Mongabay.co.id

Perjuangan Tanpa Batas Hadi S. Alikodra untuk Dunia Konservasi Indonesia

 

 

Nama Hadi S. Alikodra selalu melekat dalam dunia konservasi Indonesia. Hal yang paling mengesankan adalah, namanya kerap muncul tiap kali kita mencari referensi penelitian terkait satwa liar dan hutan Indonesia.

Bukan hanya mahasiswa yang menjadikan pemikiran Alikodra sebagai rujukan, para peneliti pun tidak mau ketinggalan.

Contoh, ketika saya mencari referensi mengenai mentilin [Cephalopachus bancanus] atau Horsfield’s Tarsier, primata dari keluarga Tarsiidae, maka nama Alikodra muncul.

Begitu juga ketika saya riset mengenai kedih, primata berwajah sedih dalam Famili Cercopitecidae, yang endemik Sumatera dan sukar ditemukan, lagi-lagi nama Alikodra hadir.

Jangan tanyakan pula penelitian mengenai badak sumatera dan badak jawa, otomatis namanya akan berada di urutan teratas.

Profesor. Dr. Ir. H. Hadi Sukadi Alikodra, MS., lahir di Cirebon, 5 Februari 1949, meyelesaikan studinya di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor [IPB] tahun 1974. Program Pascasarjana IPB bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, dengan gelar Magister Sains, diselesaikannya pada 1978. Sementara, gelar Doktor dengan predikat cum laude, diraihnya tahun 1983.

Sejak 1988, Ketua Yayasan Badak Sumatera periode 2000-2006 ini, diangkat menjadi Guru Besar Ilmu Pelestarian Alam dan Pembinaan Margasatwa Fakultas Kehutanan IPB.

Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia bersama pakar konservasi Indonesia ini, di kediamannya di Kota Bogor.

Baca: Ekosofi, Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia

 

Profesor Hadi S. Alikodra, pakar konservasi Indonesia, yang pemikirannya menjadi rujukan mahasiswa dan para peneliti. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Apakah sejak awal Anda tertarik pada dunia konservasi?

Alikodra: Tahun 1974, ketika lulus dari kampus IPB, saya berkeinginan menjadi dosen. Saya mendaftar mengajar statistik yang ternyata posisi tersebut telah terisi.

Namun, peluang lain terbuka untuk menjadi dosen pembinaan margasatwa, semacam pembina satwa liar atau manajemen satwa liar. Saat itu, saya pikir saya bakal tersesat jauh dari harapan saya, tapi kini justru saya merasa di jalan yang benar, di dunia konservasi.

Sejak tahun itu juga, didukung Kementerian Kehutanan, saya menjelajah hutan dengan didasari keinginan kuat: ingin tahu apa isinya hutan, apa maknanya, dan apa nilai pentingnya bagi kehidupan kita, manusia. Saya memulainya dari ujung Blambangan, Jawa Timur, hingga hutan Papua.

Ketika mendengar kabar keberadaan harimau jawa, saya langsung datangi hutan Taman Nasional Meru Betiri, yang ternyata jejaknya tidak ditemukan lagi. Harimau jawa [Panthera tigris sondaica] secara ilmiah telah dinyatakan punah sejak 1970-an. IUCN Red List menegaskan statusnya Extinct atau Punah.

 

Harimau jawa yang terpantau di Ujung Kulon tahun 1938. Sumber: Wikimedia Commons/Andries Hoogerwerf [29 August 1906 – 5 February 1977]/Public domain

 

Begitu pula ketika mendengar kondisi burung jalak bali yang di habitatnya di Taman Nasional Bali Barat disebutkan hanya tersisa 25 ekor, saya pun masuk hutan. Saya ingin mengetahui langsung apa penyebabnya dan selama berbulan saya di hutan. Ternyata, burung ini banyak diburu menggunakan pulut, yang otomatis membuat populasinya di alam menurun drastis.

Lalu, saya bersama pihak Balai Taman Nasional Bali Barat dan anggotanya saat itu, satu yang saya ingat Kasidjan Hardjo Prayitno, berikhtiar untuk mengamankan jalak bali di alam liar. Tentunya, dengan menyertakan masyarakat dalam pengelolaannya di alam.

Saya kemudian mempelajari perilaku jalak bali, yang ternyata memerlukan lubang pohon untuk bertelur. Karena lubang-lubang itu sangat terbatas jumlahnya, terpaksa saya membuat lubang buatan. Dalam 3 tahun, awalnya 25 ekor, meningkat hingga seratusan individu.

Saat melindungi jalak bali itu, saya bahkan tidak punya uang. Keinginan kuat dari hati mendorong saya bergerak untuk berbuat, menyelamatkan jalak bali dari ancaman kepunahan, tentunya atas dukungan dan bantuan petugas lapangan Taman Nasional Bali Barat.

Saya juga ke Sumatera, ke Gunung Leuser. Saya cinta dengan badak sumatera, harimau sumatera, gajah sumatera, dan juga orangutan sumatera. Dan ternyata, mamalia besar sumatera ini juga terancam kehidupannya. Badak sumatera misalnya, jumlahnya menurun akibat habitatnya yang menyempit, populasinya terpencar, hingga ancaman perburuan.

Jiwa saya murni konservasi dan saya senang meneliti.

Baca: Wawancara Profesor Gono Semiadi: Harimau Jawa Sudah Punah Secara Ilmiah

 

Awetan kulit harimau jawa yang tersimpan rapi di laboratorium LIPI. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Anda tidak takut ke hutan?

Alikodra: Saya terus ke hutan dari 1974 hingga saya meraih gelar Master dilanjutkan Doktor tahun 1983.

Dalam perkembangannya, saya diminta menjadi “birokrat” di kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, tapi saya lebih suka mengabdi terlebih dahulu di Kampus IPB. Saya merasa bertanggung jawab untuk membina dan mengembangkan Jurusan Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan serta Konservasi Sumber Daya Alam dan Taman Nasional.

Saat itu saya menjadi ketua jurusannya, termasuk mendidik generasi unggul dari 1983 sampai 1990. Sekitar delapan orang yang saat ini sudah menjadi Doktor dan Guru Besar.

Hadirnya generasi hebat tersebut membuat saya berani meninggalkan kampus dan mengatakan kepada mereka, “Titip jurusan ya, mohon dikembangkan. Saya mau mendorong kebijakan konservasi dari pusat yaitu di kantor KLH [sekarang KLHK]. Tentu saja kebijakan nasional yang mengarah pada konservasi dan ekosistemnya.”

Dalam perkembangannya, kita sekarang mengenal istilah keanekaragaman hayati. Saat itu, saya konsen dengan mengikuti segala pertemuan internasional mengenai konvensi biodiversity, hampir setiap bulan melanglang buana, ke luar negeri.

Hal yang masih saya kenang adalah ketika saya ikut Kongres Internasional Taman Nasional Sedunia Ketiga, tahun 1982 di Bali. Saat itu, saya sangat gembira karena bisa membawa para delegasi kongres untuk melihat jalak bali di Taman Nasional Bali Barat, lalu ke Taman Nasional Baluran untuk melihat habitat banteng [Bos javanicus] dan Savana Bekol.

Baca juga: Menolak Punah Badak Sumatera, Lampung Siap Menjadi Benteng Terakhir [Bagian 2]

 

Gajah sumatera yang dulunya pernah menjadi bagian penting kehidupan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Apakah sejak kecil Anda sudah tertarik dengan lingkungan?

Alikodra: Saya itu, masa kecilnya di lingkungan desa pesisir, terbiasa dengan pemandangan sawah dan empang [kolam ikan]. Di desa saya ada hutan mangrove dan selalu banyak burung air migran.

Saat itu saya sudah mengenal ekosistem, memelihara tempat berpijahnya udang, bandeng, dan berbagai ikan laut. Saya dengan nenek di Desa Pegagan, Cirebon, membuka saluran air agar ikan masuk ke empang, kemudian besar. Lumayan hasilnya.

Lulus IPB, saya membawa orang asing ke kampung saya, orang-orang bule untuk melihat burung. Jenisnya apa, saya nggak ngerti, dan mereka bilang itu burung pengembara dari Eropa dan Asia Timur yang bermigrasi.

Akhirnya, wilayah Cirebon, Jawa Barat, dikenal oleh orang-orang Belanda dan Jepang untuk pengamatan burung air migran. Sekian puluh tahun ikut mengamati burung, akhirnya saya bisa menyelesaikan buku “Konservasi Burung Air, Perjuangan Melawan Kepunahan” terbit tahun 2018.

Saya cinta sekali burung yang di Indonesia jumlahnya sangat banyak. Bandingkan dengan Eropa atau Amerika yang tidak sekaya kita jenisnya.

Keberagaman flora fauna kita karena karakter alam kita yang unik. Setiap pulau ada ciri khas. Kita memiliki Paparan Sunda yang dihuni badak, harimau, dan gajah.

Paparan Sahul yang meliputi Pulau Papua, yang ada burung cendrawasih. Atau bahkan Sulawesi, kawasan Wallacea yang satwanya unik seperti maleo, anoa, juga babirusa.

Kita semua disatukan dengan Bhinneka Tunggal Ika.

 

Kangkareng perut-putih yang penting bagi ekosistem hutan sebagai penebar biji. Foto: Asep Ayat

 

Mongabay: Bagaimana cara kita memaknai konservasi dalam kehidupan?

Alikodra: Keragaman hayati kita melimpah dan akan selalu dikaitkan dengan konservasi. Saya banyak belajar konservasi dari orang hebat, sebut saja Profesor Mien Achmad Rifai [LIPI] dan juga Profesor Otto Soemarwoto dari Universitas Padjadjaran [Unpad].

Konservasi itu ada 3 dimensi. Pertama, melindungi unsur-unsur keanekaragaman hayati [flora fauna dan ekosistemnya]. Kedua, melestarikan setiap keragaman hayati yang ada dalam ekosistem. Ketiga, memanfaatkan secara bijak.

Agar konservasi terlihat jelas manfaatnya maka dibentuklah taman nasional.

Pada awalnya, ditetapkan 5 taman nasional yang dibentuk bersamaan, 6 Maret 1980, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser [Aceh dan Sumatera Utara], Taman Nasional Ujung Kulon [Banten], Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [Jawa Barat], Taman Nasional Baluran [Jawa Timur], dan Taman Nasional Komodo [Nusa Tenggara Timur].

Hadirnya taman nasional diharapkan bermanfaat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar [menekan kemiskinan], serta menambah pendapatan asli daerah.

Walau ini sulit, tapi usaha harus dilakukan agar kawasan konservasi bisa membahagiakan masyarakat luas. Pemikiran ini yang saya gaungkan bersama Departemen Kehutanan hingga saat ini menjadi Kementerian LHK, sehingga taman nasional tidak hanya untuk melindungi dan melestarikan keragaman hayati, tapi juga bisa dimanfaatkan untuk kebahagiaan umat.

Keanekaragaman hayati itu sesungguhnya untuk kebahagiaan umat manusia, bukan untuk dirusak. Sebagai gambaran, pandemi corona [COVID-19] yang merebak, membuat kita semakin peduli pada alam. Pencemaran berkurang, pepohonan kembali hijau dan satwa kembali terlihat, ini sebagai hikmah besar bila kita merawat alam.

 

Harapan, badak sumatera kelahiran Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika, 27 Mei 2007, yang sejak 2 November 2015 sudah berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Apakah konservasi bisa dilakukan beriringan dengan pembangunan berkelanjutan?

Alikodra: Sejauh ini kita selalu mendengar pembangunan berkelanjutan, di satu sisi konservasi harus dilakukan. Jadi, pembangunan berkelanjutan hanya bisa dijalankan kalau kita bisa melakukan konservasi. Bagaimana makanan bisa ada kalau tidak ada yang kita amankan.

Konservasi tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan pembangunan berkelanjutan. Contoh, anak-anak kita supaya tumbuh sehat harus ada makanan sehat pula dan udara bersih.

Sesuai dengan kebijakan KLHK, kita wajib melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan alam dalam sistem konservasi. Kita juga memanfaatkan sumber daya yang continuous flow, yang terus-menerus untuk kepentingan bersama, seperti sinar matahari, air, dan udara.

Jadi, bila kita bicara pengelolaan alam, harus dalam tataran konservasi, melestarikan alam. Misalnya, kita bikin rencana membatasi kegiatan pertambangan. Kita harus segera fokus pada keragaman hayati lautan, daratan, danau, dan lainnya.

Kita segera meneliti flora dan fauna. Misal, spesies tanaman digali potensinya sebagai tumbuhan obat sekaligus sumber makanan. Komponen kimia dari tumbuhan pun, bisa dijadikan produk-produk herbal yang luar biasa bermanfaat bagi kesehatan manusia.

Kita harus belajar kembali pada masyarakat adat dengan kearifan lokalnya. Mereka hidupnya sederhana, tapi bahagia. Hutan mereka menghasilkan berbagai macam obat dan sumber makanan, airnya jernih dan udaranya bersih.

Cara berpikir kita yang salah selama ini, menyebabkan alam rusak dan air tercemar, harus dirombak total.

 


 

 

Mongabay: Bagaimana dengan konsep ekosofi yang Anda tawarkan?

Alikodra: Pengelolaan alam Indonesia harus ada unsur kearifan lokal. Ekosofi atau filosofi ekologi-dalam, senada dengan kearifan lokal. Ekosofi itu lahir karena umat agama, filosofi, para ahli geografi, dan beragam ahli sadar, bahwa kerusakan lingkungan harus dicarikan solusi.

Konsep ini dihadirkan agar mudah diterapkan dan bisa mencontoh kearifan lokal masyarakat. Kita perhatikan struktur pemerintahan masyarakat adat, bagaimana struktur budayanya, bagaimana hierarki kepemimpinannya, bagaimana kepercayaannya, dan bagaimana mereka menjaga alam.

Kita serap pengetahuan mereka yang harmonis dengan alam itu. Jangan biarkan kita mentransfer pikiran moderen kita yang tak ramah lingkungan ini kepada mereka. Justru sebaliknya, kita mencontoh values kearifan lokal pada pikiran moderen.

Contoh hebat yang mengerti merawat alam itu di antaranya Suku Baduy ataupun Suku Amungme dan Kamoro. Kita harus belajar banyak dari mereka.

 

Profeso Alikodra telah 40 tahun lebih berkiprah di dunia konservasi Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Anda masih produktif menulis buku dan mengajar?

Alikodra: Saya masih menulis buku, yang terbaru adalah “Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Membumikan Ekosofi Bagi Keberlanjutan Umat,” terbit November 2020.

Ada juga buku “Ekologi Konservasi Pengelolaan Satwaliar” dan juga buku “Model Pembangunan Kepariwisataan Berbasis Ekowisata Pulau Rupat dan Pulau Basu, Provinsi Riau.”

Saya telah menghasilkan 8 buku bertema konservasi dan ekowisata. Saya masih mengajar di IPB mengenai Etika dan Moral Lingkungan, Analisis Kebijakan Konservasi, Pengembangan Ekowisata, dan Administrasi Lingkungan.

Saya juga mengajar di Universitas Sumatera Utara [USU] mengenai Studi Lingkungan dan Ekologi Lanjutan.

 

Melakukan penelitian dan menulis buku adalah kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan Profesor Alikodra. Sebanyak 8 buku bertema konservasi dan ekowisata telah ia hasilkan. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Anda rindu beraktivitas di alam?

Alikodra: Alam dan hutan adalah bagian kehidupan yang selalu saya rindukan.

Saat ini, saya tengah melanjutkan kegiatan masa kecil, yaitu menggarap empang di Desa Pegagan, Kapetakan, Cirebon, Jawa Barat, bersama masyarakat. Warga di sana yang mengelola, tentunya dengan tetap memperhatikan kelestarian alam.

Saya tidak rela bila mereka harus repot mencari penghasilan hingga pergi ke Arab atau Korea menjadi TKI atau TKW. Saya ingin mereka, justru mengembangkan potensi desa.

 

 

Exit mobile version