Mongabay.co.id

Belum Ada TPA, Bagaimana Cara Penanganan Sampah di Bolaang Mongondow Timur?

 

Climate Institute menggelar diskusi untuk mencari solusi permasalahan sampah di Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, Rabu (10/3/2021). Pasalnya, hingga saat ini, kabupaten tersebut menjadi satu-satunya daerah di Sulawesi Utara yang belum memiliki TPA (Tempat Pemrosesan Akhir). Sehingga, selama bertahun-tahun, pemerintah kabupaten mesti melibatkan masyarakat dari tiap desa untuk menanggulangi produksi sampah.

Holy Reza Pahlevi Ani, Kabid Limbah B3 dan PKPP Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Boltim yang menjadi pembicara dalam diskusi itu menerangkan, sesuai Peraturan Bupati No.61/2017, terdapat 2 seksi yang bertugas menangani kebersihan dan persampahan. Pertama, seksi penyehatan lingkungan di bawah dinas PUPR. Tugasnya membangun dan memelihara sarana dan prasarana persampahan.

Kedua, seksi pengelolaan sampah dan limbah B3, di bawah DLH. Seksi ini bertanggungjawab dalam pengelolaan sarana dan prasarana, serta penyusunan kebijakan persampahan. “Jadi pembangunan sarana merupakan tanggung jawab seksi pertama. Kemudian tanggung jawab DLH adalah mengelola dan menyusun kebijakan pengelolaan sampah di Boltim.”

Menurut Holy, belum tersedianya TPA di Bolaang Mongondow Timur (Boltim) disebabkan faktor ketiadaan lahan, serta sulitnya menjalin kerjasama dengan kabupaten atau kota terdekat. Pihaknya sempat berencana melakukan kerja sama dengan Pemerintah Kota Kotamobagu. Namun terhalang faktor nonteknis.

Kini, dari jumlah produksi sampah per hari yang mencapai 127 m3, DLH Boltim baru bisa menangani sekitar 15% dan sisanya di serahkan ke desa masing-masing. Sementara, 20% sampah belum tertangani.

baca : Dua Elemen Penting untuk Bersihkan Laut dari Sampah Plastik

 

Ilustrasi. Warga membuang sampah di tepi sungai sodetan Bengawan Solo. Timbunan sampah di pantai dan kegiatan pembakaran sampah di tepi sungai tersebut memprihatinkan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sehingga untuk mengantisipasi permasalahan sampah di Boltim, Pemkab merencanakan pelibatan masyarakat melalui dua strategi, yaitu pembentukan bank sampah serta mendorong pengelolaan sampah oleh desa.

Holy menyebut, pihaknya sudah menganggarkan dan melakukan penjajakan dengan beberapa desa yang akan dijadikan pilot project bank sampah di Boltim. Targetnya, paling tidak terdapat satu bank sampah di tiap desa.

“Oleh pengelola bank sampah, sampah-sampah itu akan dijual ke pihak lain. Kami berharap, jika ini terbentuk, akan bisa mengurangi sampah,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Sebelum TPA: Menjamin Hak Atas Lingkungan Sehat Lewat Pengelolaan Sampah Mandiri dan Berkelanjutan”.

Pemerintah kabupaten juga tengah mendorong pemerintah desa untuk mengadakan lahan TPS (Tempat Pemrosesan Sementara). Lahan itu ditujukan untuk menangani sampah di desa masing-masing. Jika ada desa yang kekurangan lahan, dipersilahkan untuk bekerjasama dengan desa lainnya.

“Tahun 2019, Bupati sudah mengeluarkan instruksi untuk menganggarkan dana dalam APBDes untuk mengadakan lahan TPS Desa. Tapi sayang karena COVID-19, anggaran-anggaran yang ada harus ditata ulang,” terang Holy.

baca juga : Cara Indonesia Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen

 

Ilustrasi. Tumpukan sampah di pantai Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, yang bahkan tidak pernah terselesaikan selama 15 tahun terakhir ini. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Salah seorang perwakilan dari Bidang Cipta Karya, Dinas PU Bolaang Mongondow Timur menambahkan, ketika menetapkan Perda RTRW pada 2013, pihaknya telah menemukan lahan untuk pembangunan TPA. Dia menyebut, lahan itu dianggap telah memenuhi kriteria pembangunan TPA seperti tidak produktif maupun tingkat kemiringan 20%.

“Lahannya sudah ada. Tapi waktu kami mau bebaskan, pemiliknya menaikkan harga. Kami tidak bisa sembarangan membayar,” ujarnya.

Kemudian, pada 2016, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sempat memberikan bantuan teknis dalam bentuk Perencanaan Teknis Manajemen Persampahan (PTMP) dan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Lahan yang dibutuhkan untuk PTMP sebesar 5 hektar, sementara IPLT 2 hektar. Kala itu, Pemkab Boltim disebut telah mengantongi dokumen perencanaan, namun pembangunan gagal dilaksanakan karena terkendala anggaran.

Dia menambahkan, pada 2017, Pemerintah Pusat juga sudah menganggarkan dana sebesar Rp.15 miliar dengan syarat harus ada lahan yang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kendalanya, RTRW baru bisa direvisi kembali setelah 5 tahun.

“Belakangan, Pemerintah Provinsi telah menganggarkan dana untuk pengadaan lahan. Ada lahan cukup besar, sekitar 160 hektar. Namun kendalanya, lahan HGU itu belum diserahkan ke pemerintah daerah. Setelah proses penyerahan itu, pemerintah daerah baru bisa membuat perencanaan,” terang perwakilan dari Bidang Cipta Karya Dinas PU Boltim.

baca juga : Uniknya Pohon Natal dari Sampah

 

Ilustrasi. Dalam TPA Temesi ada Yayasan dengan unit Temesi Recycling yang memilah sampah organik dari truk langganan jadi kompos. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kampung Iklim dan Desa Tangguh

Sebagai upaya mendorong terbentuknya kesadaran manajemen sampah pada tingkat lokal, Climate Institute menawarkan program kampung iklim dan desa tangguh. Lewat program ini, mereka berupaya membagikan informasi kepada pemangku kebijakan hingga masyarakat umum, mempertemukan stakeholder, serta memberi rekomendasi kebijakan sesuai temuan di masing-masing desa.

Putri Potabuga, Direktur Climate Institute menerangkan, secara keseluruhan mekanisme antara kampung iklim dan desa tangguh hampir sama. Yang membedakan hanya durarsi program. Kata dia, kampung iklim merupakan program yang dijalankan di wilayah perkotaan. Climate Institute, contohnya, telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam upaya menanggulangi permasalahan sampah.

Sementara, desa tangguh merupakan konsep manajemen sampah mandiri. Masyarakat di desa akan mendapat pelatihan untuk memanfaatkan sampah sebagai sumber ekonomi. “Kami akan melakukan edukasi, kemudian ada aplikasi go sampah. Sehingga manajemen sampahnya (di desa) sudah mandiri, tidak perlu bantuan dari luar. Sampai pembeli sampahnya mereka sudah punya manajemennya.”

Putri menjelaskan, pihaknya dapat mengkolaborasikan konsep desa tangguh dengan program Kementerian Desa. Misalnya dengan mengkorelasikan indeks desa maju pada penilaian ekologis, untuk menopang aspek sosial dan ekonomi.

Menurutnya, manajemen persampahan yang baik sebenarnya tidak semata-mata bergantung pada TPA. Masing-masing rumah tangga juga punya tanggung jawab untuk mengendalikan sampah yang diproduksi.

“Jadi kerangka berpikirnya harus dibentuk, bahwa TPA itu tempat pemrosesan akhir, bukan pembuangan. Idealnya sampah yang masuk TPA dan TPS itu harusnya sudah dipilah dari rumah,” jelas Putri ketika dihubungi Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version