Mongabay.co.id

Food Estate di Hutan Alam dan Gambut Rawan Perburuk Krisis Iklim

Kanal primer eks PLG di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang ditutup secara permanen. Nantinya ditengah hanya disisakan salurah air untuk jalur transportasi warga. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kebijakan pengembangan pangan skala besar (food estate) yang gunakan hutan alam dan lahan gambut khawatir memicu kerusakan parah hingga bisa memperburuk krisis iklim. Berbagai kalangan mendesak pemerintah mengeluarkan hutan alam dan gambut dari pengembangan food estate.

Yayasan Madani Berkelanjutan menyorot tiga hal terkait proyek food estate. Pertama, hutan alam dan ekosistem gambut, kedua, potensi nilai kayu yang ditebang di area of interest (AoI) food estate dan, ketiga, konstruksi kebijakan untuk mendukung pelaksanaan itu.

Data Madani Berkelanjutan, lebih 1,57 juta hektar hutan alam dalam area food estate tersebar di empat provinsi, yakni, Kalimantan Tengah, Papua, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Area ini disebut AoI, terluas di Papua sekitar 1,38 juta hektar.

Ada sekitar 1,4 juta hektar atau 40% ekosistem gambut berada di AoI food estate pada empat provinsi, paling luas di Papua (87.8%) dan Kalimantan Tengah (9,4%). Lebih dari setengah atau 51,4% itu hutan alam.

Rinciannya, 582.000 hektar gambut lindung dan 838.000 hektar budidaya. “Jika deforestasi, ditebang hutan, dikeringkan, dibuka, risiko kebakaran hutan dan lahan akan meningkat tajam,” kata Anggalia Putri, Manajer Manajemen Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, dalam diskusi daring belum lama ini.

Kondisi ini, katanya, akan memicu bencana. Bencana asap, katanya, terbukti terjadi di Kalteng beberapa tahun lalu karena pembukaan lahan gambut masif.

Anggie, sapaan akrabnya mengatakan, luasan AoI pada empat provinsi hampir seluas Jawa Barat sekitar 32.023 hektar (Sumatera Selatan), 61.094 hektar (Sumatera Utara), 311.793 hektar (Kalimantan Tengah) dan 3.287.110 hektar (Papua).

“Luas hutan alam yang berisiko hilang atau terdampak food estate hampir tiga kali Bali. Kalau semua ditebang, hampir 88% di Papua,” katanya.

 

Baca: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

Kunjungan Presiden Jokowi ke Kalimantan Tengah pada Oktober 2020 untuk melihat kesiapan areal food estate. Foto: Dok. Humas Protokol Provinsi Kalimantan Tengah

 

Selain itu, lahan gambut terbuka dapat melepaskan karbon dalam jumlah besar dan menghambat ketercapaian komitmen iklim Indonesia. Terutama, hutan alam dan gambut jadi rawan kebakaran hutan dan bencana lain.

Menurut dia, ancaman terbesar bukan pada hutan lindung karena luasan 278.121 hektar atau 8%, Sangat mengkhawatirkan, katanya, banyak menyasar hutan alam di hutan produksi, hutan alam di alokasi penggunaan lain, hutan produksi dan lain-lain.

Selain itu, ada nilai potensi keuntungan kayu dengan menjual kayu di AoI food estate. Berdasarkan penghitungan moderat—belum menghitung nilai kayu dalam hutan primer Papua—, dari 1,57 juta hektar hutan alam atau 243 juta m3 mencapai Rp209,36 triliun.

“Secara hukum, untuk menebang hutan ini boleh, karena dikecualikan dalam pemberian izin baru hutan dan gambut. Karena ini program kedaulatan pangan,” katanya seraya bilang hampir satu juta hektar AoI food estate di Papua masuk peta indikatif penghentian pemberian izin baru (PIPPIB).

Dia mengatakan, masa depan ekonomi Indonesia tangguh kalau secara ekologis kuat saat hutan alam dan gambut tak berubah besar-besaran untuk kepentingan pembangunan, termasuk food estate. Masa depan pangan dan pertanian Indonesia, katanya, malah akan terjaga kalau hutan dan gambut terjaga.

Anggie bilang, masalah pangan di Indonesia itu berkaitan dengan penyusutan petani, usia petani makin menua, kesejahteraan rendah, kesenjangan kepemilikan lahan sampai dampak perubahan iklim yang berpengaruh pada produksi pangan.

Kebijakan food estate pemerintah, katanya, jauh dari menjawab permasalahan kedaulatan pangan Indonesia terlebih di tengah situasi pandemi COVID-19 ini.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, merupakan turunan UU Cipta Kerja menyebutkan, boleh pelepasan kawasan hutan tak hanya hutan produksi konversi juga produksi tetap.

“Tidak ada larangan melepas kawasan hutan yang masih berhutan alam atau produktif dan boleh memanfaatkan (menebang) kayu.”

 

Baca: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

Presiden Joko Widodo dan rombongan kala meninjau lokaso food estate di Kalimantan Tengah. Foto: Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden

 

Kebijakan ini juga makin jadi ancaman hutan alam dan gambut, katanya, dengan tak kenakan PNBP pelepasan kawasan hutan, Kegiatan,katanya, bisa bersamaan dengan tata batas kawasan hutan. Food estate juga boleh melalui penggunaan kawasan hutan di hutan produksi dan lindung untuk pertanian tertentu guna ketahanan pangan dan energi.

“Apakah ini dalih mengambil kayu dari hutan alam di food estate secara legal? Kayu-kayu ini akan dibawa kemana?”

Bagi Anggie, food estate yang identik dengan ‘pakai lahan besar’ masih abai pangan Indonesia. Keadaan ini, katanya, kemungkinan terkait politik pangan pemerintah masih belum berpihak pada petani kecil.

Laju konversi lahan pertanian pun terus meningkat karena perlindungan dan pemberdayaan lahan pertanian minim, Juga kurang adaptasi dampak perubahan iklim, serta korupsi sumber daya alam.

“Kami berharap dikeluarkan saja hutan alam dan ekosistem gambut dan wilayah masyarakat adat maupun lokal dari area food estate,” katanya.

Pemerintah, katanya, perlu benar-benar menjalankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, transparansi, partisipasi dan akuntabilitas, dalam pelaksanaan program pembangunan ini.

Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB mengatakan, proyek food estate tak akan menyelesaikan permasalahan pangan Indonesia kalau gunakan pola saat ini.

Soal penebangan kayu, katanya, isu lama saat pengembangan gambut satu juta hektar di Kalteng. “Yang terjadi saat ini, dampaknya tidak berkesudahan.”

Dia menyebutkan food estate masa lalu selalu muncul dengan masalah dan gagal. Proyek ini, katanya, mengingkari kaidah-kaidah akademis. Ada empat pilar pengembangan lahan pangan, yakni, kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan teknologi, kelayakan infrastruktur dan kelayakan sosial dan ekonomi.

“Kalau saya melihat food estate di Kalimantan Tengah selain keinginan pemerintah meningkatkan produksi sebenarnya ada nuansa batin yang lain.”

Wilayah itu, katanya, sudah porak-poranda. “Sawah ada, pernah terkelola hanya 2-3%. Jangan berharap wilayah itu akan memecahkan persoalan pangan nasional.”

 


 

Tantangan

Rizaldi Boer, Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) mengatakan, food estate bukanlah wacana baru. Langkah ini perlu perencanaan matang agar tidak terjadi kesalahan sama.

Potensi penggunaan hutan alam dan gambut dia bilang jadi kekhawatiran. Sektor kehutanan, katanya, memiliki beban 17% dalam upaya penurunan target nationally determined contributions (NDC) dari target 29%.

“Sebagian besar 17% itu hanya bisa dicapai melalui penurunan deforestasi signifikan, perbaikan pengelolaan lahan gambut. Dua-duanya ini terancam dengan ada food estate. Tentu akan makin berat bagi Indonesia dalam mencapai target NDC.”

Dia mengatakan, food estate perlu perencanaan matang agar tidak mengulangi kesalahan dan kegagalan program sama masa lampau.

Dalam diskusi terpisah, Muhammad Wahyu Agang, Tim Ahli Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) food estate Kalteng menyampaikan, areal yang diajukan tidak berpotensi lagi secara ekologis. “PIPPIB, kawasan primer, lindung dan gambut akan kami hindari,” katanya.

Ada enam muatan yang dipertimbangkan dalam menyusun dokumen ini, yakni, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, risiko bencana, jasa lingkungan, potensi sumber daya alam, perubahan iklim dan keragaman hayati.

Dia membenarkan, konsultasi publik KLHS tahap awal masih belum maksimal. Tahap kedua, dia berjanji peta wilayah food estate akan mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup, keragaman hayati, dan kerawanan bencana.

“Secara spasial kita akan lihat sama-sama dan meminta publik untuk memberi rekomendasi.”

 

Sudah buka hutan

Safrudin, Direktur Save Our Borneo mengatakan, di Gunung Mas sudah ada sekitar 600 hektar kawasan hutan produksi dibuka sejak November 2020. “Kajian pembukaan lahan itu tanpa didahului dengan kajian lingkungan sebagai dasar, aktivitas di lapangan sudah berlangsung sampai 600 hektar sudah dibuka,” katanya.

Kawasan yang dibuka ini, ada kayu tegakan dengan nilai ekonomi tinggi.

Da bilang, ada tiga kabupaten mereka lakukan pengawasan, yakni, Pulang Pisau, Gunung Mas dan Kapuas. Ia merupakan wilayah eks proyek lahan gambut (PLG) yang masuk program food estate dan gagal panen.

Di sana, janji pemerintah intensifikasi 6-7 ton per hektar tak terjadi, bahkan target masayrakat tiga ton per hektar saja sulit. Kondisi ini, katanya, karena ada percepatan tanam yang mestinya November jadi September-Oktober saat cuaca ekstrem.

Akhirnya, panen mereka terserang hama. “Jenis benih yang ditanam juga tidak biasa, tidak ada jaminan ganti rugi asuransi padahal untuk membuka lahan mereka mengeluarkan modal dengan meminjam uang di bank,” katanya. Selain itu, dia nilai program nasional food estate ini tidak transparan dan akuntabel.

Ridwan Samosir, Sekretaris Eksekutif Yayasan Petrasa, Sumatera Utara mengatakan, food estate di Desa Ria-ria, Kabupaten Humbang Hasundutan masuk dalam konsesi PT Toba Pulp Lestari. Food estate oleh pemerintah di Dairi masuk dalam konsesi PT Gruti.

DI Humbang Hasundutan, dari 1.000 hektar program food estate, 215 hektar pengelolaan kepada petani. Sisanya, akan diserahkan kepada pihak ketiga. “Ada 10 perusahaan akan kemudian pengolahan ini.”

Ridwan khawatir, program ini akan memberikan kesenjangan dan persaingan antara antara perusahaan besar dan petani lokal.

Agustinus Teras Narang, anggota DPD Kalteng mengatakan, program food estate penting dan perlu namun dengan catatan ada prinsip keberlanjutan. Artinya, program ini harus memenuhi aspek keselamatan ekologis, sosial budaya dan ekonomi masyarakat di lokasi pengembangan.

 

 

 

*****

Foto utama: Kanal primer eks PLG di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang ditutup secara permanen. Nantinya ditengah hanya disisakan salurah air untuk jalur transportasi warga. Pengembangkan food estate di lahan gambut rawan kerusakan lingkungan dan perburuk krisis iklim. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version