Mongabay.co.id

Kawasan Hulu Bedugul: Bertani Ekologis dan Organik untuk Mengurangi Cemaran Sumber Air [Bagian 3]

 

Kebun-kebun yang menawarkan petik strawberry terlihat makin marak di kanan dan kiri jalan raya utama kawasan Bedugul, Bali. Saat mencoba masuk, salah satu pengelola kebun menyampaikan biaya petik per orang Rp10 ribu ditambah biaya hasil panen sekitar Rp50 ribu per kg.

Kebun-kebun strawberry nampak homogen, hanya satu jenis untuk wisata semata. Buah ini juga memerlukan perawatan dan input tinggi seperti air dan kombinasi input organik dan kimia.

Duplikasi atraksi wisata makin nampak di Bedugul. Keberagaman perlahan jadi keseragaman. Termasuk jenis tanaman dan budidaya pertaniannya.

Ini jadi alarm bagi kawasan Cekungan Bedugul, kawasan hulu sumber air di tengah Bali. Mengutip buku bertajuk Cekungan Bedugul Bali yang diterbitkan oleh Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) Bogor, Indonesia, 2018, sumber mata air dari daerah pegunungan seperti dari Tapak dan Lesong dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk kebutuhan sehari-hari. Namun ciri hidrologi terpenting di kawasan Bedugul adalah keberadaan tiga danau cekungan endorheik, yaitu Beratan, Buyan dan Tamblingan pada ketinggian 1214-1231 mdpl.

Secara umum, Bedugul memiliki dua tipe ekosistem yaitu ekosistem alam dan buatan manusia. Patch ekosistem alam disini mencakup semua vegetasi di hutan alam (primer dan sekunder), sedangkan ekosistem buatan terdiri dari vegetasi di hutan replantasi, lahan pertanian, pertanian dan pemukiman. Bedugul juga memiliki tiga kawasan konservasi, yaitu: Cagar Alam Batukahu, Hutan Lindung dan Kebun Raya. Dua kawasan pertama merupakan kawasan konservasi in-situ dan yang terakhir merupakan kawasan konservasi ex-situ.

Kawasan cagar alam merupakan ekosistem alam. Sedangkan hutan lindung, sebagian besar merupakan ekosistem buatan manusia yang terdiri dari hutan replantasi dan sebagian kecil sisa ekosistem alam. Kebun Botani “EkaKarya”, seluruhnya merupakan ekosistem buatan manusia (Fardilla dan Sutomo 2013).

baca : Kawasan Bedugul: Ketika Catur Desa Adat Ingin Kelola Hutan di Hulu Bali [Bagian 1]

 

Panorama Danau Tamblingan, Kabupaten Buleleng, Bali. Foto : pesonatravel.com

Pertanian Ekologis

Wayan Jarmin, petani kelompok tani Bukit Mesari di Bedugul menyadari ancaman kerusakan lingkungan dan krisis air yang mengancam sumber penghasilannya.

Di dua petak kebunnya, ia mempraktikkan cara bertani ekologis. Cara praktik pertanian yang rendah input kimia, produksi pupuk dan benih sendiri, serta konservasi air dengan memanfaatkan air hujan.

Kelompoknya membuat kompos padat, cair, dan pestisida alami. Jarmin juga mencoba pertanian organik dengan membuat greenhouse seluas 1 are berisi tomat, selada, bit, dan hortikultura lain tanpa input kimia. Greenhouse dipakai sebagai siasat proteksi dari hama dan pengurangan air.

Awal bertani, ia menampung air hujan dengan terpal, kadang beli air tangki karena kebun tak teraliri PDAM. Dalam sekali musim, ia bisa beli 4 tangki dengan harga sekitar Rp225 ribu/4000 liter.

Kemudian, pada 2018 air hujan ditampung tangki, digunakan untuk cuci sayur dan irigasi kebun. “Air lebih bersih setelah pakai tangki. Saat kemarau 5000 liter habis satu bulan saat bertani intensif,” urai Jarmin. Instalasi penampungan air hujan didukung Yayasan IDEP.

Secara teknis, cara memanen air hujan di kebun cukup sederhana, sekeliling atap pondokan sederhana diisi talang air hujan yang menuju sebuah bak penampung. Jika bak penuh, air akan masuk ke sumur resapan yang dibuat di dalam tanah. Mirip biopori, tapi diameternya lebih besar dan mampu menyerap air lebih cepat, mengembalikan cadangan air akuiver.

“Bertani hibrida boros, penggunaan pupuk boros,” ujarnya. Ia mengelola satu hektar lahan milik keluarganya.

baca juga : Kawasan Hulu Bedugul : Ancaman Longsor dan Sampah [Bagian 2]

 

Wayan Jarmin, petani dengan konsep ekologis di Bedugul, Bali. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Untuk keberlanjutan pasokan, ia menanam sistem rotasi. Pertama tanam wortel, lobak, bit di tiap bedeng. Masa tanam tak serentak, biar panen bergiliran. Kalau bertani konvensional biasaya musim tanam serempak.

Ia mengingat ketika masih kecil, nyaris semua pertanian di Bedugul tanpa input kimia atau organik. Dua komoditas unggulan saat itu adalah kubis dan jagung. Sejak tahun 80-90an, pertanian terus berubah dengan fokus intensifikasi, salah satunya harus menggunakan kimia.

Jarmin mulai sistem tani agroekologi pada 2013 setelah produknya mendapat jaminan pasar, langganan hotel.

Model agroekologi menurutnya cocok bagi petani kecil, apalagi lahannya dekat hutan. Ia harus menjaga kelestarian hutan dan hama sedikit. Jika berkebun tanpa input kimia di tengah pemukiman kebun harus ditanami pohon pembatas. “Petani tanpa modal pun bisa karena pupuk dan benih bikin sendiri,” urai Jarmin.

Kendala petani menurutnya hanya satu, yakni pasar. Karena itu dukungan di rantai agroekologi ini sangat dibutuhkan. Misalnya petani bisa jual bibit ke IDEP, dan ada hotel atau agen distributor yang berlangganan hasil panen.

Dengan konsep itu, harga pertaniannya bisa lebih tinggi 20-50% dan harganya stabil. Jika bertani konvensional, harganya cenderung naik turun. “Musim hujan lebih mahal, kena angin, cepat rusak. Buah lambat karena matahari kurang,” sebutnya.

Namun di sisi lain, masa tanamnya lebih panjang dibanding komoditas dengan input kimia. Hasilnya juga lebih sedikit karena tanpa zat perangsang.

Saat ini anggota Bukit Mesari sekitar 9 orang dari sekitar 200 KK warga banjar Bukit Catu, area mukimnya.

baca : Memilih Bisnis Ekologis Saat Rehat Pandemi

 

Perkebunan organik untuk edukasi di Kampung Bingo, Bedugul. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Selama 10 tahun terakhir, Jarmin melihat perubahan atas degradasi di Bedugul. Polusi kimia pestisida, alih fungsi lahan villa, dan tempat pembuangan sampah liar. Ia menyontohkan, sebuah lahan TPS yang diuruk tanah, kemudian ditanami sayur. Sampah digunakan sebagai material urugan.

Ia juga tak lupa longsor di Bukit Dasong pada 2002 yang menimbulkan korban meninggal dan kerusakan sejumlah rumah di kaki bukit. Ada juga banjir bandang di Kebun Raya Bedugul yang lokasinya dekat kebunnya. Peristiwa paling sering adalah meluapnya danau karena pendangkalan.

 

Kebun organik edukasi

Pertanian organik juga diyakini mengurangi risiko cemaran sumber air oleh Made Gunada yang kini mengembangkana areal kebun edukasi bernama Kampung Bisa Ngomong (Bingo). Petani dan penyalur sayuran organik ini memiliki pelanggan usaha waralaba populer.

Ketika dikunjungi, Kampung Bingo terlihat dikelola memadukan rekreasi keluarga, restoran, kebun pembibitan, dan kebun sayur. Aneka sayur yang biasa dipesan restoran seperti selada bulat, peterseli, tomat, silantro, dan lainnya ini ditata menyerupai pola-pola kebun permakultur.

Sementara di kebun pembibitan kita bisa belajar mempelajari cara menyemai dan merawat aneka bahan pangan organik. Salah satu petugas dan juga petani di Bedugul adalah Nyoman Giriyasa.

Ia mengatakan kebun ini bagian dari pabrik pengemasan selada bulat dan acar (pickle). Pengunjung juga bisa panen di demplot sayur untuk dimasak di restoran. Menu-menunya memang sebagian salad aneka jenis, fresh from garden.

baca juga : Kebun Hidroponik di Atap Hotel, Siasat Pasok Pangan di Nusa Penida

 

Ramuan salad dari kebun Kampung Bingo. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Giriyasa juga punya kebun sendiri, dan tertarik menekuni pertanian organik. “Jual kesehatan juga, karena residu sedikit. Kita tahu biaya kesehatan,” urainya saat sibuk berkebun dengan rekannya. Menurutnya pertanian ini memudahkan karena bisa buat bibit sendiri seperti selada merah, ditanam dalam green house untuk mengurangi kontak dan hama. Salah satu target pengunjung adalah anak-anak, karena itu syarat kebun tanpa pestisida.

Ia merasakan sendiri, masifnya optimasi pertanian dengan input kimia berdampak pada lingkungan misalnya makin sulit menemukan capung. Langkah pertama pertanian organik menurutnya menghidupkan unsur hara tanah dan memanfaatkan bahan di alam. Misalnya membuat pupuk fermentasi dari kotoran kambing atau sapi. Kebutuhan pupuk kering hampir satu kilogram per tanaman atau sekitar 25 kg/are. Pestisida hayati dibuat dari campuran pohon gamal, kunyit, lengkuas, dan lainnya.

Untuk kawasan Bedugul, kekhawatirannya adalah makin masifnya alih fungsi lahan di perbukitan yang rawan longsor, tanah kurang subur, dan sampah. Karena itu ia berharap pembelajaran pertanian untuk anak muda makin menarik, salah satunya di Kampung Bingo ini.

Exit mobile version