Mongabay.co.id

Masyarakat jadi Penjaga Hutan, Hindari Kerusakan dan Bencana

persawahan jorong Simancuang. Dok: KKI Warsi

created by dji camera

 

 

 

 

Terik mentari membakar kulit. Tiga lelaki itu sibuk menyemai bibit beragam buah di Kebun Bibit Rakyat (KBR) Kelompok Tani Hutan (KTH) Maju Mapan, Desa Tambakrejo, Sumbermajing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Musim hujan masa tepat untuk menanam dan menyebar bibit di wilayah perhutanan sosial yang dikelola melalui skema izin pemafaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS).

Mereka beekutat dengan tumpukan tanah dan aneka biji dan bibit buah-buahan.

“Dulu, saya masih kecil, ada macan tutul,” kata anggota KTH Maju Mapan, Sugianto. Kawasan hutan ini dulu juga habitat babi hutan (Sus scrofa Linnaeus), elang Jawa (Nisaetus bartelsi) dan kijang (Muntiacus muntjak)

Namun, semua berubah setelah reformasi 1998. Kawasan hutan terbabat orang-orang tak bertanggungjawab. Hutan berubah jadi perkebunan dengan tanam pisang, singkong dan tebu. Tak ada tanaman yang menyerap air, masyarakat pun merasakan kesulitan air saat kemarau. Saat penghujan, terjadi longsor dan banjir.

“Sebagian sumber air mati, sebagian lagi menyusut. Terjadi krisis air saat kemarau,” katanya.

Mochammad Firman, Ketua KTH Maju Mapan, mengatakan, penetapan KTH Maju Mapan melalui Surat Keputusan Kepala Desa Tambakrejo 9 September 2017. Presiden Joko Widodo menyerahkan SK IPHPS 9 Maret 2018 di Mimbang, Tuban. Ia beranggotakan 989 orang seluas 289 hektar, 30 hektar hutan lindung dan 258 hektar hutan produksi.

 

Sugianto menyemai aneka tanaman kayu dan buah-buahan untuk mereboisasi kawasan hutan yang dikelola kelompok Tani Hutan (KTH) Maju Mapan. . Foto: Eko Winto/ Mongabay Indonesia

 

KTH Maju Mapan, memiliki empat kebun bibit rakyat. Setiap kebun bibit menyiapkan 60.000 bibit. Hutan produksi ditanam bibit sengon 30.000, 20.000 sirsak, dan 10.000 alpukat. Sedangkan, hutan lindung ditanami 45.000 bibit sirsak, dan 15.000 alpukat.

Untuk mengelola hutan lindung, katanya, melalui konsep jasa lingkungan sebagai wisata alam. Wisatawan bisa menikmati alam, mengamati burung dan satwa termasuk menyisiri pantai. Di hutan itu juga ada beragam pohon dari beringin, miri, sampai bendo. Berbagai tanaman ini berfungsi konservasi sekaligus menjaga sumber mata air.

Iwan Budi Prasetyo, Kepala Seksi Perencanaan dan Pengembangan Bisnis, Perum Perhutani, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Malang, mengatakan, sudah melakukan reboisasi pasca penjarahan hutan 1998 dan hutan mulai hijau.

Perum Perhutani KPH Malang mengelola kawasan hutan seluas 90.360 hektar, terdiri atas hutan lindung 44.140 hektar dan hutan produksi 46.195 hektar. Secara administratif tersebar di Kabupaten Malang, Kota Batu dan Kediri.

Perum Perhutani KPH Malang bekerjasama dengan total 138 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), termasuk KTH Maju Mapan. Konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), katanya, sesuai karakteristik masyarakat sekitar hutan. Pola PHBM dengan LMDH, menghasilkan produk kayu dan non kayu, berupa tebangan dan sadapan.

Polanya, bagi hasil (sharing) 25% untuk petani dari pendapatan bersih. Bagi hasil ini, melalui rekening LMDH guna menghindari kebocoran dan pungli. Total sharing kayu pada 2013-2016 sebesar Rp1,7 miliar, non kayu Rp480 juta. Kayu pokok Perhutani antara lain jati, mahoni, sengon, senoro keling, sadapan damar dan pinus.

Sementara total luas kawasan hutan perhutanan sosial dalam skema izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) seluas 5.950 hektar untuk tujuh kelompok tani hutan.

Iwan mengatakan, hutan lindung berfungsi sebagai penyangga kehidupan, mencegah intrusi air laut, dan penataan air dan plasma nutfah. Fungsi utama hutan, katanya, demi kepentingan ekologi, disusul kepentingan sosial dan demi kesejahteraan masyarakat. “Sesuai motto Perhutani planet, people, profit,” katanya.

 

Hutan lindung Sendiki Kabupaten Malang yang tersisa di Malang Selatan Foto: Eko Wiianto/ Mongabay Indonesia

 

Rosek Nursahid, Ketua Profauna mengatakan, Perum Perhutani gagal mengelola kawasan hutan, terutama hutan lindung. Terbukti terjadi pembalakan liar terang-terangan, namun tak ada tindakan hukum. Dia melihat cenderung ada pembiaran.

Dia meminta tinjau ulang hak pengelolaan hutan Perum Perhutani dan memberi peluang masyarakat berpartisipasi aktif mengelola hutan seperti lewat perhutanan sosial. Warga yang mendapatkan hak kelola, katanya, mendapatkan pendampingan dan pengawasan.

Rosek bilang, daripada memberikan kelola kepada korporasi yang hanya beroriestnasi keuntungan.

“Sementara masyarakat, menggantungkan hidup dengan hutan,” katanya. Kalau hutan rusak, mereka mengalami dampak krisis air, banjir bandang, dan tanah longsor. Jadi, katanya, masyarakat terdampak langsung kalau terjadi deforestasi hingga lebih peduli dalam menjaga hutan. “Hutan lestari, masyarakat sejahtera.”

Dalam berita Mongabay sebelumnya, secara nasional, sampai Desember 2020, pemerintah telah menyerahkan hutan kepada rakyat sekitar 4.417.937,72 hektar, dengan 6.798 surat keputusan izin atau hak bagi 895.769 keluarga.

Sedang penyediaan kawasan hutan untuk sumber TORA, sekitar 2.768.362 hektar. Pelepasan kawasan hutan melalui perubahan batas untuk sumber TORA selesai 68 surat keputusan di 19 provinsi seluas 89.961,36 hektar dengan 39.584 penerima.

Khusus hutan adat—bagian dari perhutanan sosial–,katanya, telah ditetapkan 56.903 hektar dengan 75 komunitas atau 39.371 keluarga serta wilayah indikatif hutan adat seluas 1.090.754 hektar.

Pada 7 Janir 2021, Presiden Joko Widodo menyerahkan lagi perhutanan sosial dan Tanah obyek reforma agraria (Tora) dengan rincian hutan sosial 3.442.460,20 hektar bagi 651.568 keluarga, hutan adat 37.526 hektar, dan TORA 72.074,81 hektar. Ia tersebar di 30 provinsi di Indonesia dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara sampai Papua dan Papua Barat.

 

Pen getah pinus di Hutan Nagari Simarasok.Foto: KKI Warsi/Rahmat Hidayat

 

Hutan alam hilang, bencana datang

Dari Jawa Timur, memperlihatkan hutan terjaga dengan memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat. Dari Sumatera Barat, memperlihatkan hutan alam terus menyusut. Kala hutan hilang, bencana datang.

Tutupan hutan alam di Sumbar, alami penurunan dari tahun ke tahun. Dari analisis Citra Satelit Lansat TM 8 yang dilakukan tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia Warsi pada 2020 tutupan hutan Sumbar tinggal 1,8 juta hektar atau 44% dari luas wilayah.

“Jika dilihat dalam waktu tiga tahun ke belakang, penurunan hutan paling banyak di Mentawai sekitar 7.000 hektar, disusul Dharmasraya 5.000 hektar dan Solok Selatan 4.000 hektar,” kata Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi baru-baru ini di Padang.

Penurunan hutan, katanya, kaena beberapa faktor seperti izin baru untuk perusahaan pembalakan. Ada juga, katanya, pembukaan lahan baru untuk perladangan, tambang emas dan lain-lain.

“Analisis kami terihat, tambang emas ilegal masuk dalam kawasan hutan. Ada 4.000 hektar kawasan sempadan sungai yang sebagian berada dalam kawasan hutan rusak oleh penambangan emas ilegal,” katanya.

Kehilangan hutan ini, kata Rudi, menyebabkan beragam bencana dan konflik yang tak kunjung usai. Dalam catatan Warsi, baru beberapa bulan 2021 tercatat enam kali galodo (banjir bandang) yang menyebabkan empat orang meninggal dunia, tiga luka dan 18 rumah rusak.

Selain itu, tercatat banjir kerap menyinggahi hampir semua kabupaten kota di Sumbar.  Warsi juga mencatat kasus konflik satwa dengan manusia cukup tinggi beberapa tahun belakangan. “Ada sekitar lima harimau berkonflik dengan manusia di beberapa tempat, empat ditangkap tim BKSDA.”

Kondisi ini, katanya, memperlihatkan Sumbar dengan topografi perbukitan dan pegunungan harus lebih waspada dalam mengelola hutan.

Masih catatan Warsi, dalam tiga tahun terakhir (2017-2019) di Sumbar, ada 293 desa mengalami bencana tanah longsor, 440 desa banjir, 100 banjir bandang. Lalu, 145 desa kekeringan dan 145 desa diterpa kebakaran hutan. Dilihat dari data ini, banjir dan longsor mendominasi.

 

Pembibitan mangrve oleh warga. Foto: Yogi ES/ Mongabay Indonesia

 

Bahkan awal Februari lalu, intensitas hujan tinggi mengakibatkan delapan daerah di Sumbar banjir dan longsor. Delapan daerah ini yakni, Solok, Sijunjung, Pasaman Barat, Lima Puluh Kota, Agam, Dharmasraya, Solok Selatan dan Kota Solok.

Kerugian dari bencana ini cukup besar. Banjir bandang, tercatat merusak rumah dan memakan korban jiwa.

Dia bilang, letak geografis Sumbar menjadi satu faktor pemicu bencana. Topografi Sumbar berbukit, bergunung dengan kelerengan lebih 10% ditambah curah hujan tinggi, membuat kawasan ini rentan banjir, longsor, kekeringan dan bencana lain.

Namun, ketika terelaborasi dalam perspektif lebih luas, katanya, selain faktor topografi dan geografi, bencana di Sumbar beririsan langsung dari dampak deforestasi. Sumbar, katanya, merupakan daerah dengan luas kawasan hutan 2.342.893 hektar atau 55,39% dari luas wilayah. Sekitar 791.671 hektar merupakan hutan lindung.

Sebagian masyarakat Sumbar, hidup bergantung pada hasil hutan. Pada 2018, ada 320 desa berada pada topografi lembah dan kelerengan, dengan 39.383 rumah tangga menggantung hidup pada sumber hutan. Potensi hutan yang melingkupi lebih dari separuh Sumbar adalah modal sosio-ekologis yang harus terjaga.

Untuk itu, katanya, perlu upaya bersama dalam menghambat laju deforestasi dan bencana ekologis.

 

Hutan susut, pulau kecil rawan

Tak hanya pulau besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, dengan hutan rusak maupun beralih fungsi. Hutan di pulau-pulau kecil pun sama. Industri skala besar masuk, membabat hutan, pulau-pulau kecil jadi rawan bencana. Satu contoh pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau.

Hendrik, Koordinator Akar Bhumi mengatakan, pulau kecil sangat bergantung kepada hutan, seperti di Kepulauan Riau (Kepri), kekuatan ekologis bergantung kepada ekosistem hutan mangrove.

Akar Bhumi adalah lembaga peiat lingkungan di Kota Batam. Selain aksi jaga hutan, Akar Bhumi juga ikut melawan perusak hutan.

“Harapan kami, setiap hari kami berharap makin tersebar budaya cinta lingkungan. Ketika kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan terbangun, menjaga hutan akan menjadi hal jauh lebih sederhana,” katanya.

 

Hutan mangove yang sebagian rusak. Foto: Yogi ES? m Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, berbeda dengan pemerintah yang hanya menerima laporan soal kondisi hutan, sedangkan masyarakat berada di sekitar hutan setiap hari bahkan hidup bergantung hutan. “Maka, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan jadi salah-satu kunci utama melestarikan hutan.”

 

Di daerah kepulauan, katanya, hutan berperan secara ekologis seperti mencegah longsor, produksi oksigen, meningkatkan ketahanan air (area tangkapan air), mencegah intrusi air laut, abrasi, tempat berkembang biaknya biota laut (hutan mangrove). “Secara ekonomi, khusus di kepulauan, kehidupan nelayan sangat bergantung ekosistem mangrove. Tidak ada mangrove berarti tidak ada udang dan kepiting,” katanya.

Pemerintah sudah keluarkan berbagai aturan yang bisa menjerat perusak hutan, seperti hutan mangrove. Dia berharap, penegakan hukum tegas bagi pelanggar hingga afa efek jera.

Untuk jangka panjang, bisa meningkatkan pemahaman mengenai lingkungan hidup kepada para pihak, termasuk masyarakat terutama kalangan muda. Saat ini, katanya, banyak anak muda di Batam, misal, tidak mengerti mangrove dan fungsinya.

Dengan penguatan kepada kaula muda, generasi ke depan akan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup dalam setiap gerak mereka.

Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengatakan, pulau besar yang memiliki ketahanan lebih kuat saja saat ini kondisi hutan parah. Apalagi, pulau kecil, memiliki kerawanan tinggi terlebih kalau hutan tak terjaga.

“Selama ini ancaman di pulau kecil seperti tambang, perkebunan dan lain-lain cenderung meningkat,” katanya.

Dalam membangunan pulau-pulau kecil harus secara khusus dan hati hati. Apalagi, kata Riko, pulau kecil yang dianggap tidak berpenghuni dan dipandang potensial masuk investasi sebagai sumber ekonomi.

Belum lama ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, merilis penurunan deforestasi 2019-2020. Penurunan angka deforestasi bersih pada 2019-2020 seluas 115.459 hektar dibandingkan tahun 2018-2019 sebesar 462.460 hektar. Data ini merupakan data deforestasi Indonesia pada 2020 yang disesuaikan dengan peta rupa bumi terbaru di Kebijakan Satu Peta.

Kata Riko, angka deforestasi di Indonesia memang sedikit berkurang, tetapi rehabilitasi belum efektif. “Sampai saat ini kita belum melihat pemulihan berlangsung dengan efektif.”

Meskipun angka defortasi turun, katanya, masih banyak ditemukan perusakan hutan dan lingkungan hidup di beberapa daerah. “Apalagi pulau kecil, tambah rentan.”

Tantangan terhadap kelestarian hutan makin berat kala ada UU Cipta Kerja omnibus law, yang hadir demi memberikan kemudahan bagi investasi. Penghilangan batas minimum 30% tutupan hutan di suatu daerah, misal, bakal mengancam hutan tersisa.

Arie Rompas, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, dalam UU Kehutanan batas minimum tutupan hutan 30%. “Sekarang itu diubah dalam omnibus law. Batasan itu dicabut hingga berpotensi hutan makin terancam.”

Dia bilang, menjaga pulau-pulau kecil sangatlah penting. Terlebih, kala bumi alami krisis yang bakal rasakan dampak terlebih dahulu daerah pesisir atau pulau-pulau kecil. “Kita sudah mendengar, beberapa pulau mulai tenggelam dan hilang,” kata Arie.

Dia bilang, Indonesia harus serius mengubah model pembangunan ke arah berkelanjutkan tanpa eksploitasi lingkungan. Hutan, katanya, bagian sangat penting bagi penyelamatan iklim.

 

 

*****

Foto utama:  Pemukiman termasuk persawahan di Jorong Simancuang,di Sumatera Barat,  yang berkeliling bukit dengan tutupan hutan rapat.Foto:  KKI Warsi

 

 

Exit mobile version