- Para perajin alat musik berkreasi dengan bikin alat musik atau instrumen dawai dari barang-barang bekas, seperti kayu, kaleng, maupun panci bekas. Alat ini dikenal dengan sebutan dawai Cempluk.
- Berkat instrumen Cempluk ini telah mengantarkan Duo Etnicholic yakni, Redy Eko Prastyo dan Anggar Syaf’iah Gusti, menjuarai Sopravista International Festivals di Italia, kategori duet mixed vocal and instrumental pada Desember 2020.
- Ada juga Bejo Sandy, yang mengeksplorasi harpa mulut nusantara. Alat ini, orang di Jawa Barat menyebut karinding, di Bali disebut genggong, orang Sumba menyebut gunggi. Lalu, Papua disebut pikon, dan di Malang dikenal dengan rinding.
- Di Malang juga ada perajin bikin didgeridoo, instrumen Suku Aborigin Australia. Isa Ansori, merupakan satu perajin didgeridoo dari kayu dan bambu yang dipasarkan di Bali dan sejumlah daerah di nusantara.
Berbagai instrumen dawai berjajar di Gedung Dewan Kesenian Malang (DKM), selintas mirip gitar. Bentuk dan bagian-bagian intrumen berdawai ini berbeda. Ada terbuat dari kaleng biskuit, panci, tempurung kelapa, kayu lapis berbentuk segi enam dan beragam bentuk unik. Instrumen dawai ini dimainkan dengan dipetik. Ia merupakan karya Budi Ayin, warga Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Bahan instrumen berdawai ini sebagian besai pakai limbah dan barang bekas. Sekitar tiga tahun belakangan, pria 50 tahun ini bereksperimen membuat beragam jenis instrumen dawai. Uniknya, kalau jumlah dawai gitar enam, instrumen yang disebut dawai cempluk ini punya empat dawai.
Alat musim ini disebut dawai cempluk, karena mereka berasal dari Kampung Cempluk. Sebuah kampung yang berhimpitan dengan perkotaan. Kampung ini saban tahun membuat Festival Cempluk atau lampu templok. Lampu listrik mereka matikan dan ganti lampu berbahan bakar minyak tanah. Selama festival, warga setempat menampilkan beragam kesenian tradisional.
“Kayu ini awalnya akan dipakai kayu bakar. Saya suka utak-atik barang tak terpakai, jadilah instrumen dawai ini,” katanya.
Awalnya, membuat gamelan bambu, untuk dimainkan anak muda keliling kampung saat Festival Kampung Cempluk. Dia mengajak anak muda berkreasi dan bermusik di Jaringan Kampung (Japung) Nusantara. Gamelan bambu yang dia produksi dijual untuk satu oktaf Rp750.000, dua oktaf Rp1,2 juta.

Budi lantas bertemu Redy Eko Prastyo, sesama warga Kalisongo sekaligus pegiat Festival Dawai Nusantara di Malang. Bertemu Redy, Budi makin menjadi. Dia memanfaatkan beragam kayu limbah menjadi istrumen musik berdawai.
Kayu bekas ranjang orang meninggal pun dia olah jadi instrumen dawai seperti sapek, khas Dayak. Dia mengadopsi instrumen sapek yang memiliki suara khas dengan memodifikasi gunakan empat string.
Untuk karya-karya ini, Budi pakai peralatan tradisional yang dia miliki, seperti gergaji dan parang warisan orang tua. Untuk menghaluskan permukaan instrumen, dia raut pakai pecahan kaca. Dia mendapat panduan menentukan instrumen dana dari channel instrumen di Youtube.
Dia pun terus bereksperimen dengan kayu limbah dan barang bekas pakai. Selain kayu bekas, dia pakai tempurung kelapa, panci bekas, sampai kaleng biskuit. Kayu yang dia pakai, katanya, semua limbah.
Untuk neck, yang perlu kayu keras dan kuat, biasa dia pakai dari bekas bongkaran rumah. Sedangkan tuner diambil dari gitar rusak. “Hanya string yang beli. Yang lain gunakan limbah dan barang bekas.”
Kini, ada 30 jenis instrumen dawai dia hasilkan. Masing-masing berbeda dan memiliki katakter suara khas antara masing-masing bahan. “Suara yang dihasilkan unik,” katanya.
Budi bilang, tak memiliki pengalaman membuat instrumen musik. Dia belajar otodidak dan mengamati di Youtube. Selama ini, dia bekerja sebagai kuli bangunan, gali sumur, tukang cat dan deco, dan membuat mebel kayu. Dia pernah merantau ke Batam, Sulawesi dan Lombok.
“Sejak dulu senang berkesenian. Menggambar, dan bermain gitar,” katanya.
Dia berharap, bisa membeli peralatan pertukangan modern seperti gerinda kayu, dan gergaji listrik modern.
Berkat instrumen Cempluk ini telah mengantarkan Duo Etnicholic yakni, Redy Eko Prastyo dan Anggar Syaf’iah Gusti, menjuarai Sopravista International Festivals di Italia, kategori duet mixed vocal and instrumental pada Desember 2020.
Duo Etnicholic membawakan lagu Hijau Lestari dengan iringan instrumen dawai cempluk. Redy mengatakan, festival ini turut mempromosikan instrumen dawai cempluk. “Kampung juga memiliki instrumen khas, salah satunya dawai cempluk.”
Dia mendorong setiap kampung berinovasi membuat istrumen khas dengan memanfaatkan potensi dan kearifan lokal sendiri. Selama ini, kata Budi, instrumen berdasarkan suku bangsa di Nusantara.

Harpa mulut Nusantara
Berbeda dengan Budi Ayin, Bejo Sandy memilih mengeksplorasi harpa mulut nusantara. Alat ini, orang di Jawa Barat menyebut karinding, di Bali disebut genggong, orang Sumba menyebut gunggi. Lalu, Papua disebut pikon, dan di Malang dikenal dengan rinding. “Ada yang menyebut londreng, lendreng, rondeng. Beda ucapan. Sebagian besar warga Malang menyebut rinding,” kata Bejo.
Seniman multitalenta ini kini dikenal dengan sebutan Bejo Rinding. Sejak delapan tahun terakhir, dia menekuni kesenian ini. Dia menelusuri kampung ke kampung di Malang Raya, bertemu seniman yang dulu memainkan rinding. Dalam proses itu, dia bertemu seorang seniman sepuh menangis. “Alat musik ini mengiringi aku menari,” kata Bejo menirukan ucapan seniman sepuh itu.
Di Bali, harpa ini untuk mengiringi tarian kodok. Rinding juga sebagai sarana turun menurun untuk mengusir hama. Nada yang dihasilkan Rinding Malang, rata-rata gunakan nada dasar D, C dan, B. Meskipun begitu, dengan perkembangan saat ini nada yang dihasilkan bisa disesuaikan keperluan.
“Kita bisa mainkan dengan nada E dan seterusnya,” ujar Bejo.
Untuk membuat rinding, dia pakai berbagai peralatan sederhana antara lain pangot atau cutter, parang, dan gergaji.
Awalnya, satu ruas bambu dibelah dengan parang, lantas dipotong jadi bagian kecil dengan gergaji. Kemudian, beri ukuran kayu sesuai modul dan bentuk pelan dengan cutter. “Sehari bisa bikin 10, kadang satu pun tak bisa.”
Harga rinding disesuaikan dengan jenis dan fungsi, untuk pemusik profesional, sekadar hiburan atau kolektor. Proses dan pemilihan bahan berbeda. Harga riding dia banderol mulai Rp250.000. Ada juga seorang wisatawan asing mengapreasiasi rinding dengan membayar US$200 dolar.
Rata-rata, katanya, rinding dipesan khusus untuk pemain musik, sekitar 20% untuk koleksi dan cinderamata. Bejo percaya, rinding seperti jodoh yang akan memilih pembeli. Biasanya, dia meminta pembeli memilih rinding yang disukai.
Dia ceritakan, Kimung, basis “Burger Kill” telah menelusuri pemusik dan perajin rinding di Jawa Barat, bahkan berburu sampai ke museum di Belanda. Di sana, museum berisi beragam harpa mulut Indonesia, tertua pikon dari Papua, produksi 1820-an, dan termuda karinding Jawa Barat bikinan 1930-an.
Alat musik rinding, kata Bejo, sekitar 158 jenis tersimpan di museum Belanda. “Ada 24 versi Indonesia yang masih ada.”
Kimung membuka setiap lemari berisi koleksi harpa mulut, memegang satu per satu dan mendokumentasikan. Kimung jadi saksi sejarah koleksi harpa mulut masa lalu Indonesia.
Kimung meluncurkan buku tentang karinding setelah penelitian dan dokumentasi selama 10 tahun. Buku setebal 950 halaman ini, hasil Kimung keliling dan menjelajahi seluruh wilayah Jawa Barat. “Ini kitab karinding,” kata Bejo.

Bambu nusantara
Selain rinding, di Malang juga ada perajin bikin didgeridoo, instrumen suku Aborigin Australia. Isa Ansori, merupakan satu perajin didgeridoo yang dipasarkan di Bali dan sejumlah daerah di nusantara.
Isa membuat didgeridoo berbahan kayu dan bambu. Kecintaan dia terhadap instrumen didgeridoo sejak mendapat cakram padat dari teman asal Australia dan belajar teknik membuat dan memainkan didgeridoo.
Untuk bikin didgeridoo, kayu solid dia peroleh bahan baku dari Palu dan Kalimantan. Kualitas kayu bagus. Pengerjaan didgeridoo berbahan kayu solid, rumit dan membutuhkan keterampilan khusus terutama untuk melubangi kayu solid.
“Orang Aborigin biasa menggunakan kayu yang secara alamiah dilubangi serangga rayap,” kata Isa.
Setelah selesai, didgeridoo diukir dengan beragam motif khas aborigin. Sebagai pelukis, dia mudah meniru dari mengamati motif ukiran yang ada. Isa bisa memainkan pahat seperti pensil untuk memahat didgeridoo. Harga didgeridoo berbahan kayu solid sekitar Rp500.000.
Selain berbahan kayu solid, dia juga pakai aneka jenis bambu. Beragam bambu pilihan dia sulap menjadi didgeridoo. Proses bikin didgeridoo bambu sekitar dua sampai empat hari. Harga didgeridoo bambu Rp 150.000-Rp250,000.
****
Foto utama: Redy Eko Prastyo salah satu personil Duo Etnicholic memainkan dawai cempluk karya Budi AyinFoto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia