Mongabay.co.id

Tepatkah Operasional Kapal Cantrang Sekarang?

 

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara, sebaiknya ditinjau kembali untuk dimasukkan sebagai salah satu wilayah perairan untuk operasional alat penangkapan ikan (API) cantrang.

Ketentuan tersebut sudah ada dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan dan Alat Penangkapan Ikan di WPP NRI dan Laut Lepas.

Selain WPP 711, peraturan yang sampai sekarang belum diberlakukan tersebut juga memasukkan WPP 712 yang meliputi wilayah perairan Laut Jawa sebagai wilayah perairan untuk operasional API Cantrang. Keduanya terpilih dari 11 WPP yang ada di Indonesia saat ini.

Dari kedua WPP yang terpilih, Pemerintah Indonesia cenderung mendorong operasional cantrang di sekitar wilayah perairan yang masuk dalam WPP 711. Terutama, perairan Laut Natuna Utara yang secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menerangkan, kebijakan mengizinkan operasional kapal perikanan dengan API cantrang di perairan WPP 711 merupakan kebijakan yang tidak tepat.

Mengingat, ada banyak permasalahan yang belum diselesaikan dan dicarikan jalan keluar oleh Pemerintah Indonesia di wilayah perairan tersebut yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah Kab Natuna dan Kab Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau.

baca : Babak Baru Polemik Cantrang

 

Sebuah kapal yang menangkap ikan dengan jaring super trawl (pukat hela). Foto : Greenpeace

 

Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan sebaiknya melakukan revisi secara terbatas untuk kebijakan legalisasi cantrang yang tertuang dalam Permen KP No.59/2020 dan kemudian melakukan penyelarasan dengan Permen KP No.2/2015, serta Permen KP No.71/2016.

“Itu agar kepastian hukum dan kepastian usaha perikanan bisa dihadirkan,” ucap Halim belum lama ini di Jakarta.

Dalam melaksanakan proses revisi, Menteri KP juga sebaiknya melakukan pembaruan status stok ikan dan juga jumlah tangkapan yang diperbolehkan di WPP-NRI 711. Selain itu, juga harus dilakukan evaluasi pelaksanaan rencana pengelolaan perikanan (RPP) WPP-NRI tersebut.

Sejumlah langkah yang harus dilakukan oleh Menteri KP tersebut, dinilai menjadi langkah strategis untuk kondisi saat ini dan diyakini bisa menjadi solusi untuk polemik yang terjadi di daerah yang masuk WPP-NRI 711, yaitu Natuna dan Anambas.

“Ketimbang memaksakan kepentingan politik jangka pendek (pemberlakuan Permen KP No.59/2020) yang beresiko merusak keberlangsungan sumber daya ikan, dan menghadirkan kemiskinan baru bagi masyarakat nelayan tradisional di WPP-NRI 711 dan 712,” jelas dia.

baca juga : Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing

 

 

 

Kajian Perikanan WPP 711

Untuk bisa melakukan pembaruan stok ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan di WPP-NRI 711, Pemerintah perlu melakukan kajian mendalam yang dilakukan secara independen oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan).

Kemudian, jika hasil kajian Komnas Kajiskan dinyatakan sudah selesai dan dinyatakan sah, maka Pemerintah juga harus memperbarui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.78/2016 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan WPP-NRI 711.

Setelah memperbarui Kepmen 78/2016, Pemerintah harus melakukan anulir kebijakan mobilisasi kapal perikanan cantrang ke Laut Natuna Utara yang menjadi bagian dari WPP-NRI 711. Juga, memprioritaskan pengelolaan perikanan secara sinergis dengan tujuh provinsi di sekitar WPP-NRI 711.

Ketujuh provinsi tersebut, adalah Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, dan Provinsi Kalimantan Tengah.

Terakhir, yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah melakukan revisi Permen KP No.59/2020 tentang legalisasi cantrang sebagai API. Revisi harus selaras dengan ketentuan dalam Permen KP No.2/2015, dan Permen KP No.71/2016.

“Dan memprioritaskan pemakaian alat tangkap yang lebih ramah lingkungan, sebagaimana diatur di dalam Kepmen No.78/2016 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan WPP-NRI 711,” tegas dia.

perlu dibaca :Pelegalan Cantrang Jadi Bukti Negara Berpihak kepada Investor

 

Sebuah kapal penangkap ikan dengan jaring pukat hela (trawl). Foto : awionline.org

 

Potensi Konflik

Semua rekomendasi tersebut diberikan untuk KKP, karena Halim melihat bahwa kebijakan pengelolaan perikanan di WPP-NRI 711 sejauh ini dinilai masih belum baik dan efektif. Terbukti, dengan adanya kebijakan Permen KP No.59/2020 yang dinilai terburu-buru dan minim kajian yang mendalam.

Menurut dia, jika KKP tidak melaksanakan rekomendasi yang disebutkan di atas, maka hal utama yang akan muncul adalah terjadinya konflik horizontal berkaitan dengan perebutan wilayah tangkapan ikan. Konflik itu bisa terjadi, karena wilayah tangkapan nelayan lokal dengan nelayan cantrang adalah sama.

Kalau sampai itu terjadi, maka diskriminasi terhadap hak-hak nelayan lokal sedang berjalan dan itu menandakan bahwa persaingan sudah tidak sehat lagi. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu langkah taktis dan tegas dari Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Satu lagi yang menjadi penilaian penting, adalah bagaimana semua pihak terkait bisa sama-sama memastikan bahwa usaha perikanan di WPP 711 bisa tetap berjalan baik. Caranya, adalah dengan memastikan kesejahteraan masyarakat lokal dan sumber daya ikan (SDI) bisa tetap terjaga baik.

“Tantangan lain dalam pengelolaan perikanan di WPP-NRI 711, juga adalah bagaimana meningkatkan kapasitas nelayan lokal secara baik. Juga, bagaimana agar eksploitasi SDI yang semakin tinggi bisa dikurangi demi keberlanjutan di masa mendatang,” tutur dia.

baca juga : Edhy Prabowo Harus Batalkan Rencana Revisi Pelarangan Cantrang, Kenapa?

 

Kearifan lokal menjaga laut dijalankan penuh nelayan Aceh dengan tidak menggunakan bom atau pukat harimau. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kompetisi Tidak Sehat

Abdul Halim menyebutkan, berdasarkan data yang dirilis KKP pada 2017, jumlah kapal perikanan cantrang yang ada di pulau Jawa adalah sebanyak 4.949 unit. Dengan rincian, sebanyak 2.371 unit adalah kapal berukuran kurang dari 10 gros ton (GT) dan sisanya atau 2.578 unit adalalah kapal berukuran atara 10-30 GT.

Selain di Jawa, kapal cantrang juga beroperasi di hampir seluruh Laut Jawa, dan terkonsentrasi di Selatan Belitung, Selatan Kalimantan, sampai Selat Makassar. Imbasnya, nelayan setempat kehilangan aksesnya untuk memanfaatkan sumber daya ikan.

Kondisi itu bisa terjadi, karena nelayan setempat biasa menangkap ikan di bawah luas area 12 mil. Sementara, kapal cantrang juga kini diberikan hak yang sama untuk bisa beroperasi di bawah 12 mil. Kebijakan tersebut menegaskan ada pembiaran kondisi yang memicu terjadinya kompetisi dan mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak nelayan lokal.

Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri pada kesempatan yang sama mengatakan bahwa penerbitan Permen KP No.59/2020 menjelaskan kalau Pemerintah Indonesia sudah mengabaikan dampak buruk yang ditimbulkan dari operasional kapal cantrang di WPP-NRI 711 terhadap keberlangsungan SDI dan kesejahteraan masyarakat nelayan yang ada di tujuh provinsi dan 29 kabupaten/kota.

“Khususnya di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas yang bersentuhan langsung dengan rencana operasionalisasi kapal cantrang di Laut Natuna Utara,” tutur dia.

Di sisi lain, kebijakan mobilisasi kapal cantrang ke WPP-NRI 711 tak hanya menerangkan kalau Pemerintah Indonesia tidak fokus menghadirkan kepastian hukum dan kepastian usaha perikanan, namun juga sudah memindahkan persoalan dari tempat lain ke WPP-NRI 711.

Di Natuna sendiri, jumlah nelayan saat ini mencapai 10.400 orang, dengan rincian sebanyak 4.345 orang adalah nelayan utama dan 6.055 adalah nelayan sambilan. Untuk armada, jumlahnya mencapai total 4.282 unit.

perlu dibaca : Nelayan Maluku Utara Minta Pemerintah Cabut Aturan Diperbolehkannya Cantrang

 

Ilustrasi. Nelayan memperbaiki jaring yang rusak. Jaring ini digunakan untuk tangkapan ikan tongkol. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Penundaan Pelaksanaan

Menanggapi pro dan kontra terhadap Permen KP No.59/2020, Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono pada kesempatan terpisah mengatakan bahwa pelaksanaan peraturan tersebut masih belum dilakukan. Dia mengaku tidak mau terburu-buru menerapkannya, dan memilih untuk menyerap semua masukan yang ada.

Keputusan untuk tidak segera memberlakukan, walau sudah disahkan, dilakukan dia karena peraturan tersebut dibuat oleh pendahulunya, yakni Edhy Prabowo. Dengan demikian, dia harus kembali mempelajari dengan mengacu pada kedaulatan, kelestarian, dan kesejahteraan ekosistem.

Diketahui, Permen KP 59/2020 mengatur tentang selektivitas dan kapasitas API, perubahan penggunaan alat bantuan penangkapan ikan, perluasan pengaturan, mulai dari ukuran kapal hingga Daerah Penangkapan Ikan (DPI).

Permen itu juga memperjelas penyajian pengaturan jalur untuk setiap ukuran kapal, sesuai dengan kewenangan izin usaha penangkapan ikan, serta perubahan kodifikasi alat penangkapan ikan berdasarkan International Standard Statistical Classification of Fishing Gear (ISSCFG) organisasi pangan dan agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Exit mobile version