Mongabay.co.id

KEE Masakambing: Pelestarian Kakatua Jambul Kuning Harus Libatkan Masyarakat

Kakatua kecil jambul kuning di area mangrove Pulau Masakambing. Pulau Masakambing telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Foto: Masrur

 

Pulau Masakambing telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial [KEE] melalui SK Gubernur Jawa Timur No. 188/166/KTSP/013/2020. Alasan utama penetapan adalah memberikan perlindungan utuh habitat kakatua kecil jambul kuning [Cacatua sulphurea abbotti].

Kakatua kecil jambul kuning masakambing atau biasa disebut kakatua masakambing, memiliki nama lokal beka’. Burung ini endemik Pulau Masakambing sebagai subspesies dari enam subspesies kakatua yang ada di Indonesia.

Peraturan Menteri LHK Nomor: P/106MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/20218

tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindung menetapkan jenis ini sebagai satwa dilindungi. IUCN sendiri menetapkan statusnya Genting.

Hasil inventarisasi terakhir yang dilakukan Perkumpulan Konservasi Kakatua Indonesia menyebut, populasi kakatua masakambing hanya berjumlah 25 ekor.

Keterancaman ini semakin lengkap karena habitatnya tidak berada di kawasan konservasi [Kawasan Perlindungan Alam maupun Kawasan Suaka Alam]. Akan tetapi, tersebar di wilayah pertanian masyarakat.

Kondisi ini semakin meneguhkan tantangan target Aichi Biodiversity yaitu konservasi pada lahan kepemilikan pribadi atau Private Land Conservation [PLC] per 2020 ada 17% di kawasan daratan – perairan darat, serta 10% di kawasan laut – pesisir.

Baca: Konservasi dan Ekowisata Kakatua Jambul Kuning di Pulau Masakambing

 

Kakatua kecil jambul kuning berada di pohon randu sebagai sarangnya di Pulau Masakambing. Foto: Dok. Masrur

 

Urgensi KEE Masakambing

Habitat dominan kakatua masakambing berada di kawasan pertanian atau perkebunan yang statusnya milik masyarakat.

Sebagaimana diketahui, jenis ini memerlukan pohon-pohon penting yang digunakan sebagai sarang perkembangbiakan dan pemeliharan anak [nesting], tidur [sleeping], mencari pakan [feeding], serta aktivitas lain.

Hasil pemetaan BBKSDA Jatim pada 2018 menunjukkan, dari 9 pohon sarang yang teramati, 8 pohon sarang berada di area pertanian kering/permukiman masyarakat. Hanya 1 pohon sarang berada di area mangrove.

Sementara untuk pohon tidur, 5 di antaranya berada di area pertanian lahan kering/permukiman warga dan hanya 1 pohon tidur di area mangrove. Sementara, untuk mencari pakan dan aktivitas lainnya, lokasi pohon tersebar di area pertanian maupun mangrove.

Bertambah luasnya area permukiman dan alih komoditas tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan peruntukan habitat kakatua masakambing [semisal tanaman cengkih] merupakan ancaman serius. Penetapan KEE Pulau Masakambing seluas 779 hektar tersebut menjadi jawaban tepat, sebagai dasar legalitas dan arahan pengelolaan kehidupan kakatua masakambing untuk lebih baik.

Baca juga: Pulau Masakambing jadi Kawasan Ekosistem Esensial, Berharap Jambul Kuning Terus Terjaga

 

Kakatua kecil jambul kuning di area mangrove Pulau Masakambing. Foto: Dok. Masrur

 

Namun begitu, di sisi lain, partisipasi masyarakat lokal menjadi kunci keberhasilan pengelolaan kawasan. Pulau dengan penduduk sekitar 1.365 jiwa ini harus mendapat perhatian serius. Secara lokasi, masyarakat yang berada di Dusun Ketapang, perlu didorong lebih kuat dalam hal pengelolaan habitat, mengingat lokasi pohon-pohon penting berada di wilayah ini.

Partisipasi masyarakat di Dusun Tanjung Selamat juga tidak bisa diabaikan, mengingat aktvitas liar kakatua juga menjangkau wilayah ini. Demikian juga area antara Dusun Ketapang dan Dusun Tanjung Selamat, harus menjadi satu kesatuan ekosistem dalam kawasan KEE yang tidak dapat diparsialkan.

Pemerintah Desa Pulau Masakambing juga sebaiknya didorong aktif terlibat mengelola KEE. Terbitnya Perdes Pulau Masakambing No 1/2009 tentang Konservasi Kakatua Jambul Kuning dan dan Habitatnya menjadi poin penting akan peran pemerintah desa. Implikasi lain, terkait fasilitas, kebijakan pembangunan dan alokasi penganggaran, juga harus diperhatikan.

 

Kakatua abbotti menjadikan pohon randu sebagai tempat bersarang di Pulau Masakambing. Foto: Dok. Ihsannudin

 

CBC

Mengingat masyarakat lokal sebagai pemegang kepemilikan mayoritas area habitat kakatua masakambing, maka strategi konservasi berbasis masyarakat atau Community-Based Conservation (CBC) harus diterapkan. Ini akan berjalan efektif manakala masyarakat memiliki dua hal penting yaitu: kesadartahuan konservasi dan manfaat konservasi itu sendiri.

Penyadartahuan masyarakat lokal adalah hal mendasar. Meski masyarakat lokal telah sadar tidak memburu dan memperdagangkan kakatua, namun masih ada kecenderungan anggapan kakatua tidak perlu dikelola karena tidak akan ada pengaruhnya [nature capricious] untuk mereka. Bagi Masyarakat, yang terpenting adalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan.

Pengetahuan masyarakat lokal terhadap konservasi kakatua masakambing perlu terus diperkaya. Masyarakat lokal masih minim akan pengetahuan ekologi tradisional [Traditional Ecological Knowledge] tentang bagaimana melakukan konservasi kakatua. Hal ini dikarenakan, secara historis masyarakat Pulau Masakambing adalah pendatang dari berbagai etnis [Bugis, Mandar, dan Madura].

Anggapan bahwa kegiatan konservasi hanya berpihak dan mementingkan satwa dengan meminggirkan masyarakat sebagai pemilik habitat, harus dihilangkan.

Jika ditelisik lebih lanjut, sesungguhnya kegiatan konservasi satwa memberikan manfaat secara langsung [direct use] maupun tidak [indirect use] kepada masyarakat.

Untuk itu, penguatan program pemberdayaan masyarakat harus digiatkan. Kegiatan yang memiliki nilai ekonomi konservasi seperti ekowisata minat khusus, maupun yang memiliki manfaat baru seperti aktivitas pendapatan berbasis sumber daya dan kegiatan yang telah ada atau Income Genarating Activities [IGAs] harus digerakkan.

Pengelolaan KEE Masakambing bukan hanya berkaitan dengan teknis biologi, tetapi juga melibatkan aspek sosial, ekonomi, budaya dan kebijakan. Keterlibatan pemangku kepentingan [stakeholder engagement] adalah keniscayaan.

Sinergi dan koordinasi yang baik sangat diperlukan untuk menghasilkan hal positif dan produktif. Dengan begitu terjadinya konflik kepentingan sejumlah pihak dapat dihindari.

Salam Konservasi!

 

* Ihsannudin, Dosen Pemberdayaan Masyarakat dan Sumberdaya Alam, Departemen Agribisnis, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan, Jawa Timur dan Expert Board of Sustainable Conservation Partnership Indonesia [SCP Indonesia]. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version