Mongabay.co.id

Pulau Masakambing jadi Kawasan Ekosistem Esensial, Berharap Jambul Kuning Terus Terjaga

 

 

 

 

Pulau Masakambing, Kecamatan Masalembu, merupakan rumah bagi kakatua kecil jambul kuning (Sulphurea abbotti). Pulau yang masuk Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur ini sudah jadi kawasan ekosistem esensial (KEE) lewat surat Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, Nomor.188/166/KTSP/013/ 2020, tertanggl 13 April 2020. Harapannya, kakatua endemik Pulau Masakambing, yang diperkirakan tinggal 25 di dunia ini bisa terjaga. Kini, masyarakat pun ikut bersama menjaga kakatua langka ini.

Jadi, dengan ada KEE itu harapannya semua pihak bisa ngeroyok Masakambing sesuai dengan tupoksi masing-masing,” kata Dhany Triadi, Pengendali Ekosistem Hutan Muda, Seksi Konservasi Wilayah IV Pamekasan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur, belum lama ini.

Masakambing, rumah jambul kuning ini merupakan pulau terpencil berjarak sekitar 155 km dari Pelabuhan Kalianget, Sumenep. Jambul kuning ini termasuk satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Berdasarkan Badan Konservasi Dunia (IUCN), dengan status terancam punah (critically endangered).

Dwi Agustina bersama Perkumpulan Konservasi Kakatua Indonesia (KKI) melakukan penelitian di sana sekitar 2008-2013. Sebelum 1970-an, burung ini ada ratusan di Kepulauan Masalembu, tidak ada detail resmi, berdasarkan informasi dari masyarakat setempat. Dulu, burung itu juga berada di Pulau Masalembu dan Pulau Masakambing, Kecamatan Masalembu, sekarang hanya di Masakambing.

“Bahkan, kadang mereka melihat dalam satu pohon itu, ya, penuh sama kakatua. Biasanya mereka kalau bertanam jagung atau kacang itu harus ditunggui karena kalau tidak ada yang menunggui dihabisi kakatua. Itu tahun sebelum 70-an,” kata Ketua Perkumpulan Konservasi Kakatua Indonesia ini.

 

Baca juga: Kakatua Jambul Kuning Terakhir Menanti Penetapan KEE Masakambing

Jambul kuning Masakambing. Foto: BKSDA Jawa Timur Wilayah IV Pamekasan.

 

Ciri fisik

Burung ini punya ciri fisik, panjang tubuh (morfometrik) jambul kuning ini sekitar 35-40 cm. Ia lebih besar daripada anak jenis kakatua lain, 33-35 cm. Hanya, kata Dwi, ia lebih kecil daripada kakatua Galerita di Papua dan Kepulauan Aru. Ciri lain Abbotti, di bagian pipi terdapat warna kuning memudar, bahkan nyaris hilang kuning, di anak jenis lain kuningnya terang.

Memang itu identifikasi harus dekat karena kalau kita lihat dari jauh mungkin mirip-mirip. Yang paling besar perbedaan itu sih, dari ukuran tubuh sama warna kuning di pipi.”

Paruh Abbotti berwarna hitam dan bengkok, jambul kuning dan bisa ditegakkan, badan putih, kaki berwarna abu-abu. Ia burung herbivora, makan buah-buahan, biji-bijian, bunga, dan daun-daunan. Kadang pula ia makan jagung-jagung warga di Masakambing.

Dwi bilang, adaptasi satwa ini sangat tinggi hingga ketika terjadi perubahan habitat, masih bisa bertahan hidup.

Makanya dia ketika ada perubahan (hutan) menjadi kebun ataupun menjadi tanaman budidaya masyarakat, si kakatua ini cenderung lebih survive, masih bisa survive dibandingkan dengan kakatua-kakatua jenis lain.”

Dia bilang, kakatua bertelur satu kali dalam setahun biasa satu sampai tiga telur. Ia mulai dewasa sejak umur tiga sampai empat tahun dan siap berkembang biak. Kakatua ini tipe monogami, burung setia dengan usia bisa mencapai 60 tahun.

“Ia burung setia, hampir sepanjang tahun satu pasangan … Ini kecenderungan menyendiri kalau pasangan mati.”

 

Jambul kuning yang terancam punah di Masakambing. Foto: BKSDA Jawa Timur Wilayah IV Pamekasan.

 

***

Indonesia dianugerahi tujuh spesies kakatua. Yakni, kakatua putih (Cacatua alba), kakatua Tanimbar/Tanimbar corella (Cacatua goffiana), dan kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea). Lalu, kakatua jambul kuning besar/kakatua koki (Cacatua galerita), kakatua rawa (Cacatua sanguinea), kakatua raja (Probosciger atterimus), kakatua Maluku/kakatua Seram (Cacatua moluccensis).

Jambul kuning (Cacatua sulphurea) mempunyai enam subspesies, tersebar di Indonesia bagian barat dan tengah: Sulphurea sulphurea di Sulawesi juga termasuk pulau-pulau satelit yang meliputinya), dan Sulphurea citrinocristata di Pulau Sumba. Kemudian, Sulphurea purvula (di Nusa Penida, Bali dan Lombok, seluruh kepulauan NTB maupun NTT termasuk Timor Leste), Sulphurea abbotti berada di Pulau Masakambing, Sulphurea occidentalis (di Lesser Sunda), Sulphurea djampeana (Pulau Tanahjampea, Sulawesi Selatan dan Tukang Besi, Sulawesi Tenggara).

“Yang besar kan jambulnya kuning juga tuh di Papua, itu kakaktua Galerita, itu ada dua subspesies (di Indonesia), Galerita triton untuk di wilayah Papua sendiri dan Galerita eleonora di Kepulauan Aru,” kata Dwi.

 

Jaga ekosistem, libatkan masyarakat

Dwi bilang, tidak semua kakatua tinggal menetap, tetapi Sulphurea abbotti termasuk yang penetap. Habitat kakatua cenderung berada di daerah peralihan, tidak terlalu masuk dalam hutan dan tidak terlalu berada di wilayah terbuka. Ia bersarang dalam lubang kayu, baik di batang pohon utama atau di ranting yang besar.

Selama ini, kata Dwi, wilayah Masakambing sudah berubah menjadi pemukiman. Kakatua di sana banyak menempati pohon budidaya masyarakat seperti asem, sukun, kelapa, dan mangrove.

KKI punya program rutin sejak 2008, melakukan kegiatan-kegiatan konservasi seperti penyuluhan kepada elemen masyarakat, mulai dari tingkat RT sampai desa, mengunjungi sekolah-sekolah, memasang berbagai atribut kakatua Sulphurea abbotti berupa banner, poster, dan brosur untuk mengetahui kondisi kakatua di sana seperti apa. KKI juga melakukan pemberdayaan masyarakat di Masakambing, reboisasi habibat kakatua, terutama hutan mangrove.

 

Jambul kuning yang terancam punah di Masakambing, dengan populasi sekitar 25 ekor. Foto: BKSDA Jawa Timur Wilayah IV Pamekasan.

 

“Melakukan penanaman bersama masyarakat di sana, kita juga mencoba mengangkat produk lokal. Dulu, kita pernah coba membuat produk dari mangrove. Beberapa jenis produk dari mangrove kita olah dan mendorong masyarakat untuk melakukan itu,”kata Dwi.

KKI juga membeli lahan di Masakambing untuk ditanami berbagai jenis tanaman yang menjadi pakan lakatua supaya pakan burung itu tetap terjaga.

Mereka juga sempat membuat ekowisata untuk meningkatkan penghasilan masyarakat setempat tetapi tidak berhasil karena lokasi jauh. Sebagai satu wilayah kepulauan terluar di Sumenep, transportasi kurang memadai, dan cuaca tergolong ekstrem—kadang perubahan cepat sekali dan sulit diprediksi.

Dwi bilang, mereka juga menyediakan kandang penyelamatan untuk anakan kakatua karena sering kali anakan jatuh dari sarang. Mereka melatih masyarakat bisa merawat kakatua dengan harapan bisa sehat kembali dan terbang ke alam.

Berbagai program itu, kata Dwi, lumayan terlihat. Saat mereka datang pada 2008, hanya delapan, pada 2018 bertambah jadi ada 22 kakatua. Kini, di Masakambing ada sekitar 25 kakatua.

“Sebetulnya tinggal bagaimana me-manage masyarakat di sana tetap tidak menangkap dan menjual lagi kakatua. Bagaimana cara masyarakat dan pemerintah menjaga habitat si kakatua, jadi tidak merusak dan menebang pohon-pohon penting di sana.”

BBKSDA mulai masuk Masakambing pada 2011. Mereka tidak tahu pasti keadaan kakatua di sana pada 1970-an. Hanya saja, kata Dhany, berdasarkan informasi dari masyarakat, pada tahun itu bebas berburu. Kakatua-kecil dianggap hama oleh masyarakat karena sering makan tanaman, lalu dibunuh. Setelah ada pendampingan KKI, sudah ada peraturan desa (perdes) tentang perlindungan kakatua. Sekarang, masyarakat sudah sadar dan menerima keberadaan kakatua.

“Kami ada pelatihan daya dukung kawasan. Artinya dengan luasan begitu maskimal kakatua di Masakambing ada berapa,” katanya.

BBKSDA, katanya, akan mengadakan monitoring ke Masalembu setiap tahun, juga akan pemberdayaan masyarakat.

Harapannya, kalau masyarakat dikasih pemberdayaan secara ekonomi tidak akan ada tindakan menganggu kakatua.”

 

 

****

Foto utama: Jambul kuning, edemik Pulau Masakambing, dengan populasi sekitar 25 ekor. Kini, warga di pulau itu sudah ikut terlibat menjaga satwa ini dari kepunahan. Foto: BKSDA Jawa Timur Wilayah IV Pamekasan.

Exit mobile version