Mongabay.co.id

Amuk Lindu di Majene [1]

 

 

 

 

Siang itu, medio Januari, gerimis turun. Jasman, petani kemiri menanjaki sebuah bukit, yang berhadapan langsung dengan kampung kelahirannya, Aholeang, dusun penghasil kemiri di Desa Mekkatta, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Orang-orang menjuluki bukit itu, Tanete Bajo.

Tanete Bajo, menyerupai mangkuk terbalik. Punggungan melebar, melandai dan kebanyakan berbidang datar. Warga mengubah bukit itu jadi kebun. Di sela ladang padi dan pohon-pohon kemiri yang menjulang, jalan tanah setapak meliuk. Jalan inilah tiap hari jadi sarana warga menuju kebun masing-masing, termasuk Jasman.

Kebun Jasman, terletak di bukit, seberang Tanete Bajo. Hujan masih mengguyur, ketika petani 31 tahun itu sampai ke kebun. Di depannya, kemiri sudah berserakan. Petani dua anak itu menunduk, memungut dengan tekun. Biji demi biji.

Bagi Jasman, kemiri merupakan keajaiban ekonomi. Kemiri tak kenal musim panen. Duit jutaan bisa datang saban bulan. Siang itu, warga lain juga melakukan hal sama di Aholeang.

Belum lima menit Jasman bekerja, tanah berguncang kuat. Jasman menyentak tubuh Jasman ke tanah. Suara gemuruh mengisi langit. Dari arah punggungan bukit, longsoran meluncur begitu cepat. Jasman tahu, itu linor—bahasa Mandar untuk gempa. Dadanya berdebar hebat.

Jasman berlari pulang, melupakan tas berisi bekal dan air minum. Dia melebarkan langkah. Jasman mencemaskan Sartika, istri dan dua anaknya.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melansir, gempa itu berkekuatan 5,9 Magnitude. BMKG mengkategorikan sebagai gempa pembuka (foreshock), berpusat di darat, dengan kedalaman 10 km.

Ketika mencapai puncak Tanete Bajo, Jasman menenangkan diri. Dia begitu lelah, tetapi harus berlari. Di hadapannya, melintang retakan panjang. Punggungan bukit merekah. “Mungkin bisa masuk tiga jari,” kata Jasman. “Kelihatannya dalam.”

Apakah bukit itu akan longsor? Tak mungkin pikir Jasman. Dia melanjutkan perjalanan, memotong jalur, lalu mengarah lurus ke rumahnya, yang berhadapan dengan Mesjid Aholeang.

Di kampung, orang-orang berhamburan keluar rumah. Ketakutan. Jasman dan keluarga akhirnya bertemu.

 

Baca juga: Bencana Sulawesi Barat: Ada Potensi Gempa Susulan, Bagaimana Kondisi Pengungsi?

Timbunan ngsor di sisi barat. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Pada sisi barat Lembah Tanete Bajo, ratusan meter dari Jasman, orang-orang berkumpul di depan rumah. Mereka berencana mendirikan tenda, melintangi jalan menuju Rui, dusun tetangga. Rumah batu mereka kebanyakan sudah retak. Lukdin berkeras melarang mereka. “Jangko di sini! Ayo kita ke atas gunung.”

Bersama istri dan tiga anaknya, Lukdin panik menuju puncak Tanete Bajo. Para tetangga ikutan. Dari tua sampai anak-anak. Blok berisi 17 rumah itu, praktis tanpa penghuni.

Lukdin, pengumpul kemiri di Aholeang. Dia juga nyambi mengurusi kebun kemiri miliknya. Berkat kemiri, dapur di rumahnya terus mengepul.

Belasan meter dari belakang rumah Lukdin, rumah batu berdiri. Penghuni rumah itu sepasang keluarga: Nurlia bersama sang suami, Rahmat, dan Nur Fatma, putri empat tahun dari mendiang suami pertamanya. Kala itu, Nurlia hamil lima bulan. Bersama sang putri, Nurlia ikut rombongan Lukdin. Rahmat tidak ikut.

Di puncak, rombongan Lukdin berpencar mengitari rumah kebun. Menggelar tenda, menghalau hujan yang belum reda. Makin sore, dingin mulai menyerang tubuh mereka.

Mendekati petang, Jasman kembali ke kebun, buat mengambil tas. Di puncak dia melihat kembali rekahan itu. Tanah menimbun celah tetapi garis masih tampak jelas.

Sepulang dari kebun, Jasman bertemu Nurlia. “Oh, kamu juga di sini?”

“Iya. Saya panik sekali, jadi saya lari ke sini,” kata Nurlia.

Jelang sore, Rahmat, menyusul Nurlia dan mengajak mereka kembali ke rumah.

Dari Ale-ale, dusun pesisir Mekkatta, Sarbidin melesat ke Aholeang, menyusul istri dan anak-anaknya yang sedang berkebun, di bukit sisi barat Tanete Bajo. Setelah gempa, mereka takut meninggalkan kebun. Di situ, puluhan orang bernasib serupa. Mereka mengisi rumah kebun, berlindung dari hujan.

“Kami tidak bisa kembali. Di kebun mki situ, terjebak,” kata Sarbidin.

Sehabis salat magrib, Jasman bersama tetangga, mulai mendirikan tenda. Rahmat bersama Nurlia turun ke kampung Jasman. Di Aholeang, Rahmat dikenal sebagai tukang rumah handal.

Rahmat meminang Nurlia, pada 2019. Keluarga itu, menemui Jumaluddin, guru sekolah dasar, berusia separuh abad.

Jumaluddin bukan sekadar guru. Dia pernah mengepalai Dusun Aholeang selama 16 tahun. Warga Aholeang, selalu menghormati pendapatnya.

“Bagaimana ini? Kalau Pak Tukang tidak ke tenda kami, silakan ke Rui,” tanya Jamalunddin.

Insyaallah, kami nanti ke Rui.”

Asal Rahmat dari pesisir Mekkatta, Nurlia dari Rui. Di sana, kedua orang tua Nurlia, bermukim.

Ayah dan Ibu Nurlia, sudah sepuh. Usia Massagala, ayahnya sudah seabad. Pendengaran sudah terganggu, tetapi tubuh masih kuat. Sedang, ibunya, Jumriah, mulai ringkih. Dua hari sebelumnya, Nurlia sekeluarga berkunjung membawa Nurfatma.

Malam itu, di hadapan Jumaluddin, Rahmat dan Nurlia pamit pulang, tetapi mereka tak pernah sampai ke Rui.

Hujan makin deras. Tenda-tenda telah berdiri. Jumaluddin, terus merapal doa-doa. Dia tak ingin tidur. Dia yakin, gempa susulan segera tiba.

Bersamanya, 46 orang mengungsi. Jumaluddin terus mengingatkan mereka agar tidak panik bila gempa susulan datang. “Jangan juga kita terlepas membaca lailahailallah, apabila terjadi.”

Di puncak Tanete Bajo, Lukdin dan keluarga kedinginan. Anak-anak terus menangis. Mereka lapar. Kepanikan sore tadi, bikin mereka lupa bawa makanan. Lukdin juga baru sadar, tak mengenakan baju. Celana yang menempel, salah satu harta yang terbawa.

Lukdin putuskan beranjak dan membawa anak-anaknya ke rumah kebun. Di situlah, mereka meringkuk kedinginan, menahan lapar.

 

Jumriah dan Massagala, orangtua Nurlia. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Di Mekkatta, tengah malam, desas-desus akan ada perampokan menyebar. Perampokan itu kabarnya menyasar rumah-rumah yang ditinggal mengungsi. Kepala Desa Mekkatta, Kasman berkeliling. Perkampungan bak kampung mati.

Kasman bersama keluarga mengungsi di rumah keluarganya, di bukit perkebunan sawit, puluhan meter dari kantor desa. Kasman tinggalkan rumahnya, karena khawatir ada tsunami.

Mekkatta berada di pesisir Teluk Lebani, diapit dua tanjung ‘besar.’ Jarak laut dengan perkampungan pesisir sangat dekat. Di sisi timur, merupakan bentangan pegunungan.

Usai ‘patroli’, Kasman kembali bergabung bersama keluarganya. Di ruang tengah, dia berbaring beralas tikar spons dan tertidur pulas.

 

Ketika runtuh

Dini hari, 15 Januari 2021, Sartika, membangunkan Jasman, di dalam rumah. Anaknya tak berhenti menangis. Di luar, Jumaluddin menyuruh warga membangunkan anggota keluarga yang tertidur. Orang-orang juga mengira Rahmat sampai di Rui.

Di rumah kebun, Sarbidin, melarang anggota keluarganya keluar. Di puncak Tanete Bajo, Lukdin bersama warga lain, diserang kantuk dan lapar. Hujan makin deras.

Jasman keluar mendekap anak terkecilnya. Rengekan anaknya perlahan berhenti.

Pukul 02.28 Wita, gemuruh ledakan menyambar telinga Lukdin. Dia terperanjat. Gempa merambat ke arahnya, begitu cepat. Begitu kuat. Listrik padam. Lukdin terus mendekap anaknya.

Dari perkampungan, Jumaluddin dan warga berteriak. Memekik bersama bunyi genteng yang terhempas-hempas dan dinding yang runtuh ke tanah.

Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

“Lailahaillallah! Lailahaillallah!”

 

Mesjid di Aholeang, runtuh Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Dalam kekalutan, ledakan kembali merebak telinga Lukdin. Punggung Tanete Bajo, runtuh dan mengarah ke kampung. Di bawah, Jumaluddin dan warga lain tak sadar, bongkahan batu raksasa dan tanah tengah bergelindingan. Bunyi letusan berkali-kali, seakan-akan bukit itu meletus.

Dalam rumah kebun, hati Sarbidin gamang, senantiasa menenangkan keluarganya yang ketakutan.

Dari arah rumah Rahmat, rintihan seorang perempuan mengejutkan Sarbidin. Suara itu satu-satunya yang terdengar jelas dari perkampungan.

Ahhhhhh….”

“Aaaahhhhhh….

Lalu teriakan itu lenyap, bersama gemuruh longsor.

Malam itu, Sarbidin pikir, orang-orang Aholeang tak ada yang hidup.

Mustaman berhasil loncat ke bagian belakang rumah, yang terbuat dari kayu. Bangunan depan, berdinding bata dengan tiang balok. Gempa merontokkan tembok itu. Di situlah, Kasman bersama Nurdina, istrinya dan dua anaknya sedang tertidur.

Kasman meregang nyawa ketika melindungi putrinya dari reruntuhan. Istrinya sempat koma dan dirawat di Rumah Sakit Majene. Selama dua minggu, Nurdina tak tahu, suaminya telah meninggal. Bagi warga Mekatta, Pakde—sapaan karib Kasman, telah menuntaskan tugas sebaik-baiknya.

Hasil perhitungan BMKG menyebut, lindu maut malam itu, berkekuatan 6,2 M. Berpusat (episenter) di darat, sekitar Desa Bambangan, Kecamatan Malunda, dengan kedalaman 10 km. Inilah gempa utama (mainshock) dari serangkaian gempa sebelumnya.

Dampak parah gempa mulai dari batas Kecamatan Sendana-Ulumanda, Majene, hingga Kota Mamuju. Ribuan rumah rusak. Beberapa tempat longsor dan mengisolir warga di beberapa daerah pelosok.

Ribuan orang luka-luka dan 107 orang meninggal karena tertimpa reruntuhan. Puluhan ribu warga terpaksa mengungsi.

Merasa aman, Jasman bersama warga lain menuju rumah Nurlia, untuk memastikan. Dengan senter, Jasman berusaha menerawang apa sesungguhnya yang terjadi. Jasman paling depan, menyusur longsoran, tetapi ledakan dari arah bukit menghentikan kaki mereka.

“Tidak usah lanjutkan perjalanan,” kata Jasman. Di sekitar lokasi itu, mereka pasang tenda.

Sekitar setengah enam pagi, Lukdin meninggalkan rumah kebun. Dia begitu lapar. Begitu juga anak dan istrinya. Rencananya, Lukdin mengambil beras dari rumah tetapi dari atas, dia lihat bongkahan batu sebesar rumah menghantam rumahnya. Rumah tetangganya pun, tak kelihatan. “Aih, tertimbun…”

Lukdin kembali. Untung saja, pepohonan mati di sekitar, menyediakan banyak jamur tiram buat santapan keluarga. Lukdin lalu mencabut dan merebus dengan garam. Lukdin, istri dan anak-anaknya lahap. “Habis itu jamur, airnya mi diminum. Daripada mati. Mau turun, takut.”

Hari mulai terang. Rasyid, warga Aholeang menemui Jumaluddin, mengajak untuk mengosongkan kampung.

“Kenapa?” tanya Jumaluddin.

“Ada longsor tadi malam. Ada rumah di sana tertimbun.”

“Betulkah?”

“Iya”

“Mari kita sama-sama lihat.”

Jumaluddin berangkat. Belum jauh keluar dari pengungsian, paras Tanete Bajo mengejutkan dirinya. Separuh bukit itu benar-benar berhamburan. Puncak patah dan membentuk barisan tebing. Di belakang kampung Jumaluddin, longsoran ke sisi kanan dan kiri. “Astagfirullah aladzim.”

Jumaluddin, segera menuju rumah Nurlia, tetapi batu-batu raksasa menimbun. Dia tidak menemukan sesuatu pun. “Kalau anak ini tidak keluar tadi malam—tidak mengungsi—pasti mati.”

 

Posko pusat pengungsian warga Aholeang dan Rui. Foto: Agus Mawan. Mongabay Indonesia

 

Pemicu gempa Mamuju-Majene

BMKG melansir, rentetan gempa di Majene-Mamuju, sejak 14 Januari, dipicu aktivitas sesar naik Selat Makassar, di pesisir dan lepas pantai sisi barat Sulawesi. Di wilayah ini, ada unsur tektonik, dikenal dengan jalur lipatan dan sesar naik (fold and thrust belt) yang menerus ke arah darat.

Pemetaan mutakhir tahun 2017, menyingkap, terdapat tiga segmen sesar naik selat Makassar: segmen tengah, segmen Mamuju, dan segmen Somba. Pertahun, peneliti memperkirakan sesar ini bergeser, sekitar 4-10 mm.

“Ada beberapa klaster pusat-pusat gempa, mencerminkan sumber gempa di jalur ini sangat aktif,” kata Daryono, Koordinator Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG.

“Kalau mencermati aktivitas kegempaan di Sulawesi Barat, tampak di daratan dan lepas pantai, banyak sekali aktivitas gempa dengan berbagai magnitudo dan kedalaman.”

Sumber gempa sesar naik di wilayah ini, berulang kali memicu gempa kuat yang merusak dan membangkitkan lambong tallu, pengetahuan lokal di Mandar tentang tsunami.

Katalog gempa BMKG mencatat, sudah enam gempa merusak sejak tahun 1967: 1967, 1969, 1972, 1984, 2020, dan 2021. Gempa pada 1967 dan 1969, disusul tsunami.

“Sebenarnya, tahun 1968 juga tsunami. Cuman 1968 itu hanya sekitar 30cm. Tidak tercatat sebagai tsunami yang ‘sementereng’ tsunami Aceh. Seperti tsunami yang menimpa Palopo, kira-kira tahun 1992,” kata Achmad Yasir Baeda, dari Center of Disaster Engineering (CoDE) Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin (Unhas). “Itu kan tidak pernah kedengaran.”

Wilayah Sulbar merupakan kawasan tertekan atau terkompresi. Ia masuk lengan selatan pulau Sulawesi. Melansir penelitian 2006, Daryono bilang, lengan selatan Sulawesi bergerak berlawanan arah jarum jam. Artinya, ada pergerakan ke arah barat, menyebabkan kawasan pesisir dan lepas pantai Sulbar, mengalami pemendekan (shorthening).

Gerakan tektonik semacam itulah, kata Daryono, membentuk zona lipatan dan sesar naik. “Hingga bagi para ahli kebumian, terjadi gempa merusak di Majene dan Mamuju bukanlah hal aneh.”

 

***

Longsor batu di Aholeang adalah bencana susulan dari gempa. Belum ada penelitian yang menjelaskan mengapa bukit itu bisa seakan pecah dan berhamburan. Dari Aholeang, hingga Tappalang, Mamuju, merupakan kawasan bentang alam karst.

“Hampir sama dengan di Maros dan Pangkep,” kata Adi Maulana, dari Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin. “Sebenarnya, komposisi kimianya sama. Sama-sama punya kalsium karbonat, hingga menyebabkan gampang proses pelarutan.”

Sebagian bentukan batuan di Majene berumur pra tersier yang terdiri batuan metamorf dan meta sedimen, dan berumur tersier, berupa batu gamping hingga batuan sedimen.

Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, batuan itu mengalami pelapukan, bersifat urai, lunak, lepas, belum kompak (unconsolidated) dan memperkuat efek guncangan gempa.

Kini, Aholeang sudah kosong. Orang-orang tak berani kembali. Mereka masih menempati tenda-tenda pengungsian yang sempit dan ada rencana relokasi. (Bersambung)

 

 

 

****

Foto utama:  Bukit Tanete Bajo longsor dan menimbun pemukiman di bawahnya. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version