Mongabay.co.id

KKP Tambah Kapal Pengawasan di Laut Natuna, Apa Kata Mereka?

Proses penenggelaman kapal asing di perairan Kota Batam, Desember 2020 lalu. (Yog Eka Sahputra).jpg

Proses penenggelaman kapal asing di perairan Kota Batam, Desember 2020 lalu. (Yog Eka Sahputra).jpg

 

 

 

 

Kapal asing pencuri ikan di laut Natuna marak membuat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) beraksi dengan menambah dua armada kapal pengawas. Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan hadir dalam perluncuran kapal cepat itu di PSDKP Kota Batam, Selasa, (9.3/21).

Kedua kapal yang hadir untuk menjaga kedaulatan wilayah pengelolaan perikanan Indonesia, yaitu, KP HIU-16 dan KP HIU-17, masing-masing mengawasi laut Selat Malaka dan Laut Natuna Utara. Pengawasan tak hanya untuk kapal ikan asing, juga kapal dalam negeri yang melaut ilegal.

“Kapal ini jadi garda terdepan, tidak hanya illegal fishing juga pelanggaran di perairan Indonesia,” kata Trenggono.

Dia mengatakan, penambahan kapal patroli pengawasan ini strategi penting menjaga kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan serta memberantas pencurian ikan di laut Indonesia. KKP menjanjikan, terus menambah armada pengawasan yang lebih besar dan canggih.

“Saya berkeinginan membangun kapal pengawas perikanan sekelas kapal fregat secara bertahap,” katanya pada apel Siaga PSDKP dan Peresmian Kapal Pengawas Perikanan di Batam sebelum peluncuran dua kapal itu.

Dia berpesan, kepada awak kapal pengawas agar bekerja keras menjaga kedaulatan pengelolaan perikanan. Dia juga mengingatkan, perubahan regulasi termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan jadi pedoman dalam pengawasan di lapangan. “Saya ingin seluruh jajaran pengawasan bekerja keras jadi benteng KKP dalam menjaga sumber daya kelautan dan perikanan,” kata Trenggono.

 

Baca juga: Cerita Nelayan Trandisional Natuna, Terjepit antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing

Dua kapal ini, katanya, lebih cepat dan stabil, dan dibangun dengan teknologi mutakhir. Pembuatan kapal oleh PT Palinto Marine Batam ini melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Dalam bikin kapal ini, kami mengedepankan peran industri perkapalan dalam negeri,” kata Antam Novambar, Sekretaris Jenderal KKP juga Plt. Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).

Pung Nugroho Saksono, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada, menyampaikan, kedua kapal ini dibangun dari bahan material plat kapal dari bahan aluminium alloy yang ringan namun kuat. Dengan begitu, minim korosi dan perawatan cenderung lebih mudah.

“Kelebihan utama pada kapal ini terletak pada kecepatan laju mencapai 29 knot. Ini kapal tercepat yang kami miliki saat ini.”

Kedua kapal ini, katanya, dilengkapi alat navigasi canggih, seperti global positioning system, navigator platter, auto pilot, magnetic compass reflector, automatic identification system serta electronic chart display and information system.

Dua kapal pengawas ini juga dilengkapi drone sebagai alat pendokumentasian kegiatan penghentian, pemeriksaan, dan penahanan (henrikhan) kapal ilegal. “Teknologi sangat memadai untuk mendukung proses henrikhan,” katanya.

Saat ini, kapal pengawas KKP ada 30 unit dan masih jauh dari cukup. Idealnya, kata Pung, paling tidak 70 kapal pengawas perikanan untuk mengawasi laut Indonesia.

Bagaimana kalangan organisasi masyarakat sipil menilai? Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, belum terlihat efektivitas kapal pengawas yang ada hingga kini.

“Kita masih banyak menemukan laporan, misal, nelayan-nelayan Aceh melaut dikejar kapal penjaga laut dari India, belum lagi nelayan-nelayan Natuna dan lain-lain,” katanya.

Dia belum pernah melihat kapal pengawas laut di Indonesia seperti kapal patroli asing. Malahan, katanya, ketika ada pengaduan dari masyarakat alasan klasik selalu muncul yaitu kehabisan bahan bakar. “Ini masalah sudah bertahun-tahun, sudah lama,” kata Susan saat dihubungi Mongabay.

Penambahan dua kapal pengawas berkecepatan tinggi, atau aksi penenggelaman kapal asing di perairan Indonesia ini baru-baru ini, katanya, kontradiktif dengan aturan yang mereka buat. Dalam UU Cipta Kerja, katanya, membuka izin kapal asing melaut di perairan Indonesia. Bahkan, tak hanya memberi izin, aturan itu berpotensi kekayaaan laut Indonesia bisa langsung ekspor di tengah laut.

Kondisi itu, katanya, rentan terjadi penyelundupan ekspor kekayaan laut Indonesia. “Apalagi pengamanan [lemah] seperti ini,” katanya.

 

Baca juga : Pelegalan Cantrang Jadi Bukti Negara Berpihak kepada Investor

Aparat sedang memantau penenggelaman kapal asing di Perairan Batam baru-baru ini. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

UU Cipta Kerja, katanya, juga membuat kapal ilegal makin berani. Dalam UU ini sanksi kepada pelaku pelanggaran perairan Indonesia sebatas administrasi, dulunya pidana. “Selama ini denda dan hukuman pun tidak sesuai, apalagi sekarang hanya hukuman administratif, jadi ngaco ini [kalau bilang tambah kapal pengawas] untuk perlindungan laut.”

Peluncuran kapal pengawas maupun penenggelaman kapal asing, katanya, hanya seremonial dan gimmick. “Daripada luncurkan kapal baru, lebih baik evaluasi kapal pengawas yang ada, sudah seberapa efektif selama ini.”

KKP, katanya, juga terlihat mundur mengawasi kelautan setelah tidak ada kejelasan Satuan Tugas Pengawas Pencuri Ikan 115 karena dianggap menghabiskan anggaran oleh bekas Menteri KKP Edy Prabowo. “Semua tidak terlihat serius, seolah seperti gimmick, seperti pemadam kebakaran, sebatas memadamkan, ada kasus baru ramai, upaya konkrit tidak ada.”

Susan meminta, Pemerintah Indonesia terutama KKP harus punya peta jalan perikanan nasional. Dengan begitu, katanya, kegiatan tak berbasis kepada menteri yang menjabat, tetapi bagaimana mengikuti skema apa yang hendak didorong, misal 10 tahun ke depan.

Kelemahan selama ini, kata Susan karena politik Indonesia bobrok menyebabkan sumber daya alam tereksploitasi. “Semua aturan bisa berubah-ubah, tergantung siapa pemenang pemilu,” katanya.

 

Khawatir nyasar nelayan tradisional

Penambahan kapal pengawas berkecepatan tinggi malahan membuat nelayan tradisional khawatir kalau kehadiran mereka tak mengawasi serius kapal asil malahan ‘menjaga’ kapal cantrang yang dimiliki pemodal besar yang melaut di Natuna dari ‘gangguan’ kapal nelayan tradisional.

“Kalau memang untuk pengawasan kapal ikan asing atau pelanggaran hukum perikanan lain, kami setuju sekali. Kalau bisa pusat pengawasan berada di Natuna tidak lagi di Batam,” kata Hendri, Ketua Aliansi Nelayan Natuna kepada Mongabay, akhir pekan lalu.

 

Menteri Kelautan dan ikanan, Trenggono menegaskan, kapal tidak hanya mengawasi kapal asing yang melaut di laut Natuna juga kapal dalam negeri yang melaut tidak sesuai aturan. Foto: Yofi ES/Mongabay Indonesia

 

Namun, dia khawatir tujuan kapal pengawas malahan mengawasi gerak kapal tradisional melaut di perairan Natuna. Pasalnya, beberapa waktu lalu, kata Hendri, Kementerian Politik Hukum dan HAM meneken nota kesepahaman dengan belasan instansi lain, antara lain berisi kelompok cantrang yang melaut di Natuna akan dikawal satu kapal pengawas.

“Kalau untuk mengawal kapal cantrang melaut di Natuna kami sangat tidak mendukung,” kata Hendri.

Tidak hanya kekhawatiran soal peruntukan kapal pengawas, Hendri bilang, kapal patroli bisa saja mengawasi kapal nelayan tradisional agar tidak melaut di atas 12 mil seperti tertuang dalam Permen KP No 59/2020. Nelayan tradisional Natuna menolak aturan itu. Dari praktik selama ini, nelayan tradisional sekitar Natuna itu melaut lebih 12 mil. “Harapan kami, kapal pengawas untuk menghalau kapal asing.”

Hendri mengatakan, daripada KKP menghabiskan anggaran menambah kapal berkecepatan tinggi, lebih baik memenuhi keperluan solar untuk kapal pengawas yang sudah ada. Selama ini , katanya, patroli tak maksimal dan seringkali muncul alasan kehabisan bahan bakar.

“Logikanya seperti ini, kalau kapal makin cepat otomatis bahan bakar makin banyak. Lah, selama ini alasan jarang patroli karena kekurangan bahan bakar, sekarang makin dibuat boros lagi, jadi jangan sampai kapal pengawas akhirnya disandarkan juga di pelabuhan, karena kehabisan bahan bakar,” kata Hendri.

Menurut dia, daripada menambah armada kapal pengawas lebih baik berdayakan kapal nelayan tradisional Natuna yang hampir setiap melaut menjaga laut perbatasan. “Ini malahan kapal pemodal besar (cantrang) yang disuruh mengawasi kapal asing, teorinya saja kapal cantrang melaut hanya di bagian pinggir,” kata Hendri.

Alangkah baiknya, katanya, pemerintah meningkatkan kapasitas armada nelayan lokal. “Kalau kapal cantrang yang disuruh mereka ketika butuh saja kesini, tetapi kalau kami hidup kami disini bertahun-tahun.”

Susan juga bilang begitu. Seharusnya, kata Susan, KKP fokus memberdayakan nelayan tradisional yang sering berhadapan dengan kapal asing.

“Kalau melihat China, mereka menjaga laut dengan melibatkan nelayan tradisional atau sipil, kalau sekarang cantrang tanpa bekal disuruh ke laut perbatasan, dilempari bom selesai mereka,” kata Susan.

Hendri pun tak banyak berharap dengan Menteri KKP yang baru ini walaupun saat awal menjabat berencana menunda legalisasi cantrang. “Tidak lama lagi kapal cantrang masuk ke Natuna, walaupun nama diganti jadi pukat tarik berkantong,” katanya.

Dia mengatakan, proses modifikasi alat kapal cantrang sangat cepat. Padahal, katanya, melegalkan alat tangkap jadi ramah lingkungan harus melalui proses dan kajian panjang. “Jadi, bisa saja namanya diubah, di lapangan kita tidak tahu seperti apa, apalagi pengawasan seperti ini.”

Senada dikatakan Dedi Syahputra, Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas. Dia was-was kapal pengawas ini malahan untuk mengawal kapal cantrang atau membatasi kapal nelayan tradisional Kepri.

Nelayan tradisional Kepri, katanya, hingga kini menolak kebijakan soal memperbolehkan kapal cantrang beroperasi di Natuna, kemudian membatasi kapal tradisional hanya melaut 12 mil ke bawah. “Kalau kapal pengawas memang untuk mengawal cantrang agar tidak bentrok dengan kapal tradisional, berarti pemerintah hanya mengakomodir kepentingan tertentu,” katanya.

Selama ini, katanya, armada pengawas di Kepri tidak berjalan efektif karena jumlah sedikit hingga patroli bergantian. “Tidak mungkin armada kapal pengawas cuman satu di laut, padahal kapal asing bisa puluhan, satu kapal lawan 10 kapal, ya mati konyol.”

Dalam Maret ini, Dedi masih menerima laporan nelayan, ada belasan kapal asing melaut di Natuna. “Kapal asing sekarang berbondong-bondong 40-50 kapal. Kami berharap Pak Menteri kembali terapkan kebijakan Bu Susi, yang tegas dalam penindakan kapal pencuri ini,” katanya.

 

 

*****

Foto utama: Proses penenggelaman kapal asing di perairan Kota Batam, Desember 2020. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version