Mongabay.co.id

Kebun Sawit di Kawasan Hutan Aman, Petani Pemulih Mangrove Malah Hadapi Jerat Hukum

 

 

 

Samsul Bahri, penuh semangat meskipun baru keluar dari jeruji besi selama belasan hari atas tuduhan penganiayaan terhadap pekerja kebun sawit di dalam kawasan hutan. Samsul Bahri, kena bui bersama, Samsir. Pada 25 Februari 2021, keduanya dapatkan penangguhan penahanan. Sementara laporan warga sejak lama soal kebun sawit diduga ilegal yang berada di kawasan hutan yang masuk wilayah kelola mereka, hingga kini tak ada kejelasan.

Kala di depan Kantor Polres Langkat, Sumatera Utara, Samsul  mengatakan. akan terus melawan siapa saja yang akan menghancurkan hutan mangrove di desanya.

“Ini bagian dari proses saya akan mengikuti aturan hukum. Penjara takkan pernah bisa menghentikan perjuangan menjaga mangrove di desa tempat kami tinggal,” kata petani 54 tahun warga Dusun 3 Lubuk Jaya, Desa Kuala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat ini.

Samsul adalah Ketua Kelompok Tani Nipah. Kelompok tani ini sudah mendapatkan izin kemitraan melalui skema perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka dapat izin kelola hutan ratusan meter. Sekitar dua juta bibit mangrove mereka tanam di wilayah kelola kelompok ini.

Di tengah upaya mereka mengembalikan hutan mangrove yang sempat hancur di dalam kawasan konservasi itu, terhalang klaim dari perusahaan perkebunan sawit. Perkebunan sawit di kawasan hutan itu menyatakan, kalau lahan kelompok tani masuk milik mereka.

Pertengahan Februari 2021, ketika Kelompok Tani Nipah menanami bibit mangrove, datang seorang pria mengaku pekerja perkebunan sawit. Dia merasa alami penganiyaan dan lapor polisi. Samsul Bahri dan, Samsir dituding sebagai pelaku.

Padahal, katanya, tak ada kejadian penganiayaan apapun selain mereka lakukan reboisasi hutan mangrove. Dari sinilah cerita pembungkaman dan upaya kriminalisasi terhadap kelompok tani ini terjadi.

Mereka masuk bui walau pada 25 Februari 2021 mendapatkan penangguhan penahanan oleh Polres Langkat.

AKBP Edi S. Sinulingga, Kapolres Langkat dalam surat penangguhan penahanan terhadap Samsul dan Syamsir menyatakan, alasan penangguhan penahanan karena keduanya dianggap tidak akan melarikan diri. Ada juga jaminan kuasa hukum, LBH Medan.

Upaya memenjarakan kedua warga Kuala Serapuh ini terkesan ‘kilat’. Pada 18 Desember 2020, dilaporkan ada pengeroyokan, pada 10 Januari 2021 jadi sebagai tersangka langsung masuk tahanan.

Pada 24 Februari 2021, penangguhan penahanan. Berkas masuk Kejaksaan Negeri Stabat pada 4 Maret 2021 dan langsung lengkap (P21). Kemudian selanjutnya barang bukti dan para tersangka atau P22.

 

Baca juga: Rehabilitasi Mangrove Kelompok Tani Nipah Terancam Sawit

 

Bergantung hidup dari mangrove

Kami berkunjung ke desa Kuala Serapuh. Kelompok tani ini menyajikan kepiting bakau, ikan dan udang untuk santap bersama. Beragam pangan laut ini hasil tangkapan nelayan di perairan sekitar hutan mangrove. Warga sekitar termasuk Kelompok Tani Nipah, hidup bergantung hutan mangrove.

Samsul bercerita Kelompok Nipah terbentuk pada Desember 2016. Kelompok ini hadir atas kekawatiran dan kesedihan mereka melihat hutan mangrove hancur, beralih fungsi jadi perkebunan sawit.

Kelompok ini lalu mengajukan permohonan izin kemitraan ke Dinas Kehutanan Sumut melalui KPH wilayah 1 Stabat. Pengajuan disetujui. Sejak saat itu kelompok ini terus menanami bibit mangrove.

Awalnya, ada ratusan ribu bibit dari Bapedas Sei Ular Sumut termasuk dari Dinas Kehutanan Sumut. Bibit mangrove tumbuh berkembang bahkan mereka juga membantu desa-desa sekitar untuk pembibitan, seperti Desa Kuala serapuh, Desa Pasarawa, Pangkalan Biduk, dan Desa Kuala Gebang.

“Kami diminta Dinas Kehutanan untuk penjarangan di dekat kebun sawit dan menanami bakau di sekitar sawit itu. Tetapi dari 2016 sampai sekarang ‘pemilik’ selalu mencabut dan membunuh bakau yang kami tanami, “kata Samsul.

Hasanuddin, Kepala Desa Kuala Serapuh mengatakan, pemerintah seharusnya mengapresiasi dan memberikan penghargaan tinggi terhadap Kelompok Tani Nipah. Sejak 2016 hingga sekarang mereka menghijaukan kembali mangrove dengan dana mandiri alias tidak dapat bantuan siapapun.

Awalnya, kerja mereka ini dianggap konyol, setelah berhasil mangrove tumbuh besar hijau kembali membuat banyak orang mengikuti langkah kelompok ini.

Dia meminta aparat penegak hukum bertindak tegas kepada siapapun yang melanggar apalagi menanam sawit di kawasan hutan negara.

Selama menjabat sebagai kepala desa, dia melihat Kelompok Tani Nipah ini memiliki keseriusan memperbaiki lingkungan sekitar.

“Saya mengajak seluruh masyarakat bersatu menjaga lingkungan dan tidak merusak mangrove. Ini dilakukan bukan untuk kita juga generasi mendatang. ”

 

Baca juga: Akhirnya Kelompok Tani dan Nelayan Ini Peroleh Hak Kelola Mangrove di Langkat

Pohon mangrove yang ditanam warga dari Kelompok Tani Nipah. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Muhammad Alinafiah Matondang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan sebagai kuasa hukum Kelompok Tani Nipah menjelaskan, sepanjang mendampingi kelompok ini mereka banyak menemukan sawit diduga ilegal di sekitar Desa Kuala Serapuh. Dia melihat terjadi pembiaran dari pemerintah daerah.

“Ini penyebab merebaknya sawit ilegal di seputaran Desa Kuala Serapuh. Samsul Bahri karena kepedulian terhadap kelestarian lingkungan mencoba untuk penjarangan sawit di dalam izin kemitraan yang mereka punya seluas 242 hektar yang di dalamnya sekitar 60-65 hektar kebun sawit ilegal,” katanya.

Dari kewajiban-kewajiban yang dilaksanakan kelompok tani ini menimbulkan respon dari orang-orang mengaku sebagai pemilik. Di sinilah kriminalisasi terhadap Samsul dan Samsir terjadi.

LBH Medan, katanya, akan terus mendampingi kelompok tani ini. Mereka akan terus berjuang dan mendukung Samsul dan Samsir mendapatkan keadilan.

“Melalui proses hukum kami akan memperjuangkan keadilan untuk kelompok tani yang jadi tersangka.”

Walhi Sumut, menyesalkan penetapan tersangka Kelompok Tani Nipah ini. Kelompok tani ini, sudah punya dasar dari pemerintah mengelola lahan hingga merehabilitasi kawasan dengan tanam mangrove.

Namun dalam kawasan hutan ini, ada perkebunan sawit ilegal sekitar 65 hektar. Hutan ini kawasan penyanggah dan sumber pencaharian nelayan dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Pura, Gebang dan Brandan. Warga berupaya pemulihan hutan mangrove yang sudah beralih fungsi jadi kebun sawit.

Pada 30 September 2018, Kelompok Tani Nipah sudah melaporkan tindak pidana perambahan kawasan hutan dan alih fungsi hutan jadi perkebunan sawit kepada polisi. Sayangnya, penegak hukum tidak serius mendalami laporan Kelompok Tani Nipah ini.

Ari mengatakan, Kelompok Tani Nipah kerap mendapatkan teror dan intimidasi dari orang tidak dikenal. Mangrove-mangrove yang mereka tanam ada yang menebang lagi. Kejadian ini juga mereka laporkan kepada KPH I Stabat, Balai Penegakan Hukum. Lagi-lagi, tak ada kejelasan.

Wina Khairina dari Sekretariat Bersama Reforma Agraria Sumut merespon kasus kriminalisasi yang menimpa Samsul dan Samsir.

Kasus macam ini, katanya, potret keterancaman hidup masyarakat dari hutan dan sumber-sumber daya agraria mereka. Sisi lain, aparat maupun tidak tegas dan membolehkan kepada pengusaha penggarap liar dan pemilik modal.

Baca juga: Samsul dan Samsir, Para Penjaga Hutan Mangrove Langkat Malah Terjerat Hukum

Kebun sawit di kawasan hutan yang sudah diberikan hak kelola kepada Kelompok Tani Nipah. Warga alami kesulitan saat akan menanam mangrove karena mendapatkan kendala dari orang-orang yang mengaku pemilik. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Para ‘pemilik’?

Siapakah ‘pemilik’ sawit dalam wilayah kelola Kelompok Tani Nipah di kawasan hutan itu? Data dari Yayasan Srikandi Lestari, berdasarkan investigasi yang mereka lakukan awalnya ditemukan pemilik perorangan atas nama IS.

Sumiati Surbakti, Ketua Pengurus Yayasan Srikandi Lestari menyatakan, hasil investigasi mereka antara lain pemilik PT RPL. Pada 2006, pemiliknya, LMS, dan PB. Pada 29 Januari 2020, pemilik PBS, PB dan PT RPL.

Sumiati bilang, sawit puluhan hingga ratusan hektar yang tumbuh subur di atas kawasan hutan negara dan penyangga di Desa Kuala Serapuh tak bisa dibiarkan. Dinas Kehutanan Sumatera Utara melalui KPH Wilayah 1 Stabat, katanya, seharusnya bertindak tegas bukan malah membiarkan.

“Ini penting sebelum bencana alam datang. Harus ada tindakan tegas, jika tidak akan mengganggu kerja-kerja kelompok tani dalam merestorasi mangrove,” katanya.

Lebih jauh lagi, kebun sawit ini bisa merusak ekosistem mangrove termasuk mengancam biota laut yang jadi mata pencaharian para nelayan. Rumah-rumah ikan, katanya, akan hancur.

“Pemerintah jangan mengorbankan masyarakat kecil dan berpihak pada pengusaha besar. Apalagi itu perkebunan sawit yang menyalahi aturan dan menanam dalam kawasan ekosistem mangrove.”

Kasus kebun sawit di dalam kawasan hutan ini sudah ditangani Dinas Kehutanan Sumut. Pada 16 Februari 2021, ada pertemuan membahas masalah-masalah yang terjadi di dalam wilayah kelola perhutanan sosial di Sumut terutama kasus Kelompok Tani Nipah di Langkat ini.

Sumiati bilang, dalam pertemuan itu Plt. Kepala Dinas Kehutanan Sumut Heriyanto meminta kepada pihak perkebunan yang diwakili kuasa hukum menunjukkan dokumen alas hak. Sampai pertemuan selesai, kuasa hukum tak dapat menunjukkan.

Merasa geram dia pun mengancam akan melaporkan pemilik kebun sawit ke Polda Sumut atas tuduhan alih fungsi kawasan hutan.

Khairul Bukhari biasa disapa Ari, Manajer Advokasi Walhi Sumut, menyayangkan, pertemuan itu belum ada keputusan bersama dalam penanganan konflik perhutanan sosial yang dialami Kelompok Tani Nipah.

Dia mendesak, Dinas Kehutanan Sumut, dapat menyikapi dalam kasus Kelompok Tani Nipah, yang jelas-jelas membantu pemerintah pemulihan hutan mangrove.

Tapal batas kemitraan perhutanan sosial yang diberikan KLHK kepada Kelompok Tani Nipah uas 242 hektar. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

****

Foo utama: Kelompok Tani Nipah, berupaya memulihkan hutan mangrove yang masuk dalam kawasan hutan kelola mereka yang sempat berubah jadi  kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version