Mongabay.co.id

Bisakah Kita Hidup “Bertetangga” dengan Ular?

Ular boiga coklat. Foto

 

 

Ular [Serpentes] menjadi buah bibir publik ketika banjir melanda negeri ini, awal 2021. Pada Januari lalu misalnya, ketika banjir terjadi di Perkalongan, Jawa Tengah, dua ekor ular sanca/piton [Pythonidae] masing-masing panjang satu dan dua meter, masuk pemukiman warga di Desa Sampangan. Begitu pula saat banjir di Kudus, ular sanca sepanjang 3,5 meter kembali muncul di perumahan warga.

Bahkan, saat banjir di Kalimantan Selatan pada pertengahan Januari, seorang warga Kota Banjarmasin, digigit oleh ular berpola batik tersebut di bagian kaki. Ular sanca memang predator penyergap, biasanya berdiam diri dalam posisi menyamar [kamuflasi]. Namun, tiba-tiba menyerang mangsa secara cepat.

Dalam serangan, ia mengandalkan giginya yang tajam dan melengkung ke belakang, kemudian membelit mangsa hingga jantungnya berhenti berdetak. Meski begitu, sanca jarang menyerang manusia.

Sedangkan di Kabupaten Tabalong [Kalimantan Selatan], lima ekor ular kobra [Naja] masuk ke rumah warga di Desa Pamasiran, Kecamatan Murung Pudak.

Sementara, saat banjir di Jakarta lalu, bermunculan pula ular seperti sanca, kobra, kepala dua [Cylindrophis ruffus], hingga kadut [Acrochordus granulates] di sejumlah pemukiman.

Baca: Urusan King Kobra dan Kobra, Amir Hamidy Pakarnya

 

Ular boiga cokelat [boiga drapiezii], termasuk ular berbisa menengah dan bertaring belakang. Foto: Asep Ayat

 

Hewan mudah beradaptasi

Menurut Ahli Hepertologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Amir Hamidy, maraknya ular masuk permukiman warga karena beberapa habitat jenis ular, tumpang tindih dengan tempat tinggal manusia. Sebab itu, ketika terjadi banjir, ular akan mencari tempat kering, mencari udara untuk bernapas.

“Ular merupakan satwa yang bernapas melalui paru-paru, wajar saja ia keluar mencari udara dan tempat kering ketika terjadi banjir,” kata Amir kepada Mongabay Indonesia, baru-baru ini.

Ular adalah satwa liar yang mudah beradaptasi di lingkungan manusia. Meskipun ada pembangunan, dia bisa bersembunyi dan mencari makan di lingkungan baru. Ular dapat hidup di semua habitat, mulai hutan, padang rumput, sungai, danau, laut, dataran tinggi, dataran rendah, sawah, perkebunan, padang pasir [gurun], hingga permukiman.

“Temuan ular sanca batik di pemukiman warga itu adalah ular liar yang sudah beradaptasi hidup di perkotaan. Dia bisa hidup di gorong-gorong dan semak di perkotaan, karena di situ banyak makanannya. Salah satunya tikus,” kata alumnus Universitas Kyoto, Jepang.

Gorong-gorong dan semak menjadi tempat ideal sanca liar untuk berkembang biak. “Sekali bertelur, mencapai belasan butir,” tutur Amir.

Amir mengatakan, ular sanca batik ini bukan hanya ada di Jawa, tapi bisa dijumpai di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Maluku.

Ular dari keluarga Pythonidae ini banyak jenisnya. Ada sanca bodo [Python bivittatus] di Sumatera, Jawa, Bali; sanca darah [Python brongersmai] di Sumatera dengan cirinya pendek [maksimal panjang 3 meter] dan gemuk. Ciri tubuhnya ada warna kemerahan menyerupai darah.

Sanca darah hitam [Python curtus] di Sumatera; puraca [Pyton breitensteini] endemik Berneo dengan ciri khas warna cokelat; dan sanca bulan [Simalia boeleni] yang hidup di Papua di ketinggian lebih 1.750 meter di atas permukaan laut, berwarna kehitaman.

Lalu, sanca hijau [Morelia viridis] yang juga ditemukan di Papua, berwarna hijau terang dan sering bersembunyi di perpohonan; sanca permata [Morelia amethistina] juga di Papua, cirinya dengan sisik terang bagai permata.

Berikutnya, piton halmahera [Morelia tracyae] yang menyebar di Halmahera, Ternate, Tidore, hingga Tanimbar; piton maluku [Morelia clastolepis] di Maluku dengan ciri cokelat terang; sanca pelangi [Liasis fuscus] jenis yang ditemui di Papua, warna cokelat dan tampak pelangi bila terkena cahaya.

Juga, sanca mata putih [Liasis savuensis] di Papua. piton ini sering disebut jenis terkecil di dunia, paling panjang badannya hanya 1,5 meter dengan ciri khas mata putih. Terakhir sanca cokelat [Leiophytin albestisi] yang juga dari Papua, yang akan berkilau bila kena cahaya.

Baca: Nyawa Taruhannya, Kenapa King Kobra Dipelihara?

 

Ular kobra yang agresif dan bisa menyemburkan racun hingga dua meter. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kobra tangguh beradaptasi

Ular jenis kobra juga tak kalah tangguh dalam upaya beradaptasi dibanding sanca. Habitat aslinya di sawah, namun juga bisa berkembang biak di pekarangan hingga pemukiman.

“Sawah atau permukiman banyak menyediakan potensi makanannya, yaitu tikus,” tutur Amir.

Namun, hal yang mendukung ular ini cepat berkembang adalah mulai jarangnya predator alami seperti biawak [Varanus] dan elang [Accipitridae].

Di Indonesia ada dua jenis kobra, yaitu kobra sumatera [Naja sumatrana] dan kobra jawa [Naja sputatrix]. Keduanya sangat berbisa, gigitannya dapat melumpuhkan jaringan syaraf juga memiliki racun sitotoksin yang menyebabkan pembengkakan dan kegagalan pembekuan darah [antikoagulan]. Jenis ini juga menyemburkan bisa.

Baca: Ular Kobra Masuk Rumah Warga, Fenomena Apa?

 

King kobra [Ophiophagus hannah], ular sangat berbahaya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kepala dua di tanah subur

Sedangkan ular berkepala dua, tidak beracun seperti kobra. Menurut Amir, bila terancam, ia akan menggulung badan dan menyembunyikan kepala di tengah, kemudian mengangkat dan menggerakkan ekornya yang mirip kepala itu.

Ular dari Marga Cylindrophis itu berada di dataran rendah, di tanah subur dan lembab. Terutama di pinggiran kebun di bawah kayu lapuk, batu berlumut, dan sekitaran sumber air.

“Ia disebut ular berkepala dua karena bentuk ekornya yang tumpul dan lebar, hal ini sangat mirip dengan bentuk kepala bahkan susah dibedakan. Ekornya berwarna cerah dan kepalanya keputihan terutama bagian bawah.”

Makanannya adalah kadal, bayi tikus, cacing tanah, hingga belut kecil. Ia berkembang biak tidak seperti ular lainnya yang bertelur, tetapi dengan cara melahirkan [ovovivivar], dengan jumlah anak mencapai 13 ekor.

Sebarannya di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, juga Buton, hingga Kepulauan Sangihe, Bacan di Maluku.

Baca: Dua Tahun Terakhir, Korban Meninggal akibat Gigitan Ular Meningkat

 

Ular welang [Bungarus fasciatus] yang berbisa tinggi sekaligus predator alami ular. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Kadut si ular air

Sedangkan kadut sering ditemukan ketika banjir, karena memang ia ular air dan untungnya tidak berbisa. Ia keluarga Acrochordidae, panjangnya 0,6 hingga 1,2 meter. Kepala bagian atasnya berwarna hitam keabu-abuan seperti lumpur. Badannya gemuk padat, dengan sisik kecil kasar bermotif belang putih, ekornya pendek dan tumpul. Sangat mirip ular weling yang berbisa.

Ular ini biasa ditemukan di air tawar, seperti rawa-rawa, kali, dan sungai, termasuk juga di tambak ikan dan kolam pemancingan.

Menurut Amir, ular kadut juga lihai beradaptasi dengan lingkungan manusia. Aktif di malam hari, khususnya di dasar perairan dangkal untuk memangsa ikan kecil, belut, udang, kepiting dan kodok. Jenis ini berkembang biak dengan melahirkan, anaknya sebanyak 5-10 ekor.

Baca: Tergigit Ular Berbisa? Berikut Ini Rekomendasi WHO

 

Ular sanca kembang ini mudah dikenali karena umunya mempunyai tubuh berukuran besar. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Penanganan ular

Jika menemukan ular di lingkungan sekitar rumah ketika musim banjir, langkah pertama yang harus dilakukan adalah tenang. Kenali jenis tersebut, gunakan alat bantu [sapu atau kayu] untuk merelokasinya.

Ketua Yayasan Sioux Ular Indonesia, Aji Rachmat Purwanto menegaskan, mengetahui spesies ular sangat penting guna memahami penanganan dan antisipasi potensi ancaman.

“Jangan sekali-kali memegang ular dengan tangan, apalagi menjadikannya mainan,” terangnya, belum lama ini.

Aji juga menyarankan, wadah penyimpanan sementara ular hasil rescue harus memiliki lubang ventilasi udara, jangan menggunakan plastik biasa yang mudah melar. Lalu, tidak terkena panas matahari dan jangan didekatkan anak-anak. Tidak juga menggunakan kantong beras karena mudah sobek.

“Kalau ular yang di-rescue adalah kobra, hati-hati dengan lubang di wadah penyimpanan sementara, karena jenis ini bisa menyemburkan bisa sejauh 2 meter,” kata Aji.

Jika yang di-rescue ular sanca cukup besar atau besar, tidak disarankan melakban mulutnya. “Masukkan saja langsung ke kantong,” kata dia.

Namun, jika warga tak juga bisa menangkap ular yang masuk ke permukiman, Aji menyarankan untuk memanggil komunitas reptile terdekat atau menghubungi Call Center Indonesia Snake Rescue di 08176800446.

Baca juga: Fakta Unik Ular Terbesar di Bumi yang Harus Anda Ketahui

 

Gunakan sapu atau tongkat kayu sebagai alat bantu saat me-rescue ular untuk kemudian dipindahkan ke habitatnya yang jauh dari permukiman masyarakat. Foto: Dok. Sioux Indonesia

 

Ular tetangga kita

Aji menjelaskan, ular adalah hewan yang habitatnya paling dekat dengan manusia. Dia ada di pepohonan, tanah, perairan air tawar, dan laut.

“Ular juga bisa beradaptasi di parit, selokan, halaman depan rumah, pagar, permukiman, dan lain-lain.”

Walau demikian, dia menyarankan tak perlu takut ular, sebab sebenarnya ular lebih takut pada manusia. Ular tidak akan masuk permukiman jika tidak ada mangsa di sana. Lagi pula, ular tidak pernah membuat sarang, juga tidak menetap membuat teritori. Terus melintas mencari makan di manapun ia berada.

“Selalu bergerak mencari mangsa seperti tikus, katak, serangga, bahkan burung.”

Agar ular tidak nyaman di pemukiman kita, populasi predator ular seperti biawak, elang, musang, garangan, harus kita jaga di sekitar kita. Paling penting adalah menjaga kebersihan, bahkan usahakan rumah selalu wangi. Ular paling tidak suka aroma menyengat.

“Ketika ular ditangkap di sekitar permukiman, harus segera dilepaskan ke habitat yang jauh dari tempat tinggal manusia. Ular berfungsi menyeimbangkan ekosistem, sebagai pemangsa dan dimangsa dalam rantai makanan. Dalam rantai makanan di sawah misalnya, ular berfungsi menjaga populasi tikus, dan juga sebagai mangsa bagi elang atau biawak.”

Aji melanjutkan, jika ada yang digigit ular, hala utama jangan panik. Terpenting, bagian tubuh yang kena gigit jangan diikat, apalagi disobek dan disedot. “Usahakan tenang, jangan tergesa-gesa, ingat 3 T [tekan, tahan, tinggikan] bagian tubuh yang terkena gigitan. Beikutnya, segera bawa korban ke rumah sakit rujukan,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version