Mongabay.co.id

Nasib Komunitas Dayak Modang Kala Tuntut Pengembalian Lahan Adat dari Perusahaan Sawit

Blokade jalan Desa Long Bentuq , guna membatasi akses perusahaan sawit. Aksi damai ini dilakukan Komunitas Adat Modang Long Wai, sebagai tuntutan pengembalian lahan adat mereka yang berada dalam konsesi. Foto: dokumen Komunitas Adat Modang

 

 

 

 

Wilayah Komunitas Adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuq, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur, terancam hilang.  Sejak lama komunitas adat ini berkonflik dengan perusahaan sawit, PT Subur Abadi Wana Agung (Sawa). Mereka terus memperjuangkan pegembalian lahan adat yang terambil perusahaan. Pengajuan perlindungan wilayah adat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sejak 2011, tak ada respon. Warga adat terus berupaya mempertahankan wilayah adat bahkan sampai terancam jerat hukum. Pada Sabtu (27/2/21), tiga pejuang adat diamankan polisi. Mereka adalah Daud Luwing, selaku Kepala Adat, Benediktus Beng Lui Sekertaris Adat dan Elisason Dewan Adat Daerah Kalimantan Timur.

Sengketa antara warga adat dengan perusahaan sawit belasan tahun lalu. Warga adat terus menyuarakan pengembalian wilayah adat yang terambil perusahaan buat kebun sawit.

Pada Jumat (19/2/21), kepala dan tokoh adat Dayak Modang Long Wei menggelar temu media di Rumah Nurani Perempuan di Samarinda. Mereka meminta pemerintah bijak menangani konflik warga adat dengan perusahaan ini.

Herri Kiswanto Sihotang, juru bicara warga Adat Dayak Modang Long Wai, mengatakan, Desa Long Bentuq– secara administrasi pemerintah tertulis Long Bentuk–, merupakan desa dengan penduduk asli Dayak Modang Long Wei. Desa itu merupakan desa induk, dari beberapa desa tetangga.

Dulu, luas Desa Long Bentuq besar dan harus membagi wilayah saat pemekaran desa- desa lain. Pada 1993, luas Desa Long Bentuq sekitar 50.000 hektar. Keputusan itu disepakati desa-desa tetangga dengan persetujuan Camat Busang, Kutim. Seluas 4.000 hektar wilayah adat itu, kemudian tergusur oleh perusahaan sawit. Perusahaan menanami wilayah mereka dengan bibit sawit dan jadikan jalan desa untuk jalur angkut minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Pada 2015, SK Bupati makin mengkerdilkan luasan Long Bentuq jadi 9.000 hektar. Luas ini tidak sebanding dengan luas desa-desa tetangga yang dulu mendapat hibah wilayah dari Long Bentuq. Termasuk, wilayah tergusur, 4.000 hektar yang hilang dianggap bukan wilayah Desa Long Bentuq.

“Tahun 2015, Long Bentuq dikerdilkan oleh bupati, padahal wilayah adat masih tetap menggunakan kesepakatan tahun 1993. Semula 50.000 hektar jadi 9.000 hektar, sangat jauh sekali turunnya. Kalau bisa dihitung, luas gusuran itu mencapai puluhan ribu hektar,” katanya 19 Februari lalu.

Dia ceritakan, masyarakat adat baru menggelar aksi unjuk rasa menuntut Sawa mengembalikan 4.000 hektar wilayah adat yang tergusur pertama kali. Masyarakat adat memblokade jalan desa yang kerap digunakan perusahaan mengangkut CPO. Tidak terima, perusahaan lantas melaporkan kejadian itu Polresta Kutim. Tiga warga adat pun mendapat panggilan dari kepolisian.

“Sebenarnya itu jalan milik desa, bukan jalan perusahaan. Polresta mengabarkan, laporan itu datang dari masyarakat yang aktivitasnya terganggu oleh aksi blockade jalan. Tidak ada masyarakat luar terganggu, melainkan perusahaan itu sendiri,” katanya.

Daud Lewing, Kepala adat Dayak Modang Long Wai, dalam jumpa pers itu mengatakan, sejak 2008, Desa Dayak Modang Long Wai mendapat perlakuan tak nyaman dari perusahaan. Mereka sudah berulang kali menggelar unjuk rasameminta pertanggungjawaban perusahaan. Perusahaan bergeming.

Dia bilang, upaya kriminalisasi tokoh adat sebagai upaya membungkam masyarakat Dayak Modang Long Wei. “Tiga orang yang terlapor adalah saya sendiri, Daud Lewing selaku Kepala Adat, Benediktus Beng Lui selaku Sekretaris Adat dan Elisason selaku tokoh representatif pemerhati dan pembela hak-hak masyarakat sekaligus bagian perwakilan dari Dewan Adat Dayak Kalimantan Timur.”

 

Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan

Tiga tokoh adat yang diamankan polisi pada 27 Februari 2021. Foto: Koalisi Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai

 

 

Upaya jaga wilayah adat

Daud Lewing mengatakan, mereka berupaya mempertahankan wilayah adat sebagai warisan turun-temurun. Sejak abad ke-15, Komunitas Dayak ini sudah mendiami Desa Long Bentuq.

“Kami ini penduduk asli, warga adat pemilik wilayah adat. Tapi kami terus digusur. Belasan tahun berkonflik dengan perusahaan, malah kini luas wilayah dikerdilkan. Kami sudah menempuh ribuan cara mempertahankan wilayah adat ini, tapi pemerintah seakan tidak berpihak pada kami,” katanya.

Sejak 2008, masyarakat adat mencatat dugaan-dugaan pelanggaran perusahaan termasuk penggusuran tanah adat lalu melaporkan sampai ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sayangnya, laporan itu tidak pernah ada kelanjutan.

“Kami sudah melaporkan kepada menteri.”

Walaupun, katanya, atas laporan itu, dari KLHK pernah datang cek lapangan. Mereka melihat langsung kondisi lapangan, seperti kerusakan lingkungan dan penutupan sungai yang mereka gunakan minum sehari-hari. “Nyatanya, sampai hari ini tindak lanjut nihil,” katanya.

Mereka juga menuntut kepada perusahaan, agar bertanggung jawab terhadap kerusakan hutan dan lingkungan hidup di sekitar. :ago-lagi, perusahaan abai dan tidak mengindahkan permintaan warga.

Malahan, pada 2015, keluar surat bupati yang mengkerdilkan wilayah adat jadi 9.000 hektar. Kenyataan ini, menambah jalan terjal komunitas adat ini dalam mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak.

“Kalau begini terus, suku Dayak Modang Long Wei akan hilang. Dua masalah ini sudah membuat suku ini nyaris punah. Kami harus meminta kemana? Kalau bukan kami sendiri yang berjuang bertahan di wilayah adat kami sendiri,” katanya.

Sejak 2011, mereka sudah meminta pengakuan wilayah adat pada KLHK. Namun, kementerian ini tidak memberi jawaban. Perda masyarakat hukum adat di daerah juga tak kunjung keluar.

Selama ini, katanya, Komunitas Dayak Modang Long Wei hanya bertahan dengan wilayah kecil dan berpegang teguh pada surat keputusan dan kesepakatan camat pada 1993.

“Kami tidak sepakat dengan SK Bupati yang baru, kami tetap gunakan surat kesepakatan 1993. Kami sudah meminta pengakuan masyarakat hukum adat oleh KLHK. Kami hanya berupaya mempertahankan wilayah adat kami. Kami meminta 4.000 hektar yang tergusur itu dikembalikan.”

 

Baca juga: Bencana Datang di Tengah Orang Kinipan Terhalang Jaga Hutan Adat

Aksi Komunitas Dayak Modang, protes perusahaan sawit yang mengambil wilayah adat mereka. Foto: dokumen Komunitas Adat Dayak Modang

 

Gagal paham

Sebagai warga Kutim, masyarakat adat Dayak Modang Long Wei berupaya mencari keadilan ke pemerintah daerah. Yang mereka dapatkan bukan keadilan, malah penyelesaian konflik tidak tepat sasaran. Bupati menyelesaikan masalah itu dengan jalur konflik antar desa dan antar warga. Padahal, konflik sebenarnya adalah konflik agraria warga adat dengan perusahaan.

Lebih parah, kata Herri,  ada anggapan masyarakat adat sengaja memblokade jalan lantaran meminta ganti rugi lahan plasma. Padahal, bukan itu tujuan mereka. Mereka ingin mengambil kembali 4.000 hektar wilayah adat yang dikuasai perusahaan.

Herri mengatakan, penyelesaian pemerintah daerah sangat tak tepat sasaran. Penyelesaian konflik oleh pemerintah maupun perusahaan tak masuk pada esensi atau substansi persoalan sebenarnya. Perjuangan masyarakat adat Dayak Modang Long Wei sejak lama, jauh sebelum 2015, sekitar 2008.

“Perlu kami tegaskan, konflik ini antara perusahaan dengan warga adat Dayak Modang Long Wei. Kalau masalah batas wilayah dengan Dayak lain, saya tegaskan sudah selesai antar desa 1997. Jadi, ini murni konflik dengan perusahaan, bukan masalah dengan saudara-saudara di desa-desa tetangga,” katanya.

Pemerintah kabupaten, katanya, mengeluarkan SK Bupati pada 2015 yang merugikan masyarakat adat, terkait hak wilayah mereka. Ada 4.000 hektar wilayah adat dikuasai perusahaan sawit. Kemudian pada 2015, Bupati Kutim malah mengkerdilkan luas wilayah Desa Long Bentuq.

“Saudara-saudara kami akan tetap memperjuangkan wilayah adat mereka. Apalagi sekarang makin banyak masalah, seperti perambahan di hutan adat yang tersisa. Perjuangan selanjutnya bagaimana merebut atau mengambil kembali wilayah adat ini dan memberikan sepenuhnya hak-hak mereka.”

Keterangan dalam rilis perusanaan, 7 Januari 2021, Angga Rachmat Perdana, General Manager Licence & CSR PT Sawa mengatakan, perusahaan telah memberikan ganti rugi atas seluruh bidang tanah yang dipersoalkan oleh Kepala Adat Desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kutai Timur.

“Pembebasan lahan pada 2009-2014, dengan melibatkan Tim 9 dari pemda dan Kepala Adat Dayak dari tiga desa yakni Desa Long Pejeng, Long Lees dan Long Nyelong. Juga Kepala Adat Besar Suku Dayak Kenyah Se-Sei Atan,” tulisnya.

 

Berujung kriminalisasi

Pada 30 Januari 2021, Masyarakat Dayak Modang Long Wei, aksi damai dengan pemortalan jalan desa. Unjuk rasa itu juga dijaga ketat kepolisian dan tidak terjadi bentrok maupun benturan dengan masyarakat lain.

Masyarakat umum yang melewati jalan akses KM. 16 di Desa Long Bentuq bisa tetap lewat menggunakan jalan dengan aman. Portal jalan hanya untuk membatasi akses perusahaan seraya menunggu keputusan perusahaan untuk berkomunikasi dengan masyarakat adat yang sedang aksi damai itu.

Yogana Tiko, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, mengatakan, warga adat sesunguhnya mengharapkan kepolisian membantu mendesak pengambil keputusan dari perusahaan segera hadir.

“Justru kepolisian lebih fokus merespon laporan pihak tertentu terkait pemortalan jalan daripada inti persoalan antara masyarakat adat Dayak Modang dengan perusahaan PT Sawa,” katanya.

Pada 8 Februari 2021, tiga tokoh adat dipanggil sebagai saksi dalam aksi unjuk rasa itu. Ketiga tokoh adat Dayak ini adalah Daud Lewing selaku Kepala Adat, Benediktus Beng Lui selaku Sekretaris Adat dan Elisason selaku tokoh representatif pembela hak-hak masyarakat sekaligus perwakilan dari Dewan Adat Dayak Kalimantan Timur.

“Surat panggilan ini terkesan sebagai upaya pihak-pihak tertentu mengkriminalisasi tokoh-tokoh yang berusaha berjuang membela hak-hak masyarakat adat Dayak Modang.”

Usaha kriminalisasi ini muncul, katanya, karena pemanggilan kurang berdasar dan terkesan dibuat-buat. Apalagi, katanya, aksi damai warga ini dengan melayangkan surat pemberitahuan kepada kepolisian sektor Muara Ancalong. Beberapa hari aksi damai berlangsung, kepolisian juga hadir untuk memastikan keamanan selama aksi.

Pada Sabtu sore (27/2/21), ketiga tokoh itu pun diamankan polisi. Dalam pernyataan Koalisi Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai, menyebutkan, Sabtu sore itu, mereka dijemput paksa belasan mobil aparat bersenjata lengkap saat dalam perjalanan pulang usai pendataan aset–aset di wilayah adat Dayak Modang Long Wai, Desa Long Bentuq.

Dalam video dan keterangan yang dikirimkan masyarakat kepada koalisi, mobil yang digunakan Daud Luwing, Benediktus Beng Lui, dan Elisason, dikepung belasan mobil bersenjata lengkap. Para pejuang adat ini tak bisa melakukan perlawanan dan langsung dibawa ke Polres Kutim, Sangatta Kutai Timur.

Koalisi mengecam keras tindakkan represif aparat atas penangkapan tiga tokoh masyarakat ini. Koalisi pun mendesak Kapolres Kutim segera membebaskan tiga tokoh adat ini.

“Hentikan upaya kriminalisasi terhadap pada tiga tokoh adat dan lima warga masyarakat yang dipanggil Polres Kutim.”

Mereka juga mendesak pemerintah mengevaluasi dan pencabutan izin perusahaan sawit yang berada di wilayah adat Dayak Modang Long Wai, Desa Long Bentuq ini.

 

 

Tokoh adat Dayak Modang, bersama Walhi Kaltim kala temu media baru-baru ini. Foto: Yovanda/ Mongabay Indonesia

 

****

Foto utama:  Blokade jalan Desa Long Bentuq , guna membatasi akses perusahaan sawit. Aksi damai ini dilakukan Komunitas Adat Modang Long Wai, sebagai tuntutan pengembalian lahan adat mereka yang berada dalam konsesi. Foto: dokumen Komunitas Adat Modang

Exit mobile version