Mongabay.co.id

Kala Trenggiling Terus jadi Buruan

Anak trenggiling bersama sang induk, sitaan petugas sudah mati. Foto: Ayat S Karokaro

 

 

 

 

 

 

Matahari di Petaling, Muaro Jambi, Jambi, lamat-lamat mulai menghangat. Debu jalanan tampak mengepul bebas tergilas roda kendaaan para petani yang lalu-lalang menuju kebun.

Pagi itu, tubuh Tasran basah bercucur keringat. Tangan yang legam bolak-balik mengayunkan parang menerbas semak setinggi pinggang. Setiap kali musim hujan rumput dan tanaman liar tumbuh lebih cepat dari biasanya.

“Kalau gak dibersihin habis (pohon karet) dimakan rayap,” katanya.

Dia tak tahu mengapa banyak sekali rayap di kebun karetnya. Hampir seperempat dari kebun seluas 10 hektar itu rusak, banyak pohon karet tumbang digerogoti rayap. “Yang dimakan itu akarnyo, agek tibo-tibo rubuh. Kadang mati gagar, batangnyo kering daunnyo habis,” kata pria 70 tahun itu.

Petani karet di Limun, Sarolangun, juga menghadapi masalah sama. Ratusan batang pohon karet milik Sandri mati karena serangan rayap.

Dia menduga, banyak perburuan trenggiling (Manis javanica) berpengaruh pada populasi rayap. “Ini mungkin karno yang makan rayap itu dak ado lagi, makonyo macam ini.”

Saat musim hujan, trenggiling banyak ditemukan di perkebunan karet dan pohon-pohon besar yang lapuk. “Kalau pas musim hujan petir itu dulu banyak di kebun, sekarang dak ado lagi,” kata bapak dua anak itu.

Trenggiling punya peran sangat penting sebagai pengendali populasi rayap di habitatnya. Satu trenggiling bisa memakan sampai 20.000 ekor rayap setiap hari atau 73 juta setahun.

Perburuan liar mengancam populasi trenggiling di alam. Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN) tenggiling atau trenggiling dalam status kritis (critically endangered).

Rosek Nursahid, Ketua Profauna Indonesia mengatakan, musuh utama populasi trenggiling di alam adalah perburuan liar. “Tidak ada musuh lain selain manusia. Ancaman utama tringgiling adalah perburuan,” katanya.

Dia memastikan, trenggiling yang diperdagangkan di pasar gelap merupakan hasil tangkapan dari alam.

 

Baca: Ingat! Trenggiling Itu Bukan Satwa Buruan

Barang bukti sisik trenggiling seberat 2,5 kilogram yang disita dari pelaku HP di Gunung Kidul, Yogyakarta. Foto: Dok. Centre for Orangutan Protection

 

Pertengahan Agustus 2020, tim Penegakan Hukum KLHK wilayah Sumatera menangkap S (33) yang kedapatan membawa 24,5 kg sisik trenggiling. Pelaku ditangkap di Jalan Lintas Sumatera, Desa Bukit Tigo, Singkut, Sarolangun, Jambi saat hendak bertransaksi dengan pembeli yang dikenal di media sosial. Dia telah sepakat menjual Rp3,7 juta per kg.

Hasil penyeledikan tim Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Harimau Jambi, sisik trenggiling hasil berburu di Dusun Sungai Kudis dan Dam Kutur, Limun, Sarolangun.

Medio Februari lalu, penyidik subdit I Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri juga menangkap H, bandar besar perdagangan sisik trenggiling di Kota Jambi. Petugas menyita 105 kg sisik trenggiling dari rumah pelaku di Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi. Diperkirakan 400-500 trenggiling ditangkap untuk mendapatkan 100 kg sisik mamalia pemakan semut maupun rayap itu.

Sampai berita ini terbit, Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pol Syahardiantono belum menjawab pesan Mongabay untuk konfirmasi terkait penangkapan itu.

Rahmad Saleh, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi saat dihubungi wartawan mengakui ada penangkapan itu namun tak mau komentar banyak. “Itu unit Tipidter Bareskrim yang nangkap,” katanya singkat.

Selain di Jambi, tim Dittipidter juga menangkap J di parkiran hotel di Dharmasraya, Sumatera Barat, dengan barang bukti 28 kilogram sisik trenggiling dan satu anak beruang madu.

Dua pelaku perdagangan satwa ilegal ini dijerat Pasal 21 ayat 2 huruf a dan d JO. Pasal 40 ayat 2 UU No 5 tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE), dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda maksimal Rp100 juta.

Wildlife Crime Team (WCT) mencatat, hingga 2018, Kabupaten Bengkalis, Riau, merupakan daerah dengan kerawanan tinggi di Sumatera bagian tengah yang diduga sebagai tempat menyelundupkan trenggiling ke Malaysia dan Singapura. Bahkan, broker dan dealer di Sumatera Barat dan Jambi memanfaatkan jalur itu.

Palembang, dan Sumatera Selatan, yang berbatasan langsung dengan Jambi juga sangat rawan. Hasil riset Profauna menunjukkan, Palembang menjadi lokasi pengepul sisik trenggiling terbesar di Sumatera.

“Perdagangan trenggiling itu sudah mafia, karena melibatkan jaringan perdagangan besar sampai luar negeri,” kata Rosek.

Osmantri Osmantri dari Wildlife Crime Team (WCT), di Tiongkok dan Taiwan, sisik trenggiling untuk campuran obat trandisional dan modern. Kedua negara ini diduga jadi tujuan akhir dari perdagangan gelap dalam skala internasional.

 

Baca: Perburuan dan Perdagangan Ilegal Trenggiling Tidak Kenal Masa Pandemi

 

Namun, kata Rosek, sampai saat ini belum ada penelitian menunjukkan bahwa sisik trenggiling bisa menyembuhkan penyakit. “Ini kan belum bisa dibuktikan, masih mitos. Lha mitos inilah yang dihembuskan mafia perdagangan satwa yang sebetulnya memicu konsumen tinggi dan memengaruhi perburuan,” katanya.

Dia menilai, perdagangan gelap skala internasional membuat harga sisik trenggiling sangat mahal hingga memicu banyak perburuan. Belakangan, sisik trenggiling juga disebut-sebut sebagai bahan campuran untuk narkoba.

Di Indonesia, trenggiling dapat ditemukan di hutan primer dan sekunder Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Populasi trenggiling juga menyebar di Asia dan Afrika. Di Asia, terdapat empat jenis, Manis crassicaudata (Bangladesh, India, Pakistan, dan Sri Lanka). Kemudian,  Manis culionensis (Filipina), Manis javanica (Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam), serta Manis pentadactyla (Bhutan, Tiongkok, Nepal, dan Taiwan).

Sedangkan di Afrika juga ada empat jenis trenggiling. Ada Manis tricuspis (Angola, Benin, Kamerun, Afrika Tengah, dan Kongo), Manis gigantea (Rwanda), Manis temminckii (Ethiopia, Kenya, Malawi, Mozambiq, Namibia, dan Afrika Selatan), juga Manis tetradactyla (Kongo, Gabon, Ghana, Liberia, dan Nigeria).

 

Macan dahan

Tak hanya trenggiling, satwa lain pun jadi target buruan seperti macan dahan. Awal Februari 2021, tim gabungan Ditjen Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai TN Berbak Sembilang dan Polda Jambi, menangkap Sy di Jalan Marsda Abdurahman Saleh Kelurahan Paal Merah, Jambi Selatan, Kota Jambi, saat hendak menjual kulit macan dahan Sumatra (Neofelis diardi diardi).

Dari hasil pengembangan, petugas berhasil menangkap S alias LG sebagai pemburu sekaligus pemilik kulit macan dahan yang hendak dijual Sy.

Pria 73 tahun itu ditangkap di Dusun Pancoran, Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lincir, Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan. S mengaku setahun berburu satwa liar untuk diperdagangkan.

 

Trenggiling, jadi target buruan karena harga mahal di pasaran. Ini trenggiling sitaan di Riau pada 2012. Foto: WWF Indonesia

 

“Kami sangat serius mengungkap jaringan kejahatan ini, penjual dan pemburu telah berhasil ditangkap. Kami akan terus menggali untuk mengungkap pemodal maupun keterkaitan dengan jaringan lain,” kata Sustyo Iriyono, Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan, Ditjen Gakkum KLHK.

Beth Vendri, Komandan SPORC Brigade Harimau mengatakan pandemi COVID-19 ikut memicu perdagangan satwa liar di Jambi. “Kalau jelang hari besar, anak mau masuk sekolah itu biasa barang (satwa liar) banyak keluar (dijual), karena mereka butuh uang. Apalagi sekarang COVID, ekonomi susah.”

Menurut Rosek, popularitas perdagangan kulit harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) turut memicu perburuan macan dahan. Satwa liar ini diduga diburu untuk memenuhi permintaan para kolektor. “Kalau di Indonesia, kulit macan itu untuk hobi yang menunjukkan status sosial.”

Di luar negeri, kulit macan dahan banyak untuk kebutuhan bisnis fasyen, terutama di Timur Tengah.

Saat ini, populasi macan dahan di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, sekitar 150-320. Iding Achmad Haidir, peneliti macan dahan di Sumatera mengatakan, ancaman langsung macan dahan justru bukan dari perburuan tetapi tekanan habitat yang terus menyusut dan aktivitas ilegal manusia. Macan dahan, masih kalah populer dengan harimau untuk diburu.

“Biasa itu jerat harimau tapi yang kena macan dahan, atau jadi barang ikutan untuk perdagangan harimau.”

 

Kulit harimau Sumatera dan macan dahan diamankan polisi di Langkat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Penegakan hukum

Dalam banyak kasus, pelaku perdagangan satwa liar tak pernah mau menyebutkan dari mana sumber hingga bandar besar sulit terungkap. “Perdagangan satwa langka itu jaringan sangat kuat. Ini PR (pekerjaan rumah) berat kepolisian untuk mengungkap cukongnya, karena melibatkan perdagangan internasional.”

Sayangnya, kata Rosek, vonis hakim dalam kasus perdagangan satwa liar masih lemah, hingga tidak ada efek jera. Seharusnya, kasus yang melibatkan jaringan internasional ini vonis harus maksimum atau mendekati maksimum. “Kami belum melihat itu. Ini dipenjara sebentar terus keluar nanti bertransaksi dengan nama baru dan motif baru.”

Menurut dia, perdagangan satwa langka itu adalah kejahatan besar yang berpengaruh besar secara ekosistem dan ragam hayati. “ Dampak bisa luas, kejahatan serius yang pantas dihukum berat.”

Rosek bilang, hakim seharusnya punya sudut pandang baru bahwa perdagangan satwa langka itu kejahatan serius yang harus mendapatkan hukuman berat.

“Harus dipandang keberadaan trenggiling di alam, fungsinya apa, kalau punah seperti apa, kerugian negara, kerugian sumber daya alam seperti apa. Takutnya belum diteliti (trenggiling) sudah punah.”

Kerja pengawasan atau menjadi satwa ini, tak bisa pemerintah kerjakan sendiri, tetapi perlu pelibatan masyarakat lokal. Terlebih, kasus perburuan selalu berjalan seiring dengan perdagangan satwa.

“Masyarakat lokal adalah benteng paling kuat untuk melindungi kekayaan sumber daya alam,” kata Rosek.

 

 

****

Foto utama:  Trenggiling induk dan anak yang diburu dan mati. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version