- Gempa bumi Januari lalu di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat, menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan parah. Mitigasi dinilai minim. Belum lagi, pemerintah dinilai gagap dalam penanganan bencana. Hatta Kainang, Ketua Pansus Pengawasan Percepatan Pemulihan Dampak Ekonomi dan Sosial Pascagempa DPRD Sulbar mengatakan, sepanjang 16 tahun Sulbar terbentuk, pemerintah tak serius mengoptimalkan ketatabencanaan dan menjalankan mitigasi. Padahal, Sulbar berulang kali dirusak gempa, bahkan tsunami.
- Mitigasi, adalah agenda krusial, jauh sebelum bencana datang. Ia dapat mengurangi risiko bencana, termasuk korban jiwa. Mitigasi bila mengacu pada Undang-undang Nomor 24/2007, bisa melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
- Sejak 1800, Sulawesi sudah dihantam gempa 74 kali, 50 kali gempa dan 24 kali tsunami. Di Sulawesi, gempa dan tsunami sebagian besar dipicu aktivitas sesar aktif.
- Daryono, Koordinator Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan, Sulawesi Barat selamanya menjadi kawasan rawan gempa dan tsunami. Secara tektonik, wilayah Sulawesi termasuk kawasan seismik aktif, juga kompleks. Di Sulawesi, ada lebih 45 segmentasi sesar aktif dan dua sistem subduksi lempeng: subduksi Lempeng Utara Sulawesi dan subduksi Lempeng Sangihe. Laju geser pada beberapa sesar telah teridentifikasi.
Rahman, satpam di Kantor Gubernur Sulawesi Barat. Malam itu, 14 Januari lalu, dari rumahnya di Saletto, Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, lelaki 25 tahun ini menuju kantor gubernur bersiap bertugas. Rahman tugas jaga malam sampai esok pagi.
Sebelum pergi, dia dicegat mertuanya. “Masa mau ko turun, na sudah gempa?”
“Namanya tugas. Tidak ada juga pemberitahuan dilarang.”
Rahman pun berangkat, meninggalkan Linda, sang istri di rumah mertua.
Sehabis gempa 5,9 Magnitudo, orang-orang di Mamuju, sudah waspada dan meninggalkan rumah. Tidak sedikit pula yang tetap menempati rumah mereka.
Malam itu, di gedung utama Kanor Gubernur Sulbar, dia jaga bersama Isra, Aswar, dan Burhanuddin. Satpam lain, berjaga di pos masing-masing. Gubernur Sulbar, Ali Baal Masdar berada di Rumah Jabatan, 200-an meter dari tempat Rahman.
Rahman mulai bertugas, berkeliling ke seisi ruangan gedung empat lantai itu. Tembok-tembok kebanyakan retak. Keramik pecah berjatuhan. Rahman melihat hal serupa hingga di lantai atas, letak Aula nan memukau. Bila sesuai jadwal, esoknya, vaksinasi COVID-19 berlangsung di gedung utama.
Jelang pukul 24.00 Wita, Rahman tidur di dalam gedung utama. Isra masih berjaga. Dua lainnya, tidur di bagian belakang gedung itu.
Kantor Gubernur Sulbar, berdiri sejak 2011 dan baru diresmikan oleh Jusuf Kalla, jelang masa akhir jabatan Gubernur Anwar Adnan Saleh, pada 2016. Ia didesain oleh Danny Pomanto, Walikota Makassar dengan anggaran negara sekitar Rp143 miliar.
Megah. Begitu kesan kantor gubernur ini. Dari muka, gedung serupa rumah panggung, dengan deretan pilar raksasa, balutan kaca, dan atap segitiga. Ketika memasuki gedung itu, serasa sedang berada dalam kubah. Kanan-kiri melingkar tangga, menghubungkan bangunan atas dan bawah. Di lantai III terdapat ruang kerja gubernur.
Letak kantor gubernur, di sebuah bukit di jalan Abdul Malik, Rangas, Kota Mamuju. Bersampingan dengan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulbar. Ini merupakan kompleks kantor dinas provinsi, seluas 27 hektar. Dari sinilah, kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak terbit.
Sekitar pukul 02.20 Wita, Rahman dibangunkan giliran berjaga dan Israr tidur. Dia menuju resepsionis, bagian depan di lantai bawah. Beberapa langkah ke depan, merupakan pintu utama.
“Kasih bangun mi itu, Azwar,” kata Rahman ke Israr.
Baca juga: Amuk Lindu di Majene [1]
Langkah Israr belum jauh, ketika gempa susulan lebih kuat, 6.2 M menghantam Mamuju. Tanah bergoyang. Riuh gemuruh mengejutkan satpam itu. Listrik padam. “Rahman! Gempa!”
Israr berlari menuju pintu, disusul Rahman. Pintu itu macet, tetapi Israr berhasil mendobrak. Ketika Rahman menyusul keluar, tubuhnya terjungkal. Sesuatu menghantamnya. Bagian depan gedung utama itu roboh. Mengubur Rahman dan Israr. Dua satpam lain selamat dari runtuhan.
“Mati mka ini,” pikir Rahman.
Di luar, dalam sergapan gelap, warga Mamuju, berhambur keluar rumah, menuju lokasi tertinggi. Berlari, menunggangi motor, atau mengendarai mobil. Menyelamatkan diri paling utama. Di tepi jalan, warga yang keluarga terkubur runtuhan meminta tolong kepada orang-orang yang panik. Tim SAR belum datang. Hanya ada warga saling berjibaku menarik warga yang terjebak runtuhan. Di malam mencekam itu, beberapa warga yang tertidur ketika gempa, tak pernah bangun kembali.
Di balik runtuhan kantor gubernur, Rahman dan Israr, hanya bisa tiarap. Gelap, seperti sedang menutup mata. Debu-debu beterbangan, menganggu pernapasan.
“Tolong!! Tolong!!”
Pekikan mereka terdengar. Satpam di pos gerbang segera menuju Rahman dan Israr. “Saya di sini. Tolong ka’. Tidak bisa ka’ keluar.”
Kawan Rahman di luar berusaha membuka celah. Mustahil. Runtuhan begitu ‘rapat’ dan tebal. Di dalam, Rahman mencemaskan istri dan ibunya nun jauh di sana.
Beberapa jam kemudian, adik Rahman sampai di kantor gubernur. Dia mendapat kabar, tempat kerja abang runtuh. “Bagaimana keadaan mu di situ?” tanyanya ke Rahman.
“Alhamdulillah baikji. Tidak ada ji yang tindis.”
Pada adiknya, Rahman bertanya soal istri dan ibunya. “Tidak papa ji. Kau ji ini di sini.”
Rahman senang mengetahuinya. Dia yakin, akan keluar dengan hidup. Rahman berseru ke Israr. “Harus ki cari jalan keluar. Pasti ada jalan di sini.”
Israr lalu memberi korek gas ke Rahman.
Rahman memantik korek itu sebagai penerang, menyusur “terowongan” gelap. Dia baru sadar, di bawahnya ternyata plafon dan bondex tepat di atasnya. Dua orang itu seperti berada dalam sebuah bungker. Dia terus mencari jalan keluar. Hingga matahari terbit. Hari sudah menunjukkan pukul 14.00 Wita.
Rahman lelah dan Israr sama sekali belum tidur. “Mau ki menangis tidak bisa. Kayak dikubur hidup-hidup ka’ ini. Ndak selamat mki ini.”
Mereka terjebak selama 12 jam. Tim SAR bersama keluarga Rahman, berhasil membuka jalur keluar buat Rahman dan Israr. Mereka merayap ke lubang itu, dengan penuh haru. Mereka akhirnya menghirup udara segar. Rahman selamat tanpa luka serius, Israr harus menjalani perawatan medis.
Rahman dan Israr harusnya tidak tertimbun kalau atasan dua orang itu melarang mereka berjaga dalam gedung.
Saya bertemu Rahman di tenda pengungsian, di Saletto, tepi jalan Trans Sulbar, 12 hari setelah gempa. Di tenda itu, Rahman bersama keluarga berdesak-desakan.
Walaupun Rahman nyaris mati, terkubur reruntuhan gedung pemerintahan yang dia jaga, bukan berarti si empu gedung peduli padanya. Pemerintah tidak memberi bantuan sama sekali. “Ini saja bantuan, biasa saya jemput sendiri. Ada dari relawan yang singgah, kasih bantuan. Terpal saja saya ambil dari depan Polsek, ada teman.”
Rahman kecewa, tetapi dia tidak sendiri. Pengungsi yang saya jumpai, sulit membayangkan, apa yang kelak terjadi bila relawan tidak pernah datang membawa bantuan dan tenaga. Para relawan inilah yang sukarela mengisi kebuntungan tangan pemerintah pada pengungsi.
Baca juga : Gempa dan Tsunami Palu: Data Seputar Sesar Palu Koro Minim
***
Sejak masa tanggap darurat hingga masa transisi, saya mengunjungi daerah terparah: di Kecamatan Ulumanda, Majene hingga Kota Mamuju. Kebanyakan, rumah bantuan stimulan swadaya dari pemerintah, ambruk. Rumah-rumah panggung tetap berdiri.
Nasib pengungsi sungguh menyayat hati. Warga mengosongkan kampung dan memilih tidur di tenda yang mereka bangun. Sumpek dan tidak layak huni. Saban malam, dingin menyerang mereka. Tak sedikit, pengungsi meninggal dan sakit di pengungsian, karena kedinginan. Pemerintah menjatah keluarga pejabat dengan tenda BNPB yang ‘nyaman.’
Sisi lain, bantuan sanitasi dari pemerintah baru bergerak setelah sepekan lebih. Bantuan kesehatan tidak menjangkau seluruh posko ungsi. Di Desa Taan, Kecamatan Tappalang, Mamuju, pengungsi meledak hingga 3.000-an jiwa, bantuan pemerintah yang sampai hanya empat dus air minum. Di wilayah terpencil, pemerintah mendrop bantuan yang tak seberapa via helikopter. Semua serba kalut dan lambat—kalau tak ingin menyebutnya amburadul.
“Lambat itu kan bukan lambat ada unsur kesengajaan. Tidak sama sekali,” kata M. Natsir, juru bicara Satuan Tugas Bencana Gempabumi Sulbar.
“Pada saat itu, memang kita kesulitan. Pertama, kita tidak ada jaringan, listrik padam. BBM kita sulit. Jadi untuk mengakses semua ini, kita agak sulit ke lapangan. Kalau kita hanya kerucut ke pemerintah saja, nggak mampu.”
Saya menemui Natsir, pada 25 Januari—10 hari pascagempa, ketika pasar dan pusat ekonomi mulai dibuka. Semasa tanggap darurat, Natsir, menjadi orang tersibuk. Wartawan menghujani berbagai pertanyaan. Natsir juga merasa perlu menepis tuduhan yang menyalahkan pemerintah. “Tidak usah saling menyalahkan. Mari kita membagi peran apa yang bisa kita lakukan.”
Natsir tidak berasal dari bidang kebencanaan. Dia adalah Asisten I Sekretariat Daerah Pemprov Sulbar, bidang pemerintahan. “Ini menandakan, pimpinan organisasi perangkat daerah yang memang punya tanggung jawab [kebencanaan], sebenarnya tidak mampu,” kata Hatta Kainang, Ketua Pansus Pengawasan Percepatan Pemulihan Dampak Ekonomi dan Sosial Pascagempa DPRD Sulbar.
“Ini fakta!”
Hatta adalah Wakil Ketua Komisi II DPRD Sulbar, dari Fraksi Partai Nasdem. Menurut dia, sepanjang 16 tahun Sulbar terbentuk, pemerintah tak serius mengoptimalkan ketatabencanaan dan menjalankan mitigasi. Padahal, Sulbar berulang kali dirusak gempa, bahkan tsunami.
“Ini tamparan keras buat kami. Menjadi pembelajaran terburuk bagi kita di Sulbar, utamanya kami di DPRD, pemerintah daerah, karena melupakan fakta sejarah.”
“Ketika terjadi gempa, pemerintah shock. Inilah bagian serpihan dari mitigasi yang tidak tuntas.”
Mitigasi lemah
Pemerintah Sulbar, klaim Natsir, telah menjalankan mitigasi jauh sebelum gempa. Berbanding terbalik kalau melihat penanganan bencana dan pengungsi, korban berjatuhan, hingga kerusakan bangunan, sulit meyakini klaim itu.
“Sudah jelas mitigasi lemah,” kata Adi Maulana, dari Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas).
Mitigasi, kata Adi, adalah agenda krusial, jauh sebelum bencana datang. Ia dapat mengurangi risiko bencana, termasuk korban jiwa. Mitigasi bila mengacu pada Undang-undang Nomor 24/2007, bisa melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
“Untuk mitigasi, saya tidak melihat sesuatu yang signifikan sudah dilakukan.”
Selain mitigasi, kesiapsiagaan bencana di Sulbar juga ‘tumpul’. Adi bilang, setelah gempa 5,9 M, seharusnya orang-orang sudah beranjak ke tempat aman, menghindari bangunan yang mungkin roboh. Yang membunuh bukan gempa, katanya, tetapi runtuhan bangunan.
“Jadi, literasi bencana itu sebenarnya paling penting. Gempa itu kan biasa tidak terjadi satu kali. Gempa itu ada namanya, gempa pendahuluan, gempa utama, dan gempa susulan.”
Seharusnya, kata Adi, dari BPBD, saat sudah gempa 5,9 M itu, paling tidak harus memberitahu masyarakat.
Orang-orang di pesisir Majene, telah meninggalkan rumah menuju tempat tertinggi aman. Gempa dan tsunami pada masa lampau telah mengajari dan menyelamatkan mereka dari hantaman gempa pada 15 Januari, dini hari.
Sebaliknya, di Mamuju—terlebih di pusat kota, banyak warga malah belum meninggalkan rumah. Peringatan agar menuju tempat aman tidak tersiar. Inilah salah satu pangkal penyebab, kematian di Mamuju mencapai 96 orang, luka berat 209 dan luka ringan 8.539 orang. Di Majene—dekat pusat gempa, 11 orang meninggal, 69 luka berat, dan 3.541 luka ringan. “Korban seharusnya tidak sebanyak itu.”
Di peta kebencanaan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sisi barat Sulbar masuk kawasan rawan bencana gempa, dengan kerentanan tinggi.
Potensi gempa dan tsunami masa depan
“Sulawesi Barat selamanya menjadi kawasan rawan gempa dan tsunami,” kata Daryono, Koordinator Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Perkataan Daryono tidak berlebihan. Secara tektonik, wilayah Sulawesi termasuk kawasan seismik aktif, juga kompleks. Di Sulawesi, ada lebih 45 segmentasi sesar aktif dan dua sistem subduksi lempeng: subduksi Lempeng Utara Sulawesi dan subduksi Lempeng Sangihe. Laju geser pada beberapa sesar telah teridentifikasi.
Daryono bilang, sejak 1800, Sulawesi sudah dihantam gempa 74 kali, 50 kali gempa dan 24 kali tsunami. Di Sulawesi, gempa dan tsunami sebagian besar dipicu aktivitas sesar aktif. “Hanya beberapa di antaranya dipicu aktivitas gempa di zona megathrust.”
Kenapa di Sulawesi banyak sumber gempa sesar aktif?
“Karena wilayah ini mengalami tekanan dari berbagai arah. Dari arah timur benua kecil (mikro kontinen) Banggai-Sula menekan ke barat hingga ‘meremukkan’ badan Pulau Sulawesi dan terbentuklah segmen-segmen sesar aktif,” kata Daryono.
“Bahkan bentuk Pulau Sulawesi yang mirip huruf ‘K’, merupakan dampak dari dorongan kuat mikro kontinen Banggai-Sula dari timur ini.”
Bagaimana dengan Sulbar? Khusus di pesisir dan lepas pantai di barat Sulbar, kata Daryono, terdapat unsur tektonik, dikenal sebagai jalur lipatan dan sesar naik (fold and thrust belt).
Di bentangan ini, ada sesar naik Selat Makassar, yang aktif. Penelitian tahun 2017, menyingkap terdapat tiga segmen Sesar Naik Selat Makassar: Tengah, Mamuju, dan Somba. Sesar ini diperkirakan bergeser, sekitar 4-10 mm pertahun.
Sulbar merupakan kawasan tertekan atau terkompresi. Kata Daryono, hasil penelitian pada 2006 memperlihatkan, lengan selatan Sulawesi, mengalami pergerakan berlawanan arah jarum jam, menyebabkan kawasan pesisir dan lepas pantai Sulbar mengalami pemendekan (shorthening). Dinamika tektonik semacam itulah yang menciptakan zona lipatan dan sesar naik.
“Jadi, orang selalu bilang, kalau mau nyaman tidak ada bencana segala macam, ke Sulawesi. Itu salah besar,” kata Achmad Yasir Baeda, dari Center of Disaster Engineering (CoDE) Fakultas Teknik, Unhas. “Kita ini sudah terbuai oleh nyamannya keadaan. Padahal sebenarnya, kita itu sangat-sangat potensial tsunami, karena pergerakan tektonik.”
Yasir bukan orang baru soal gempa dan tsunami. Sejak 1998, dia aktif meneliti dua bencana mematikan itu. Yasir fokus mengulik potensi gempa bawah laut, pemicu tsunami di sekitar Sulawesi. Tahun 2012, dia mempublikasi sebuah jurnal berkenaan itu.
Yasir bilang, Sulawesi merupakan pertemuan dari gerakan ‘sorongan’ plat bumi dari timur menuju barat. “Simpul-simpulnya ada di Sulawesi.”
Sulawesi, terbentuk dari empat ‘potongan’ yang berasal dari tempat berbeda: lengan selatan, tenggara, utara, dan lengan timur. Semua bagian pun menyatu, melalui proses jutaan tahun. “Seperti dijahit,” katanya. “Bagian-bagian potongan itulah yang merupakan patahan, misal, Palu Koro.”
Selain sesar, palung, dan trust aktivitas gempa bawah laut sekitar Sulawesi, kata Yasir, juga dipicu spreading center (SC), zona pemekaran dasar laut. Di sela tenggara dan selatan, ada spreading center Teluk Bone (SC-GoB). Ia diapit Sulawesi dan Kalimantan, ada spreading center Selat Makassar.
Spreading center Selat Makassar, ada tiga bagian: di Selatan (SC-SMS) dan Utara (SC-NMS-1 dan SC-NMS-2), berdekatan dengan Palung Utara Sulawesi. Spreading center ini, kata Yasir, tak pernah ditengarai bakal bangkitkan tsunami.
“Ternyata, kejadian 1967, 1968, 1969 di Majene, itu terpicu karena sesar paternoster, yang berujung pada salah satu spreading center di Selat Makassar, di SC-NMS-2.”
“Itu juga sebenarnya yang ‘merangsang’ Palu-Koro bergerak pada kejadian tsunami Toli-Toli tahun 1996. Jadi, hal-hal yang seperti itulah, yang kemudian tidak disadari akan muncul, tapi kemudian kita memandang enteng.”
Patahan di Sulawesi, kata Yasir, termasuk muda dan sulit diprediksi. Ia merupakan satu sistem kegempaan yang begitu kompleks. “Ada yang terdorong ke timur, ada yang ke utara. Ada yang bergeser ke kiri, bergeser ke kanan. Aih… Ngeri.”
Dengan begitu, Sulbar, masih berpotensi gempa, bahkan tsunami.
Kalau melihat kondisi sekarang, apakah Sulbar siap menghadapinya? “Tidak siap. Sangat tidak siap,” kata Yasir.
Dia pernah menyusun kajian rencana mitigasi tsunami untuk Mamuju (2015) dan Banggae, Majene (2019). Hasil kajian itu telah dia serahkan ke pemerintah. Apa responsnya? “Ya…. begitulah. Jadi, orang-orang tidak mau adaptif. Bisa adaptif tapi dia tidak mau. Literasi bencana mereka sudah tahu sebenarnya. Tapi mau nggak adaptif? Buktinya seperti sekarang.”
Dia bilang, mau tak mau masyarakat harus adaptif terhadap bencana. “Ketika terjadi bencana, seperti di Majene, Mamuju, kalau memang orang benar-benar adaptif, tidak akan ada penjarahan. Pada fase masa tanggap darurat, tidak perlu ada berkelahi.”
***
Tiga bulan pascagempa, relawan-relawan dari penjuru negeri banyak pulang. Penanganan bencana masuk tahap rehab dan rekon. Ini masa di mana orang-orang menemui persoalan baru, termasuk soal relokasi warga Aholeang dan Rui. (Bersambung).