Mongabay.co.id

Tantangan Rehabilitasi Mangrove di Kepulauan Riau

 

 

 

 

Tiga warga Pancur, Tanjung Piayu, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) sedang sibuk mengikat satu persatu bibit mangrove ukuran sekitar setengah meter. Siang itu, matahari terik, namun udara terasa sejuk.

“Kalau disini adem, kadang kami istirahat kerja langsung ke sini, di antara bibit-bibit mangrove,” kata pekerja di tengah kebun pembibitan seluas hampir satu lapangan futsal itu.

Kawasan pembibitan ini merupakan program rehabilitasi hutan lahan (RHL) Akar Bhumi bekerjasama dengan program Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Akar Bhumi merupakan organisasi lingkungan yang fokus kelestarian hutan mangrove.

Tak jauh dari lokasi pembibitan ini, terdengar dentuman alat berat sedang bekerja menimbun mangrove. Penimbunan yang diprotes masyarakat sekitar dan Akar Bhumi ini untuk pembangunan SMKN dan diduga menyerobot area penyangga.

“Ini yang kita sayangkan, warga susah payah rehabilitasi, terjadi perusakan,” kata Hendrik, Koordinator Akar Bhumi Indonesia kepada Mongabay di lokasi pembibitan, akhir Februari lalu.

Setelah melihat beberapa puluh meter mangrove ditimbun untuk pembangunan sekolah, Akar Bhumi menunjukkan kawasan rehabilitasi mangrove tampak ditimbun untuk bikin proyek perumahan.

Tampak sekitar 10 truk pasir datang silih berganti memperluas lahan perumahan dengan menimbun sebagian mangrove. Jalan di sepanjang jalur angkutan pasir di pemukiman warga juga berdebu.

Kawasan yang ditimbun ini merupakan lokasi program rehabilitasi lahan KLHK bekerjasama dengan Akar Bhumi pada 2020. “Baru kita tanami beberapa bulan lalu bersama KLHK, sekarang ditimbun lagi,” kata Sony Rianto, pegiat Akar Bhumi Indonesia.

Sony memperlihatkan, lokasi yang ditimbun beririsan dengan kawasan rehabilitasi mangrove mereka. Dari smartphone Sony terlihat, kalau penimbunan berada dalam lokasi rehabilitasi dan itu di kawasan hutan lindung.

Dia mengatakan, penimbunan ini bahkan sudah dihentikan KLHK beberapa bulan lalu. Pancang yang dipasang pekerja penimbunan sudah dicabut. Anehnya, saat ini pancang kembali terpasang dan penimbunan berlanjut. Ada sekitar satu hektar lahan ditimbun merupakan kawasan rehabilitasi.

Sony bilang, penimbunan tak hanya berdampak kepada mangrove juga menutup aliran sungai di kawasan itu.

 

Warga Tanjungpinang di lokasi pembibitan mangrove. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Hendrik mengatakan, kondisi seperti ini jadi tantangan besar rehabilitasi mangrove. Dia menilai, pemerintah pusat tak hanya lakukan rehabilitasi, tetapi harus menindak penimbunan-penimbunan yang menyalahi aturan seperti di beberapa tempat di Batam itu.

“Harus pusat turun tangan, kepentingan di lokal ini sangat tinggi,” katanya.

Penimbunan hutan lindung maupun mangrove kebanyakan untuk pemukiman, kebutuhan industri, kebutuhan lahan untuk shipyard, tambak dan arang bakau.

Mangrove, kata Hendrik, merupakan “halaman depan” daerah pesisir atau kepulauan. “Sekarang halaman depan itu hancur.”

Akar Bhumi mencatat, selama 2020 hampir 30 hektar lakukan penyelamatan lahan dari penimbunan ilegal. Beberapa lahan yang ditertibkan itu sampai sekarang belum diperbaiki.

Saat ini, katanya, belum ada data tahun ke tahun luasan mangrove di Kepri termasuk Batam. Akar Bhumi berencana riset soal ini. “Saya kira kalau dibandingkan awal pertama Batam ini ditempati manusia, penurunan pengurangan mangrove sudah 90%,” katanya.

Selain ada penimbunan ilegal, penegakan hukum lemah juga menunjang perusakan hutan mangrove terus berlanjut. “Bahkan kita sudah teriak minta tolong, tidak didengar.”

Penegakan hukum, katanya, tak hanya ketika penindakan juga pencegahan dan respon lambat dari pemerintah ketika terjadi kerusakan lingkungan. Kadang petugas penindakan dari Dinas Lingkungan Hidup, atau lembaga lain tidak mau turun lapangan kalau hari libur.

“Padahal, kalau perusakan dibiarkan sebentar saja, rusak makin parah,” kata Hendrik.

Selama ini, pelaku penimbunan tak ada kena proses hukum serius. Bahkan, kasus penimbunan 20 hektar yang ditangani Akar Bhumi pelaku bebas begitu saja.

Selain itu, kata Hendrik, kesadaran masyarakat soal pentingnya mangrove terutama di daerah pesisir masih minim. “Maka kita tidak hanya edukasi, juga sosialisasi pemahaman masyarakat pentingnya mangrove.”

 

Maraknya penimbunan mangrove untuk keperluan permukiman warga menjadi tantangan pelestarian mangrove di Kepulauan Riau.FotoL Yogi E Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Rehabilitasi mangrove, katanya, harus masif di Kepri sejalan dengan penegakan hukum bagi perusaknya. “Yang paling penting lagi bagaimana menanamkan jiwa cinta lingkungan kepada masyarakat, kalau mereka sudah paham, pelaku penimbunan dan perusak lingkungan sulit bergerak,” kata Hendrik.

Agus Purwoko, Kabid Konservasi Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum Badan Lingkugan Hidup, Kepri, membenarkan, banyak perusakan termasuk penimbunan mangrove terutama Bintan dan Batam.

Beberapa waktu lalu, petugas baru turun lapangan di Bintan, setelah mendapat laporan ada penimbunan. “Kita serius sekali terkait ini,” katanya kepada Mongabay, usai menghadiri rapat koordinasi rehabilitasi hutan dan lahan 2021.

Agus berjanji merespon ketika ada laporan penimbunan. Namun, katanya, lembaga swadaya masyarakat ataupun masyarakat yang melaporkan perusakan lingkungan harus paham, kalau mangrove, misal, boleh saja ditebangi asalkan mengikuti syarat yang ada.

Meskipun Agus mengakui banyak penimbunan mangrove, tetapi dia coba berdalih kalau yang ditimbun mangrove di wilayah ‘aman’ tebang.

“Penimbunan memang luar biasa di Kepri, memang benar. Kacamata masyarakat awam tidak boleh di tebang, tetapi sebenarnya mangrove berada di kawasan putih. Artinya, bisa ditebang dan dimanfaatkan.”

Dia bilang, pengerjaan proyek harus memiliki izin minimal sertifikasi. Pemegang izin juga harus membayar uang tengakan ke negara.

“Artinya, boleh ditebang asalkan diganti,” katanya, seraya bilang agar tak terjadi kerusakan pengelola lahan harus menjalankan mekanisme yang sudah diatur tanpa menjelaskan seperti apa mekanisme itu.

 

Kendala rehabilitasi

Lamhot Sinaga, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam, mengatakan, pengurangan luasan mangrove di Kepri karena beberapa hal, seperti penimbunan keperluan pemukiman, industri, tambak dan kegiatan ekonomi lain-lain. Kawasan paling banyak mangrove rusak terjadi di Bintan dan Batam.

Lamhot bilang, tidak hanya persoalan penimbunan ilegal, evaluasi BPDASHL KLHK selama rehabilitasi mangrove 2020 banyak gangguan dari “penguasa lahan.” Terjadi saling klaim pemilik lahan di beberapa tempat, hingga sulit rehabilitasi dan itu berpotensi merusak hutan lindung.

Saat ini, katanya, perlu penertiban, karena kondisi lapangan “penguasa lahan” punya dokumen atau surat. Surat itu, kata Lamhot, perlu verifikasi apakah resmi dari BPN atau tidak. “Banyak ditemukan surat pemilik lahan hanya setingkat kecamatan.”

Menurut dia, dalam kawasan hutan negara, seharusnya tidak ada kepemilikan lain. Kalaupun ada yang ingin dikelola, ada mekanisme sendiri. “Pendataan kepemilikan lahan di Batam atau Kepri perlu dilakukan kembali,” katanya.

 

Pegiat Akar Bhumi memperlihatkan mangrove yang belum lama mereka rehabilitasi sudah tertimbun proyek pemukiman. Foto: Yogi E Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

 

Benteng terdepan kepulauan

Mangrove sangat penting terutama untuk daerah kepulauan. Ia jadi benteng agar pulau tak tenggelam karena abrasi atau perubahan iklim. Keberadaan mangrove juga bagus bagi ekosistem sekitar termasuk menguntungkan bagi warga yang hidup dari sana, seperti nelayan.

Lamhot mengatakan, sejak lima tahun terakhir KPHL sudah merehabilitasi hampir 1.000 hektar hutan mangrove di Kepri. “Kita sangat berharap program BRGM berjalan sukses dan lebih nendang. Kita harus sadar, daerah kepulauan peran mangrove sangat penting,” katanya.

Masyarakat di kepulauan banyak sebagai nelayan. Ketergantungan nelayan dengan ekosistem mangrove sangat tinggi. “Karena sumber pencarian mereka (nelayan) seperti ikan, kepiting, udang dan lain-lain hidup di perairan sekitar mangrove.”

Dia menekankan, betapa penting mangrove sebagai benteng perlindungan pulau-pulau kecil. Jadi, kalau terjadi penumbunan mangrove, ancaman abrasi mengintai, bahkan bisa menenggelamkan pulau-pulau kecil.

“Kalaulah pulau-pulau kecil terluar hilang, bisa saja batas luar negara ini makin mengecil. Itu perlu kita antisipasi, intinya peran mangrove di Kepri sangat penting dan strategis.”

 

BRGM datang

Kepulauan Riau (Kepri) jadi daerah pertama program rehabilitasi mangrove Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden No. 120/2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove. Salah satu tugas BRGM adalah mempercepat rehabilitasi mangrove di sembilan provinsi, salah satu Kepulauan Riau.

 

Budi S Wardhana, Deputi Bidang Perencanaan dan Kerjasama BRGM. Foto: Yogi E S/ Mongabay Indonesia

 

BRGM bersama dinas terkait sudah berkoordinasi di Kota Batam, akhir Februari 2021. Rehabilitasi tak hanya soal penanaman juga survei lapangan, pemanfaatan, dan beberapa kajian lain.

Agus berterima kasih kepada pemerintah pusat karena memilih Kepri jadi tempat rehabilitasi mangrove. Rehabilitasi mangrove ini, katanya, merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, tak hanya pemerintah pusat.

Hendrik berharap, program rehabilitasi mangrove BRGM berjalan lancar, tentu dengan melibatkan masyarakat setempat.

Rehabilitasi di Kepri bakal jadi tantangan sendiri bagi BRGM.  Budi S Wardhana, Deputi Bidang Perencanaan dan Kerjasama BRGM, juga menyoroti makin banyak penimbunan mangrove di Kepri. Dia sudah turun lapangan untuk melihat seberapa besar kerusakan mangrove di daerah kepulauan itu.

Sampai saat ini, kata Budi, masih pendataan kerusakan. Informasi awal, kerusakan mangrove dulu dan sekarang karena penimbunan, reklamasi, maupun bikin arang bakau. “Selain itu sampah baik dari darat maupun kapal yang lewat juga jadi perusak mangrove di Kepulauan Riau,” katanya.

Budi mengatakan, sering temukan mangrove mati karena terlilit sampah plastik di sekitar mangrove. Bahkan, di beberapa wilayah mangrove tidak bisa tumbuh karena sampah menumpuk di kawasan itu.

Untuk rehabilitasi mangrove di Kepri, katanya, sekitar 27.000 hektar dalam waktu empat tahun. Daerah yang akan kena rehabilitasi pertama di Kepri adalah daerah yang memiliki habitat mangrove kritis.

BRGM masih mendata lokasi dan luas mangrove di Kepri. Mereka sedang revisi data terakhir pada 2017. “Data terakhir, 69.000 hektar mangrove di Kepulauan Riau. Kondisi rusak sekitar 37.000 hektar, dalam kawasan hutan 25.000 hektar, di luar kawasan 12.000 hektar,” katanya.

Setelah pendataan selesai, BRGM akan melihat tipe habitat mangrove di Kepri.

BRGM menemukan jenis habitat mangrove di Kepri adalah mangrove fringe yang memiliki kerapatan tak tinggi atau di kawasan ini tak terlalu banyak memiliki tutupan mangrove. Hal itu, katanya, karena di kepulauan tak ada aliran sungai seperti daerah lain.

Selain itu, katanya, ancaman mangrove di Kepri sangat besar, salah satu ombak cukup kuat. “Tanah di sini tidak subur untuk mangrove, pemeliharaan penting,” kata Budi.

Tantangan rehabilitasi lain, katanya, daerah kepulauan yang berada di selat dengan lalu lintas kapal besar cukup tinggi. Mangrove, katanya, juga akan dipengaruhi musim angin utara yang sangat kuat, apalagi kondisi kerapatan mangrove di Kepri, tidak terlalu baik.

Budi merincikan, ketika kerapatan mangrove itu tidak terlalu bagus akan mengakibatkan propagul mangrove yang jatuh ke tanah tidak bisa tumbuh karena tersapu ombak besar dan angin kuat.

“Mau tidak mau upaya melindungi propagul yang jatuh ke tanah dengan membuat pemecah ombak.”

 

Penampakan suburnya mangrove di Kota Batam, Kepulauan Riau. Mangrove di Batam retan dirusak untuk kepentingan ekonomi.Foto Yogi E S/ Mongabay Indonesia

 

Jadi, katanya, menggantungkan sepenuhnya kehidupan mangrove secara natural di daerah pesisir atau kepulauan tak memungkinkan. “Makanya, Kepri termasuk satu provinsi yang dipilih untuk rehabilitasi.”

Mangrove, kata Budi, sangat penting di daerah pesisir, untuk mengurangi abrasi, intrusi air laut ke daratan, menahan ombak, menahan kenaikan permukaan air laut karena perubahan iklim dan lain-lain.

BRGM berencana membangun desa peduli mangrove di Kepri. Setelah BRGM rehabilitasi, katanya, pengawasan dari pemerintah daerah sangatlah penting.

Selain itu, kebijakan dan regulasi pemerintah daerah harus mendukung program rehabilitasi mangrove ini. “Apalagi pada perencanaan tata ruang daerah, harus memperhatikan ekosistem mangrove dan keberlanjutan dan pemanfaatan, mangrove yang terlindungi akan melindungi kawasan di belakangnya,” kata Budi.

 

Tak hanya soal menanam…

Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia mengatakan, restorasi atau rehabilitasi mangrove, harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, soal status lahan.

Status lahan sangat penting, karena akan menentukan status mangrove ke depan. “Itu yang banyak masalah sekarang, mangrove sudah ditanam, status tanaman tidak jelas,” katanya.

Kedua, pemerintah daerah maupun pusat harus memiliki analisis sama, jangan sampai ketika satu instansi menanam dan satu lagi menimbun. “Saya sarankan ini harus jelas, termasuk tata ruang, kalau tidak ini hanya proyek, hasilnya tidak ada.”

Rehabilitasi, katanya, tidak hanya soal menanam, tetapi harus ada kerjasama pemerintah dengan masyarakat, salah satu dengan pemilik tambak di kepulauan.

Pemerintah, katanya, bisa memberdayakan pemilik tambak untuk menanam mangrove di sekeliling tambak mereka. “Jadi, di sekitaran tambak banyak mangrove, mangrove hidup, tambak ikan sehat.”

Program rehabilitasi mangrove BRGM, katanya, bisa berhasil melalui kerjasama semua pihak.

Nyoman bilang, mangrove sangat penting di daerah kepulauan, antara lain, sebagai pelindung pulau kecil, dan lain-lain. “Kalau gambut hilang, pulau juga [bisa] hilang.”

Mangrove kepulauan, katanya, adalah benteng daratan, kalau mangrove punah, keberadaan pulau akan terancam.

Kalau mangrove terus ditebang rentan terjadi bencana, apalagi di daerah yang kepentingan pariwisata dan industri sangat besar seperti di Kepri.

Dia mengusulkan daerah kepulauan seperti Batam, harus ada perlakuan khusus. Kalau memang di kepulauan mangrove sulit hidup, mengkombinasikan mangrove dan tembok pemecah ombak bisa jadi solusi.

Menurut Nyoman, kalau dipaksakan sekadar menanam akan sia-sia. “Jangan dipaksakan rehabilitasi dengan menanam saja, harus cari upaya untuk menyelamatkan pulau dengan cara rasional.”

Foto udara penampakan penimbunan mangrove di Tanjungpiayu, Kota Batam, Kepulauan Riau. Penimbunan dilakukan di lahan program hbilitasi lahan dan hutan KLHK  hingga kini terus  berlangsung. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version