Mongabay.co.id

Politik Hukum Pemulihan Gambut dan Mangrove

Lokasi Hutan Lindung Gambut Londerang . Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Masa pandemi COVID-19, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden No. 120/2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (Perpres No 1/2020). Perpres ini menggantikan Perpres No. 1/2016 tentang Badan Restorasi Gambut (Perpres No 1/2016). Dengan kelahiran Perpres No 120/2020 maka perdebatan tentang nasib BRG terjawab.

Kebijakan negara dalam pemerintahan Jokowi memandang perlu masih perlu pemulihan gambut (restorasi gambut).

Usia BRG berakhir 2020 seperti mandat No 1/2016 yang tegas mengatur itu, kala itu, berbagai skenario terhadap nasib BRG muncul. Apakah terhadap pemulihan gambut dikembalikan ke instansi teknis sebagaimana diatur di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009 atau lanjut proses pemulihan gambut? Atau apakah malah di bawah Badan Nasional Penanggulangan Bencana?

Simulasi ini pernah menjadi diskusi dan memancing polemik di kalangan akademisi dan peminat pemulihan gambut.

Apabila melihat regulasi seperti UU No. 32/2009, PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016, maka lembaga yang mendapatkan mandat untuk menjadi “pemaksa” perintah pemulihan gambut adalah “Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”.

 

Driver Gojek di Makassar yang tergabung dalam sejumlah komunitas berpartispasi dalam aksi tanam mangrove memperingati Hari Pohon Sedunia di kawasan ekowisata mangrove Lantebung Makassar, Jumat (20/11/2020). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Politik hukum kemudian dimandatkan KLHK. Mandat ini dapat dilihat Permen LHK No P.18/MenLHK -II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK No. 18/2015). Permen ini menghapuskan Permenhut No 33/2012 dan Permen LH No 18/2012.

Untuk mengatur teknis kemudian pengaturan gambut di dalam Pasal 642 Permen LHK No 18/2015, lalu ada Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut (Direktur Gambut). Direktur gambut di bawah Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Dirjen PPKL).

Melihat kebakaran masif pada 2015, Jokowi kemudian membentuk badan yang melaksanakan restorasi gambut. Harapannya, badan ini dapat menjadi tugas proses percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologi gambut akibat kebakaran yang khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh.

Pertimbangan Jokowi membentuk badan yang bertugas pemulihan gambut dikenal sebagai politik hukum. Sebuah konsepsi yang melekat kewenangan Jokowi sebagai presiden.

 

Mangrove yang telah ditanam oleh kelompok Poma Laut di pesisir pantai Kelurahan Kota Uneng, Maumere, Kabupaten Sikka, NTT dalam program Padat Karya Penanaman Mangrove (PKPM). Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Angin segar

Menilik semangat dari Pemerintahan Jokowi yang masih memandang pekerjaan pemulihan gambut harus lanjut, termasuk capaian yang hendak diraih, Perpres No 120/2020 merupakan angin segar. Dengan pelaksanaan percepatan pemulihan gambut lanjut, maka pemulihan dapat memperbaiki kehidupan lingkungan jadi lebih baik.

Tidak hanya mengatur di sektor gambut, wewenang Badan Restorasi Gambut justru diperluas. Tak hanya pemulihan gambut, juga mangrove.

Kalau membicarakan gambut dan mangrove memang menarik perhatian publik di Indonesia terlebih mengaitkan itu dengan berbagai kebakaran, terutama yang masif terjadi di Sumatera dan Kalimantan.

Pada 2015, beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan lumpuh. Aktivitas setop. Jutaan orang terdampak, terpapar asap dan banyak orang alami gangguan kesehatan. Penerbangan nyaris berhenti. Ia jadi kenangan pahit di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah maupun Kalimantan Selatan.

Bahkan, dampak kebakaran 2015, hampir seluruh Pulau Sumatera dan Kalimantan tertutup asap. Singapura dan Malaysia kemudian merasakan getahnya dari kebakaran itu.

Kondisi ini, menyebabkan Jokowi menerbitkan Perpres No 1/2016 untuk perintah pemulihan gambut. Perintah pemulihan gambut kemudian berakhir pada 2020.

Dalam regulasi, membicarakan gambut dan mangrove tidak bisa lepas dari UU PPLH. Di dalam UU No. 32/2009 pengaturan gambut dan mangrove ditempatkan sebagai kawasan esensial.

 

Kebakaran hutan dan lahan harus dicegah. Terlebih saat ini sedang pandemi corona [COVID-19]. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

UU PPLH menyebutkan, sebagai ecoregion. UU ini menyebutkan ecoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Berbagai literatur kemudian menempatkan “rawa, gambut, sungai, savana, pesisir, laut, karst”.

Regulasi kemudian menegaskan didalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP No. 28/2011 sebagai kawasan ekosistem esensial adalah “karst”, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau) dan wilayah pasang surut, mangrove dan gambut”.

Pada Peraturan Pemerintah No. 28/2011 kemudian mendefinisikan sebagai kawasan esensial yang terdiri dari “ekosistem esensial lahan basah dan ekosistem terrestrial”. “Ekosistem lahan basah” kemudian terdiri dari danau, sungai, payau, rawa, mangrove dan gambut’.

Ketika gambut sebagai kawasan esensial berdasarkan PP No. 28/2011 juga ditegaskan sebagai “kawasan plasma nutfah spesifik dan atau endemik” seperti tercantum dalam Pasal 9 ayat (4) PP No. 71/2014.

Capaian restorasi gambut seluas 780.000 hektar (88%) dari total restorasi gambut di luar konsesi dan terlibat 109 perusahaan perkebunan seluas 442.000 hektar (79,6%), maka perlu lembaga untuk melanjutkan tugas pemulihan ini. Pekerjaan memulihkan gambut, juga mangrove masih banyak. Semangat politik hukum pemulihan harus lanjut.

 

*Penulis adalah aktivis lingkungan dan advokat. Tinggal di Jambi

 

Keadaan pantai di Desa Teluk Papal yang amburadul karena abrasi, dipenuhi bongkahan tanaman kelapa dengan kondisi akarnya terangkat. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

****

Foto utama: Lokasi Hutan Lindung Gambut Londerang . Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version