Mongabay.co.id

Potret Perempuan dari Tak Punya Hak Lahan sampai Kondisi Miris di Kebun Sawit

Perempuan Suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat sedang menganyam dari bahan yang berada di hutan. Investasi tidak hanya berupa akumulasi modal, upaya masyarakat adat dengan menjaga hutannya dan mengembangkan kearifan lokal dan keserasian hidup itu juga sebuah investasi yang tak ternilai. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

 

 

 

Tiap 8 Maret dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Kini, lebih 100 tahun sudah peringatan Hari Perempuan ini, berbagai ketidakadilan, budaya patriarki maupun diskriminasi masih menimpa para perempuan, termasuk di Indonesia. Kondisi perempuan, seperti, sebagian perempuan adat yang tak punya hak suara menentukan atas lahan dan hutan, maupun nasib buruh perempuan di kebun sawit, sebagai potret kecil dari kondisi ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami perempuan hingga kini.

Naomi Kabri dari Kampung Garusa Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura, Papua, mengatakan, saat ini suara perempuan masih sebatas memberi pertimbangan tetapi tak ikut membuat keputusan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah dan hutan. Kondisi ini, katanya, tak lepas dari sistem kekerabatan patrilienal di wilayah adatnya hingga keputusan atas tanah masih ranah hak laki-laki.

Seorang perempuan yang sudah berkeluarga tidak berhak atas wilayah adat asal mereka, kecuali mendapat hak pakai oleh orang tua atau saudara laki-laki.

“Dia ikut suaminya. Dia punya hak bicara di wilayah suaminya karena dia melahirkan anak-anak di sana. Itu masih bisa tapi itu hanya sebatas pendapat yang disampaikan. Kadang diakui, kadang tidak,” katanya.

Distrik Unurum Guay, asal Naomi merupakan area operasi perusahaan sawit, PT Rimba Matoa Lestari. Perusahaan ini mendapat izin pelepasan kawasan hutan seluas 29.588,70 hektar dan hak guna usaha 17.000 hektar.

Saat ini, ada sekitar 5.000 hektar yang dibuka. Izin ini berada di tanah milik belasan marga. Proses pelepasan lahan tidak melibatkan suara kelompok perempuan. Padahal, dampak dari kehilangan hutan maupun ruang hidup, perempuan alami dampak ganda.

“Di tempat itu (sudah dibuka) Suku Ters dan Jek punya tempat pencarian makan. Mereka itu kan alam yang menyediakan semua termasuk untuk mencari makanan seperti babi atau ikan,” katanya.

Tempat itu, kata Naomi, sekarang jadi kebun sawit hingga mereka harus berjalan jauh dari perkampungan untuk memenuhi keperluan, seperti bahan pangan.

 

Foto: Yayasan Pusaka

 

Meskipun begitu, dia yakin, akan ada perubahan terkait posisi perempuan. Hal ini, tak lepas dari sosialisasi tentang hak-hak perempuan di kampung. Kehadiran beberapa organisasi masyarakat sipil juga mendorong perempuan mengenal hak-hak mereka.

“Mungkin dari dulu perempuan tidak pernah diakui. Tetapi dengan ada proses, mungkin dengan sosialisai ini nanti ada pemahaman untuk laki-laki bahwa perempuan punya hak memutuskan atas tanah.”

Tidak berbeda dengan di Jayapura, di wilayah selatan seperti Merauke, Mappi dan Boven Digoel, suara perempuan juga masih dinomorduakan. Hal ini disampaikan Susan Kandaimu, penyiar acara Mari Cerita Papua (Mace Papua) di RRI Pro 2 Merauke. Mace Papua pernah mengundang narasumber perempuan dari wilayah selatan yang selama ini bergerak bersama-sama mama di kampung mempertahankan tanah dan hutan mereka.

Lewat Mace Papua, susan berharap bisa terus kampanyekan yang berhubungan dengan perempuan, tanah, hutan, laut yang jadi ibu orang Papua.

“Supaya situasi yang terkait dengan tanah, hutan, laut yang jadi sumber kehidupan orang Papua itu kita bisa sama-sama turut dan berpikir.”

Pada momen Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2021 ini, Susan berharap perempuan terutama di tanah Papua tak termarginalkan.

“Perempuan Papua terus memperkuat kapasitas diri supaya tidak hanya jadi pelengkap di dalam organisasi atau di keluarga tetapi ide dan gagasan kita bisa dipakai dalam apapun yang jadi kebutuhan masyarakat umum.”

Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka, mengatakan, di Papua, deforestasi terus terjadi meski masa pandemi dan berdampak bagi masyarakat adat, terlebih kelompok perempuan alami beban ganda.

“Mereka kehilangan alat produksi, mengalami kekerasan dan masalah kesehatan,” katanya dalam pernyataan lembaga yang dibagikan kepada media.

Saat ini, perempuan Papua bersuara dan meminta peran setara dalam membicarakan hak atas tanah adat.

Perempuan Papua, katanya, menuntut kepada negara dan korporasi, maupun pihak lain untuk melindungi dan menghormati hak perempuan. Juga, hak masyarakat adat sebagai penjaga hutan tersisa dan penjaga tanah adat.

“Kami bersolidaritas, mendukung dan mengajak semua elemen untuk bersatu dalam perjuangan hak-hak perempuan.

 

Naomi Kabri bersama kelompok perempuan dari wilayah Unurum Guay dalam satu kesempatan kegiatan perempuan di Jayapura. Foto: dokumen Naomi Kabri

 

Buruh perempuan di kebun sawit

Di Papua, para perempuan adat angkat bicara atas hak-hak kuasa lahan dan hutan, perempuan di tempat-tempat investasi bergerak pun, seperti perkebunan sawit, nasib perempuan miris.

Realitas kehidupan buruh sawit, terutama buruh perempuan masih memprihatinkan. Sawit Watch menyebutkan, buruh perempuan di perkebunan sawit bekerja dalam situasi rentan, tanpa jaminan kepastian kerja, tak ada kepastian upah, tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja memadai serta minim jaminan sosial dan kesehatan.

Sawit Watch melihat kerentanan buruh perempuan di perkebunan sawit sudah berlangsung lama. Praktik hubungan kerja rentan ini bahkan terjadi di perkebunan sawit yang mengklaim memiliki sertifikat keberlanjutan.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch dalam rilis kepada media mengatakan, sebagian besar buruh perempuan perkebunan sawit di lapangan adalah buruh prekariat.

“Perempuan yang bekerja di perkebunan sawit dianggap tidak ada, padahal buruh perempuan mengerjakan hampir setiap jenis pekerjaan di perkebunan sawit,” katanya.

Dia bilang, perhatian pemerintah dan korporasi dalam perlindungan buruh perkebunan sawit, terutama buruh perempuan masih rendah. Perusahaan, katanya, menyatakan akan mengimplementasikan praktik kerja non ekspoitasi, tetapi baru sebatas janji. “Di lapangan situasi justru perempuan dipekerjakan sebagai buruh harian lepas. Pemerintah tidak pernah memperbaiki kondisi ini.”

Zidane, spesialis Perburuhan Sawit Watch juga Koordinator Koalisi Buruh Sawit mengatakan, sebagian besar buruh perempuan perkebunan sawit di wilayah kerja perkebunan sawit adalah buruh prekariat (buruh harian lepas). Buruh perempuan ini, katanya, bekerja di bagian perawatan, menebas, semprot, pemupukan, rawat jalan atau mengutip berondolan.

Mereka kerja bertahun-tahun, bahkan ada yang puluhan tahun sebagai BHL. Para perempuan ini, kebanyakan bekerja melalui pihak ketiga. “Tidak ada kepastian mereka masih akan bekerja besok, karena itu tidak ada kepastian memperoleh upah. Buruh BHL bekerja tanpa jaminan pengobatan atau pemulihan dari kecelakaan kerja karena tidak didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan,” kata Zidane.

Sawit Watch pun mendesak pemerintah Indonesia menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subyek hidup layak.

 

Perempuan memanen sawit di Baribi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Alih-alih perhatian pemerintah jadi lebih baik bagi buruh perempuan di kebun sawit, UU Cipta Kerja malah makin menghilangkan kepastian kerja dan kepastian upah itu.

“Pemerintah harus menetapkan regulasi perburuhan yang menjamin perlindungan buruh, terutama buruh perempuan. Kondisi buruk dan kerentanan buruh perempuan di perkebunan sawit harus dihentikan,” kata Inda.

 

***

Dalam pernyataan Presidium Nasional Partai Hijau Indonesia (PHI) menyebutkan, Hari Perempuan Internasional tak bisa terpisahkan dari peran perjuangan para perempuan revolusioner melawan para pemilik modal yang menghisap, ketidakadilan, kekerasan dan pemiskinan yang melanda dunia.

Kali pertama International Women’s Day di Eropa, 8 Maret 1911. Para perempuan berbaris di Wina memperingati martir-martir Komune Paris. Pada 1917, para perempuan Rusia turun ke jalan memprotes kondisi kehidupan yang memburuk di tengah Perang Dunia I dan berujung menjatuhkan Tsar. Kemudian, Clara Zetkin, seorang perempuan revolusioner, mendorong Lenin menetapkan 8 Maret sebagai hari libur pada 1922.

Kondisi sekarang, seiring makin kencang perluasan akumulasi kapital di seluruh dunia, kelestarian lingkungan hidup terus terancam. Kini, saatnya menyatakan diperlukan feminisme untuk menolak segala bentuk penindasan gender yang berakar pada subordinasi reproduksi sosial untuk akumulasi kapital dan merusak lingkungan.

“Kita tak boleh lagi membiarkan para perempuan buruh, perempuan adat, perempuan nelayan, perempuan petani kecil berjuang sendiri. Kita tidak boleh lagi berdiam diri atas semua bentuk intervensi kedaulatan tubuh perempuan, baik atas nama ortodoksi agama, maupun hasrat akumulatif kapitalisme,” tulis pernyataan PHI.

 

***

Foto utama: Perempuan Suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat sedang menganyam dari bahan yang berada di hutan. Investasi tidak hanya berupa akumulasi modal, upaya masyarakat adat dengan menjaga hutannya dan mengembangkan kearifan lokal dan keserasian hidup itu juga sebuah investasi yang tak ternilai. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version