Mongabay.co.id

Kurangi Sampah Plastik dengan Membangun Budaya Isi Ulang

Melindungi kehidupan ikan purba Coelacanth adalah tugas kita bersama, termasuk membebaskan laut dari sampah plastik. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

 

Persoalan sampah plastik merupakan masalah serius di Indonesia, terutama karena tidak hanya mencemari daratan namun juga sungai dan laut. Budaya menghasilkan sampah di tengah masyarakat ini tidak lepas dari pola hidup moderen, menggunakan kemasan plastik.

Plastik membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai di alam, menjadi ukuran mikro. Mikroplastik ini juga yang menjadi ancaman serius karena telah ditemukan di air, di tubuh ikan, serta pada makhluk hidup perairan lainnya.

Kondisi ini yang menjadi landasan Laksamana Sakti atau biasa disapa Alif, untuk menghadirkan produk kebutuhan harian masyarakat dalam bentuk isi ulang, yang tidak menimbulkan sampah baru. Alif adalah Head of Operation Siklus Refill Indonesia, sebuah perusahaan rintisan yang menghadirkan solusi bagi masalah sampah di tanah air. Melalui perusahaannya, Alif mengajak masyarakat kembali pada budaya isi ulang/refill yang tidak hanya lebih hemat, tapi juga ramah lingkungan karena tidak menghasilkan sampah.

“Saat ini ritel yang ada masih tidak efisien, karena dari sisi supply tidak ada opsi terkait penggunaan plastik, tidak ada keinginan berubah. Harus ada solusi mengenai bagaimana kita membeli tapi tidak menimbulkan sampah sama sekali,” kata Alif, pada Bincang Alam Mongabay Indonesia, Jumat [26/2/2021].

Baca: Ekspedisi Susur Sungai, Perjuangan Kaum Perempuan Bebaskan Sungai Surabaya dari Pencemaran

 

Brigade Evakuasi Popok ini mengangkut dua karung sampah popok bayi yang dibuang ke Sungai Brantas, beberapa waktu lalu. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Alif menyebut, sampah plastik khususnya sachet menjadi musuh utama lingkungan hidup, yang harapannya dapat dihilangkan. Namun, masyarakat banyak memakai kemasan plastik sachet karena produsen menyediakan, dan harganya yang paling terjangkau masyarakat kelas ekonomi menengah kebawah. Padahal menurut riset Siklus Refill Indonesia, harga yang dikeluarkan untuk membeli sachet justru lebih mahal bila diakumulasi, dibandingkan kemasan besar.

Botol setiap pump atau pencetan menghasilkan 2,5 ml. Pengukuran itu penting, banyak masyarakat menyukai sachet karena masalah dosing. Kami memberikan botol yang memiliki ukuran tepat, 4 kali dosing sama dengan 1 sachet. “Secara isi sama, tapi lebih murah. Kami menyediakan produk-produk yang sama, tanpa sampah,” terangnya.

Budaya baru refill ini kata Alif, dapat diadopsi siapa saja untuk melawan ancaman sampah di Indonesia. Ini terkait awal mula Alif terjun ke bisnis rintisan, dipengaruhi keprihatinan melihat dampak buruk sampah bagi lingkungan dan masyarakat, khususnya anak-anak.

Masyarakat sekitar tempat pembuangan sampah berisiko terganggu kesehatannya, karena banyak mencari sampah yang masih dapat dimanfaatkan. Padahal seharusnya, pemerintah menyediakan tempat dan fasilitas pengolahan sampah, sementara produsen turut bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkannya.

Baca: Bahaya Mikroplastik! Bukan Hanya Ikan, Manusia Juga Terpapar

 

Contoh sampah plastik kemasan kecil yang ditemukan di Sungai Brantas. Foto: Dok. Ecoton

 

Gerakan Siklus Refill Indonesia yang baru berjalan di Jakarta dan sekitarnya, diharapkan dapat dikenal dan diikuti masyarakat untuk mengurangi sampah mulai dari produk yang digunakan, dari sachet ke kemasan yang dapat dipakai berulang.

“Kami ingin tidak hanya Jakarta dan sekitarnya, tapi juga kota-kota lain di Indonesia, masyarakatnya mau mengenal gerakan kami, mengikuti budaya refill,” kata Alif.

Produk Siklus Refill Indonesia menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat, mulai sabun cuci pirin, sabun cuci baju, pembersih lantai, hingga sabun mandi, shampo, dan sanitizer. Alif berharap gerakan ini juga memunculkan wirausaha baru yang mau bekerja sama dengan Siklus.

“Juga membantu mikro enterpreneur yang berarti menggerakkan roda ekonomi,” imbuhnya.

Di negara maju, menurut Alif, budaya isi ulang sudah menjadi kebiasaan warganya. Namun, sebenarnya isi ulang ini justru telah menjadi budaya masyarakat Indonesia di masa lampau.

“Pada masa lalu, masyarakat belanja ke pasar untuk membeli produk sesuai kebutuhan, baik jumlah maupun berat. Belum dikemas. Mereka membawa sendiri wadahnya. Jadi kita coba memunculkan lagi budaya isi ulang ke permukaan sekaligus menjadi kearifan lokal,” paparnya.

Baca juga: Tidak Hanya Ganggu Kesehatan, Sampah Juga Merusak Lingkungan

 

Sampah yang mengotori laut merupakan nyata. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Sachet peringkat pertama penyumbang sampah

Sachet menempati posisi teratas daftar jumlah sampah terbanyak, menurut riset yang dilakukan Ecoton. Dari program audit Ecoton pada 2021 ini, terdapat sejumlah merek produk berbagai kebutuhan masyarakat yang menyumbang sampah. Sachet menyumbang volume terbesar sampah yang dihasilkan.

“Kami sudah mengidentifikasi, ada 10 besar kontributor sampah di perairan Jawa Timur. Dari temuan kami di lebih dari 300 timbunan sampah liar, termasuk di sejumlah sungai di Jawa Timur, hampir 80 persen sampah plastik yang ditemukan jenisnya sachet,” terang Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton.

Dari audit itu, Ecoton bersama 5 perempuan Jawa Timur juga melakukan gugatan terhadap perusahaan yang menjad penyumbang sampah terbesar. Langkah ini seiring dengan dorongan kepada pemerintah untuk mengurangi sampah, dan bersikap tegas terhadap perusahaan atau industri yang terbukti tidak melakukan extended producer responsibility [EPR].

Bersama kelompok-kelompok yang menolak plastik sekali pakai dalam Aliansi Zero Waste Indonesia, Ecoron mendorong pemerintah di kabupaten, kota, maupun provinsi, untuk membuat peraturan daerah [perda] tentang pengurangan atau pelarangan sampah plastik sekali pakai, seperti sachet, tas kresek, sedotan, styrofoam, dan botol air kemasan.

“Kami sudah mengirim permintaan audiensi ke DPRD Provinsi Jawa Timur, ke Komisi D, dan ke DPR RI. Tujuannya, untuk menunjukkan data adanya mikroplastik dalam ekosistem kita,” ujarnya.

 


Prigi menyebut, ekosistem di sekitar tempat hidup masyarakat telah tercemar atau terkontaminasi plastik sekali pakai. Tidak hanya di air dan sedimen, mikroplastik juga ditemukan pada tubuh ikan, kerang, udang, dan teripang, yang menunjukkan ancaman pencemaran plastik ini sudah sangat nyata.

Menurut Prigi, ada tiga kunci memerangi masalah sampah plastik. Pertama, pemerintah harus didorong menyediakan fasilitas hingga tempat pengolahan sampah yang baik. Sejauh ini, sistem pelayanan sampah di Indonesia tidak lebih dari 30 hingga 40 persen. Ini berarti masih banyak penduduk Indonesia yang belum terlayani sarana pengolahan sampah, seperti tempat pengolahan sampah terpadu.

Kedua, peraturan serta sanksi tegas terhadap pelanggar. Ketiga, produsen harus menyediakan refill center, mendesain ulang produknya, menyediakan sarana kontainer khusus sampah sachet, yang bersama pemerintah menjadi penyedia sarana pengelolaan sampah.

Perubahan perilaku juga harus didukung oleh gerakan komunitas-komunitas masyarakat yang mendukung upaya pengurangan sampah. Termasuk, gerakan memboikot produk yang menyumbang sampah terbesar.

“Setelah semua bekerja sama, baru sanksi tegas atau hukuman bagi pelanggar dapat berjalan efektif. Dengan begitu, sampah plastik dapat kita kurangi,” tegas Prigi.

 

 

Exit mobile version