Mongabay.co.id

Kajian Jejak Air, Bioenergi yang “Ramah Lingkungan”

Setiap tanggal 22 Maret diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Tulisan ini hendak mencermati hubungan antara kajian jejak air, efisiensi dan pentingnya pengelolaan sumberdaya air agak tetap berkelanjutan di muka bumi.

 

Besarnya dukungan pemerintah mengenai bahan bakar nabati seperti biodiesel dan bioetanol meningkatkan animo pelaku industri dan peneliti untuk mengembangkan penelitian tentang bioenergi. Bioenergi digembar-gemborkan ramah lingkungan karena dapat mengurangi efek rumah kaca, tapi apakah benar penggunaan besar-besaran bioenergi ini benar-benar “ramah lingkungan”?

Produksi bahan bakar nabati yang meningkat berarti bertambahnya bahan baku biomassa yang diperlukan. Baik bioenergi generasi pertama yang berbasis pati, generasi kedua yang berbasis lignoselulosa maupun generasi ketiga dari alga.

Penambahan ketersediaan bahan baku berarti bertambahnya lahan, irigasi dan pemakaian pupuk untuk penanaman. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pelbagai kalangan tentang kecukupan ketersediaan dan kualitas air.

Untuk sektor pertanian dibutuhkan sekitar 70% total konsumsi air global yang jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah setiap tahunnya. Terbayang, sebagai negara agraris, negara seperti Indonesia harus tetap menjaga sustainability air. Tak hanya untuk pertanian, tapi juga untuk pengembangan bahan bakar nabati.

Untuk itu pemerintah harus menyiapkan strategi jitu untuk menghindari kelangkaan air yang mungkin terjadi di masa depan. Pertanyaannya berapa besar air yang dibutuhkan untuk menghasilkan bahan bakar nabati?

Pada tahun 2003, Hoekstra memperkenalkan Water Footprint/WF (kajian jejak air), suatu konsep yang digunakan untuk menghitung air ”virtual” yang dibutuhkan dalam menghasilkan suatu produk atau jasa. Di tahun 2008, Hoekstra dan Chapagain mengembangkan konsep ini, sehingga hubungan antara konsumsi manusia dan ketersediaan air global dapat dianalisa.

Dalam konsep Water Footprint, pemakaian air diklasifikasikan dalam tiga jenis yang spesifik berdasarkan daerah dan waktu.

Pertama, air hijau (green water) mengacu pada volume air hujan yang digunakan pada saat penanaman dan produksi. Komponen ini sangat penting khususnya untuk produk hasil pertanian dan kehutanan.

Kedua, air biru (blue water) adalah air permukaan dan air tanah yang juga digunakan pada saat penanaman dan produksi. Pada saat penanaman, air biru yang dimaksud adalah air yang diperlukan untuk irigasi. Pada saat produksi, air biru dikategorikan sebagai air proses (air yang digunakan untuk produksi,).

Ketiga, air abu-abu (grey water). Air abu-abu didefinisikan sebagai air yang dibutuhkan untuk melarutkan polutan berupa pupuk (N dan P) sehingga pada saat dibuang ke lingkungan sudah sesuai dengan standar kualitas air di daerah tersebut.

Baca juga: Menengok Segarnya Air Terjun Banyumala Bali

 

Air yang melimpah menjamin keberlangsungan semua unsur alam. Gambar Air terjun Murugolo di Dusun Toba Desa Roga yang merupakan salah satu kawasan penyangga kawasan TN Kelimutu yang jika ditata akan menjadi destinasi wisata. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Water Footprint juga bisa dijadikan sebagai konsep untuk membandingkan efisiensi penggunaan air untuk menghasilkan suatu produk yang sama dari berbagai daerah. Perlu diingat bahwa sebelum menghitung Water Footprint perlu diset dulu boundary yang akan digunakan.

Perhitungan yang sempurna melibatkan penggunaan air langsung (direct water) yaitu air yang secara langsung digunakan pada saat penanaman dan produksi dan air tidak langsung (indirect water) yang mengacu pada penggunaan air pada saat distribusi dan supply chain produk. Misalnya untuk produksi bioetanol dari tebu.

Perhitungan Water Footprint dimulai dari air yang dibutuhkan pada saat penanaman, pemanenan, pemisahan bahan baku nira hingga produksi bioetanol (Hoekstra et al, 2011). Data real seperti data iklim, luas lahan dan jumlah panen dan studi literatur mengenai tanaman yang bersangkutan diperlukan untuk menghitung nilai evapotransportasi (penguapan dari tanah dan permukaan tanah dimana tanaman tumbuh dan penguapan dari proses transpirasi tanaman) yang mengacu pada nilai air hijau.

Untuk perhitungan Water Footprint pada saat produksi, diperlukan kelengkapan dari neraca massa dan neraca energi serta nilai fraksi dari produk yang dihasilkan.

Perhitungan Water Footprint saja tidak cukup untuk melihat potensi dampak suatu produk terhadap lingkungan, ketersediaan air di tempat tersebut (Water Availability) juga diperlukan.

Dari rasio kedua komponen didapatlah nilai Water Stress Index (WSI) yang menyatakan apakah benar, produksi produk itu dapat membahayakan ketersediaan dan kualitas air di daerah tersebut (Lovarelli et al, 2016).

Banyak studi yang meyakini bahwa bahan bakar nabati membutuhkan banyak air dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Gerbens-Leenes et al. (2009) menunjukkan bahwa jejak air biomassa kira-kira lebih tinggi 70 – 700 dibandingkan dengan bahan bakar fosil.

Mungkin untuk sepuluh atau dua puluh tahun ke depan memang tidak akan terlalu bermasalah, tapi kita juga harus memikirkan sustainability lingkungan di sekitar lahan hingga lima puluh tahun ke depan. Oleh karena itu, perhitungan Water Footprint bahan baku biomassa hasil pertanian atau kehutanan untuk bioenergi di Indonesia perlu dipertimbangkan untuk dilakukan.

Analisa mengenai Water Footprint bukannya belum pernah dilakukan, tapi mungkin dengungnya saja yang belum terdengar. Beberapa peneliti telah mulai menghitung nilai Water Footprint untuk bahan bakar nabati, misalnya bioetanol.

Penelusuran studi literatur dari tahun 2005 hingga 2013 terlihat bahwa bioetanol dari molase membutuhkan air paling banyak dengan nilai WF adalah 11,030.4 L H2O/L etanol. Sedangkan bahan baku gula bit membutuhkan air paling sedikit dengan nilai WF sebesar 790 L H2O/L etanol (Chiu et al. 2016).

Tetapi perlu diingat bahwa nilai WF suatu bahan baku akan berbeda pada daerah yang berbeda. Misalnya, WF bioetanol untuk tebu di Brazil adalah 2450 L H2O/ L etanol. Sedangkan di India, WF nya sebesar 2995 L H2O/L etanol. Hal ini disebabkan karena Water Footprint suatu produk sangat spesifik tergantung pada tempat dan waktu.

 

Lansekap Air Terjun Banyumala di Bali. Pada saat tertentu pelangi akan muncuk di dasar air terjun. Foto: A. Muzakky/Mongabay Indonesia

 

Untuk mengetahui nilai estimasi Water Footprint yang mendekati sebenarnya, data yang digunakan untuk perhitungan sebaiknya diambil dari lima tahun ke belakang masa panen tanaman.

Water Footprint suatu tanaman di daerah yang sama dapat berubah tiap tahunnya tergantung dengan hasil panen. Semakin tinggi hasil panen, semakin rendah pula nilai Water Footprint. Nilai Water Footprint produk yang rendah bisa diartikan bahwa penggunaan air untuk menghasilkan produk tersebut sudah dilakukan dengan efisien.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan nilai Water Footprint yang rendah harus dibarengi dengan hasil panen yang tinggi. Dan untuk menghasilkan hasil panen yang tinggi diperlukan perencanaan penanaman yang matang disertai dengan teknologi pertanian dan produksi yang efisien.

Seperti analisis siklus hidup lainnya, analisa Water Footprint tergantung pada tujuan. Apakah hanya ingin menentukan hot spot atau hingga sampai dapat mempengaruhi kebijakan dari policy maker. Agar kekhawatiran ini dapat didengar tentu saja penelitian mengenai analisa Water Footprint tidak hanya berhenti sebatas publikasi saja.

Tetapi harus ada sinergi dan kerjasama yang baik antara peneliti dan pemerintah sehingga perkembangan bioenergi di Indonesia yang benar-benar “ramah lingkungan” yang sustainable dapat terwujud.

 

* Dian Burhani M.Eng, penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

 

 

Exit mobile version