

Rencana Kehutanan Nasional (RKN) 2011-2030, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Permen No.P.41/MENLHK/Setjen/KUM.1/7/2019, menyebutkan, kampung/desa dalam kawasan hutan ada 1.394, di tepi dan sekitar hutan 4.070, di luar hutan ada 2.075.

RKN juga menegaskan, ada 118,963 keluarga masyarakat adat Papua masih kategori pemungut hasil hutan dan 137.672 keluarga sudah masuk kategori usaha bidang kehutanan.

Dari data itu menggambarkan betapa kehidupan masyarakat adat di Papua, secara turun temurun saling bergantung dengan ekosistem hutan. Bagi masyarakat adat Papua, tanah dan hutan adalah ibu yang harus dibakti sekaligus warisan leluhur yang harus dijaga.

Sebagai ibu dan warisan leluhur, hutan tidak saja harus dijaga dan dipertahankan sebagai sumber-sumber penghidupan. Lebih dari itu, dalam pengetahuan lokal masyarakat adat Papua, hutan merupakan ekosistem kehidupan yang mencirikan kebudayaan bangsa.

Dalam ekosisten kehidupan, hutan ditempatkan sebagai subyek yang diyakini memiliki nilai esensi melengkapi harkat dan martabat serta eksistensi bagi hak-hak masyarakat adat.

 

Hutan Papua yang terus terancam. Foto: Nanang Sujana

 

Untuk itu, hutan diyakini menyerahkan perlindungan dan hak atas pembelaan kepada masyarakat adat untuk dijaga, dipelihara dan diperjuangkan keamanan, kelestarian dan keberlanjutan bagi kehidupan saat ini dan generasi mendatang.

Kondisi ini menyebabkan, ekonomi subsisten dalam kehidupan masyarakat berada dalam dan sekitar saat mengelola dan memanfaatkan hutan dibatasi tradisi dan hukum adat. Bagi masyarakat ini hutan diyakini sebagai identitas budaya (culture identity).

 

Kebiadaban ekologis

Pemerintah Indonesia telah diingatkan, bahwa, kehilangan tutupan hutan di Papua mencapai puncak pada 2015. Beberapa hari lalu 10 lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Memantau, kembali merilis laporan deforestrasi di Indonesia. Dengan Papua jadi fokus sorotan karena deforestasi ditengarai makin parah dan mengkhawatirkan.

KLHK tidak menyangkal hal ini, namun membantah tudingan beberapa pihak, perihal obral izin terjadi di era Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya.

Selama periode 1984-2020, terdapat izin kebun melalui pelepasan kawasan hutan seluas 7,3 juta hektar, dengan 746 izin seluas 6,7 juta hektar, atau lebih 91% diberikan sebelum Presiden Jokowi memulai pemerintahan akhir Oktober 2014.

Bagi masyarakat adat Papua, bukan soal sedikit dan banyak izin keluar dari pemerintah kepada korporasi, izin dianggap bentuk dari penegasian dan penyingkiran hak atas hidup. Bahkan berkonsekuensi pada banyak hal seperti ketimpangan, kekerasan, konflik, kriminalisasi hingga sigmatisasi. Apalagi, proses perizinan diakui umumnya tanpa ada konsultasi memadai dan transparan terhadap masyarakat adat.

Deforestasi di Papua tak hanya karena faktor tunggal, di benak banyak pihak terutama pemerintah, deforestasi lebih karena atau sebagai tindakan ilegal cukong kayu dan masyarakat perambah hutan. Tidak semua benar. Merujuk data KLHK, deforestasi di Indonesia sejak dulu hingga sekarang lebih karena tindakan legal, secara terstruktur atau sistematis melalui mekanisme perizinan.

Dengan demikian, deforestasi berarti pengubahan hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen. Jadi, secara tidak langsung, deforestasi mengubah fungsi yang awalnya untuk pelestarian lingkungan dan ekosistem hutan jadi aktivitas lain terutama untuk perkebunan dan pertambangan.

Selain menyebabkan bencana ekologis, deforestari juga memicu konflik dan pelanggaran HAM. Itulah sebabnya, deforestasi masuk kategori bentuk dari kebiadaban ekologis karena merupakan tindakan destruktif.

Kalau meletakkan dalam konteks masyarakat adat Papua, deforestasi bisa masuk kategori sebagai tindakan pemusnahan budaya (culture genocide). Karena hutan bagi orang Papua, selain identitas budaya dan ruang kehidupan, juga menyimpan berbagi nilai sejarah kehidupan dan sosial.

Pemusnahan budaya yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu tindakan perusakan secara sistematis terhadap sumber kehidupan dan kebudayaan kelompok masyarakat adat tertentu yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan. Sumber penghidupan masyarakat ini secara sosial budaya menjadi bagian indentitas budaya mereka.

 

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Ekosida di Papua

Menteri LHK tak boleh menutup mata dengan hanya menilai, deforestasi di Papua lebih karena banyak izin keluar sebelum masanya.

KLHK menyatakan terus memantau pergerakan deforestasi di Papua baik berbasis satelit maupun dengan observasi lapangan pada tingkatan tertentu terhadap 1,26 juta hektar hutan alam yang tersebar di areal pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit.

Meskipun begitu, harus meletakkan itu pada suatu kerangka utuh dalam melihat deforestasi di Papua. Karena praktik kejahatan ekosida yang amat serius di Papua.

Ciri utama dari kejahatan itu adalah actus rius (tindakan) perusakan dan perampasan atas lingkungan hidup dan sumber daya alam diikuti kekerasan fisik dan mental secara sistematis dan luas, serta berlangsung lama.

Laporan penelitian dan berita media menunjukkan banyak sekali fakta bahwa eksploitasi kekayaan alam Papua selalu diikuti tindakan-tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia.

Papua, harus dipahami dari pendekatan lebih khusus, karena ekosistem budaya dan latar belakang ekologi politik punya perbedaan dengan wilayah Indonesia lain. Papua merupakan wilayah Indonesia yang sepanjang integrasinya memilki luka politik dan duka ekologis.

Luka politik karena banyak kebijakan–sebut saja soal lingkungan hidup dan sumber daya alam—di luar prinsip yang mengakui dan melindungi hak sipil politik. Begitu pula, duka ekologis oleh pengabaian hak ekonomi, sosial dan budaya.

Pengelolaan sumber daya alam yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bisa jadi bagian dari upaya untuk memperbaiki hubungan sosial politik masyarakat adat Papua dengan penguasa.

 

*M. Ridha Saleh, penulis adalah Peneliti Senior Walhi Institut. Tulisan ini adalah opini penulis

 

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat Wonilai, Papua, tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

 

*****

Foto utama:  Hutan Papua yang berubah jadi kebun sawit.

 

Exit mobile version