Mongabay.co.id

Maluku Utara Daerah Rawan Bencana, Investasi Ekstraktif Makin Tingkatkan Risiko

Evakuasi-warga-Kao-Halmahera-Utara-yang-terkepung-banjir-pada-Januari-2021-Lalu-foto-SAR-Halmahera-Utara

 

 

 

 

Pada akhir Februari lalu gempa bumi kekuatan 5,2 magnitude menghantam Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, episenter gempa terletak di darat pada jarak 12 km arah timur laut Kota Labuha, Halmahera Selatan dengan kedalaman hiposentar 10 km.

Gempa itu terasa sangat kuat dan terdampak di lima kecamatan di Pulau Bacan, yakni, Kecamatan Bacan, Bacan Timur, Bacan Selatan dan Bacan Barat Utara.

Haidar Mahmud, warga Desa Marabose Bacan mengatakan, gempa terasa sangat kuat. Dia, keluarga dan warga kampung berhamburan ke luar rumah.

Sebagian besar warga tak masuk rumah karena khawatir gempa susulan. Usai gempa warga memilih tidur di depan rumah masing- masing karena khawatir ada susulan seperti kejadian sebelumnya.

Andri Wijaya Bidang, Kepala BMKG Stasiun Geofisika Kelas III Ternate, dalam keterangan resmi, mengatakan, getaran gempa di Labuha, ibu kota Halmahera Selatan, mencapai IV MMI.

Berdasarkan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa dimaksud masuk kategori dangkal. Berada pada 0.54 LS,127,51 Bujur Timur atau 11 kilometer Timur Laut Labuha Maluku Utara dengan kedalaman 10 kilometer. Gempa dipicu ada aktivitas sesar lokal.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Halmahera Selatan menyebut, ada 700 rumah warga rusak di lima kecamatan.

Daryono, Kabid Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG menjelaskan, gempa ini jenis gempa kerak dangkal (shallow crystal earthquake) akibat aktivitas sesar lokal dengan mekanisme pergerakan turun (normal fault).

 

Banjir di PT IWIP tahun lalu. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Ada dugaan bahwa sesar pembangkit gempa Bacan ini memiliki kaitan dengan jalur Sesar Sorong-Bacan, karena di jalur sesar mendatar biasa terdapat zona transtensional dengan mekanisme pergerakan turun.

Pulau Bacan dan Halmahera Selatan, katanya, memang rawan gempa. Di wilayah ini beberapa kali pernah terjadi gempa kuat dan merusak di masa lalu. Sejarah gempa Pulau Bacan dan sekitar mencatat, di wilayah ini terjadi gempa merusak pada 27 November 1961 magnitudo 6,2, 16 April 1963 magnitudo 7,1. Pada 2 Agustus 1992 magnitudo 6,3 dan 16 Juli 2019 magnitudo 7,2 menyebabkan empat orang meninggal dunia, 50 luka-luka, 971 rumah rusak.

 

Rawan bencana

Gempa bumi seperti di Bacan ini baru satu contoh kerawananan bencana di Maluku Utara, provinsi dengan wilayah dominan laut dan pulau-pulau kecil ini.

Maluku Utara dengan luas wilayah 140.255,32 km², sebagian besar berupa laut 106.977,32 km² (76,27%). Sisanya, 33.278 km² (23,73%) daratan, berada di jalur ring of fire atau cincin api dan menghadapi berbagai bencana. Sekitar 11 jenis bencana jadi ancaman.

Data BPBD Malut menyebutkan, daerah ini memiliki beberapa ancaman serius bencana seperti gempa bumi, gunung api, abrasi air laut, gelombang pasang, banjir bandang, banjir lahar dingin, longsor, puting beliung, kebakaran hutan, tsunami, banjir rob, kekeringan dan konflik horisontal.

Banyak pihak mulai mengkhawatirkan ancaman bencana ekologis dampak masif izin ekstraktif, seperti industri tambang, HTI maupun perkebunan monokultur.

Mohammad Ridwan Lessy, Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Khairun Ternate mengatakan, di wilayah timur Indonesia termasuk Malut setidaknya ada 11 item bencana. Dari gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, angin putting beliung gelombang pasang dan abrasi sampai epidemi atau wabah penyakit.

Begitu banyak ancaman bencana ini, katanya, perlu upaya mitigasi untuk meminimalkan dampak kepada masyarakat.

Mitigasi itu, katanya, baik struktural maupun non struktural. Mitigasi struktural, misal, dengan penyediaan infrastruktur. Sementara mitigasi non struktural, katanya, dengan memperkuat aturan atau regulasi yang menyangkut mitigasi bencana.

“Dalam penanggulangan bencana di Malut, ada tantangan serius menyangkut kondisi geologi dan geografis. Aksesiblitas rendah dan berada di wilayah terpencil,” kata Ridwan.

Lebih mengkhawatirkan, katanya, belum tersedia kerangka hukum penanggulangan bencana di daerah.

Pengarusutamaan penangunggalangan risiko bencana dalam perencanaan serta kemitraan multipihak dalam penanggulangan bencana juga belum terbangun dengan baik.

Ada beberapa tantangan penanggulangan bencana di Malut, katanya, seperti tata kelola bencana lemah,   minim dukungan anggaran, sarana dan prasarana tak memadai maupun personil minim.

“Kesiapsiagaan dalam penanggulangan darurat bencana juga lemah terutama dalam peringatan dini, informasi kawasan rawan bencana dan SOP penanganan darurat yang terintegrasi,” katanya.

 

Tambang PT WBN. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman serius bencana ekologis

Dalam dua tahun terakhir, banjir besar melanda beberapa daerah di Malut, seperti di Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Kepulauan Sula dan Halmahera Selatan. Terbaru Jumat (16/1/21) banjir melululantakkan tujuh kecamatan di Halmahera Utara.

Pada 26 Agusutus 2020, banjir besar melanda kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), pengelola kawasan industri dari tambang nikel sampai pabrik smelter dan berbagai fasilitas di dalamnya. Banjir itu   berdampak terhadap masyarakat desa-desa sekitar.

Banjir di Halmahera Utara, menyebabkan warga mengungsi dan jembatan penghubung antara Galela dan Loloda,   hancur.  Pemerintah Halmahera Utara melalui BPBD memperkirakan  kerugian akibat banjir mencapai Rp9 miliar lebih. Nilai perkiraan ini belum termasuk jembatan putus yang menghubungkan Galela Loloda di Kali Tiabo.

Bencana  ini diduga karena alihfungsi lahan yang tidak terkendali di daerah aliran Sungai (DAS).  Ahsun Inayati, dari Forum Daerah Aliran Sungai (ForDAS) Dukono Halmahera Utara beberapa   waktu lalu menyatakan, tidak bisa dipungkiri alihfungsi lahan nyata terjadi.

Dia bilang, amatan waktu ke waktu menunjukkan perubahan  tutupan hutan  dan lahan karena pembukan masif terjadi di DAS. Pertama, pembukaan lahan di areal dari hutan jadi kebun. Tanaman hutan berganti komoditi perkebunan seperti kelapa, dan pala oleh masyarakat setempat.

Tak kalah bermasalah, katanya, aktivitas tambang rakyat  masih beroperasi di Gogoroko. Hingga kini, katanya, juga masih ada perusahaan beroperasi di kawasan hutan DAS Tiabo.

“Dulu pernah sampai  33 aktivitas menggali lubang (tambang) di kawasan itu,” kata Ahsun, juga mantan Camat Galela Barat itu.

Selain itu, ada juga aktivitas penebangan untuk pemanfaatan kayu  dalam memenuhi kebutuhan papan.  “Menurut saya, masalah pokok  adalah alih fungsi lahan atau hutan   di  Gunung Gogoroko, Tuguraci dan beberapa gunung lain di kawasan itu.”

Dia pun menyarankan segera lakukan pembenahan, seperti mengembalikan fungsi hutan dengan reboisasi atau  rehabilitasi melalui tanaman hutan atau yang memiliki kemampuan daya serap air cukup bagus.

Munadi Kilkoda, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara bilang, bencana ekologis sangat membahayakan keselamatan hidup masyarakat, dan rawan terjadi setiap tahun. Kondisi ini, katanya, ketika pemerintah banyak melegalkan kegiatan merusak hutan masif, terutama untuk sektor pertambangan dan perkebunan.

Dia bilang, beberapa kejadian mesti jadi bahan belajar. Banjir beberapa wilayah di Malut belakangan ini, katanya, karena daya dukung lingkungan makin menurun.

Banjir di IWIP Agustus 2020, misal, merupakan contoh nyata daya dukung lingkungan menurun karena aktivitas pembukaan lahan antara lain jadi tambang.

 

Erupsi Gmaama pada 2015. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Perubahan fungsi hutan dan lahan ini, katanya, bukan sekadar mendatangkan bencana ekologis, juga ancaman bagi manusia, dan satwa.

“Maluku Utara itu wilayah kaya, bahkan ekosistem penting karena di dalamnya hidup berbagai spesies. Ini masuk kawasan Wallacea. Ke depan kebanggaan kita akan hilang karena kerusakan ekologis masif.”

Pemerintah, katanya, jangan mudah beri izin tambang kepada korporasi dan minim akses buat masyarakat dalam mengelola hutan. Berikan perlindungan hak mereka secara adil dan berkelanjutan berdasarkan kearifan lokal.

Asis Hasyim, akademisi Universitas Khairun Ternate mengingatkan, Pemerintah Malut agar tidak jor-joran menerima investasi yang berujung menyengsarakan  masyarakat dan merusak  alam. Investasi ekstraktif rawan berujung bencana.

Dari berbagai ancaman bencana alam maupun non alam, katanya, perlu mitgasi atau tindakan mengurangi atau meminimalkan dampak.

Untuk gempa, katanya, mitigasi struktural misal, dengan penyediaan peringatan dini atau early warning system, bangunan peredam tsunami, fasilitas penyelamatan diri, rumah tahan gempa maupun sarana prasarana kesehatan, vegetasi pantai sampai pengelolaan eksosistem pesisir.

Untuk mitigasi non struktural misal lewat penyusunan peraturan perundang-undangan, penyusunan peta risiko dan peta rawan bencana, penyusunan rencana zonasi penyuluhan, penyadaran dan pendidikan masyarakat.

Dia mengingatkan, pemerintah daerah jangan berbangga hati dulu dengan melihat investasi skala besar, terlebih industri ekstraktif masuk. Kebanggaan itu, katanya, sama saja dengan bangga melihat laju penurunan tutupan hutan dan ancaman  ruang hidup masyarakat.

Contoh saat ini, katanya, bisa terlihat di wilayah sekitar tambang di Malut. Seakan ada kesejahteraan kala investasi masuk, sesungguhnya   itu kesejahteraan semu.

Dampak eksternalitas dari ekstraksi sumberdaya alam masif ini, katanya, akan memberi tekanan ekologis besar.

Beberapa  kasus menunjukkan daerah dengan kekayaan alam justru terjerembab dalam kemiskinan pasca tambang.

“Tidak sekadar bangga dengan investasi di sektor tambang yang masuk ke Malut. Khawatir terjadi  kutukan sumberdaya alam.”

 

 

 

****

Evakuasi warga Kao, Halmahera pada Januari lalu. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version