Mongabay.co.id

Bukan Ular, Caecilian Ini Amfibi Endemik Sumatera Barat

 

 

 

 

“Ada ular, ada ular! Ular tanah!”

Mendengar teriakan itu, Try Surya Harapan dan beberapa temannya langsung mendatangi arah suara. Mereka bertanya di mana ular tanah itu. Warga menunjuk ke arah cacing yang tergeletak di tanah.

“Itu bukan ular pak. Itu amfibi sama seperti kodok dan sejenisnya,” kata Surya. Warga yang teriak tadi malah mengatakan Surya gila.

Peristiwa ini terjadi di Batusangkar pada 2017. Surya adalah mahasiswa biologi Universitas Andalas (Unand). Waktu itu Surya dan teman-temannya sedang ada kegiatan di Batusangkar. Sebagai mahasiswa biologi, mereka biasa mengumpulkan data-data biologis dari alam. Ular tanah itu pun mereka foto.

Tiga tahun kemudian Surya sebagai peneliti di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA,  Unand Sumatera Barat meneliti serius terkait yang disebut masyarakat Sumbar sebagai ular tanah ini. Sebenarnya ia bukan ular, tetapi caecilian, amfibi penghuni tanah yang hidup di daerah tropis.

Penelitian Surya dan tim berjudul New records and potential geographic distribution of Elongated Caecilian, Ichthyophis elongatus Taylor, 1965 (Amphibia, Gymnophiona, Ichthyophiidae), endemic to West Sumatra, Indonesia. Ia terbit di Check List the journal of biodiversity data dan terbit pada 16 Desember 2020.

Dalam penelitian ini, Surya dan tim memeriksa distribusi baru amfibi ini di Pasaman, Tanah Datar dan Solok. Dua tahun sebelumnya mereka hanya mengambil foto di Pasaman Barat, Pasaman, Agam, Pariaman dan Padang Kota. Di Sawahlunto-Sijunjung dan Dharmasraya caecilian tidak atau belum terdeteksi.

Tim penelitian ini terdiri dari Try Surya Harapan ,Wilson Novarino dan Djong Hon Tjong dari Jurusan Biologi Universitas Andalas Sumbar. Ada juga Ade Prasetyo Agung dari Landscape Ecology Group, Center for Integrative Conservation, Xishuangbanna Tropical Botanical Garden, Chinese Academy of Science, dan Heru Handika dari Museum of Natural Science and Department Biological Science Lousiana State University, USA. Kemudian, ada Kyle W. Tomlinson dari Community Ecology and Conservation Group, Xishuangbanna Tropical Botanical Garden, Chinese Academy of Science.

Surya bersama tim menemukan, Sumbar memiliki endemik caecilian atau elongate caecilian (Ichthyophis elongatus Taylor 1965). Jenis ini pertama kali diteliti Taylor pada 1965. “Taylor mengambil sample di beberapa daerah Indonesia. Sumatera, Kalimantan dan lain-lain. Setelah itu belum ada yang meneliti lagi di Sumbar. “Di Sumbar sampel diambil di Padang,” kata Surya saat bertemu Mongabay.

Dalam laporan penelitian dia tulis, caecilian adalah kelompok paling kurang dikenal di antara anggota kelas amphibia. Sifat dan kebiasaan fosilnya, caecilian sulit ditemukan.

 

Yeni Gusma Yanti (kiri) sebagai tim laboratorium Biologi Universitas Andalas dan Try Surya Harapan (kanan) sebagai tim peneliti inti Elongate Caecilian, Ichthyophis elongatus Taylor, 1965 di Laboratorium Biologi Universitas Andalas. (Foto oleh: Jaka HB)

 

Caecilian termasuk ordo Gymnophiona atau Apoda, merupakan ordo amfibia bertubuh serupa cacing besar. Ciri-cirinya tidak berkaki, tubuh seperti cacing, kulit halus, mata mengecil, pasangan tentakel antara mata dan lubang hidung dan sebagian besar hidup terbatas pada hutan tropis.

“Spesies yang kami temukan banyak di rawa, sawah, huta sekunder yang berjarak 100-150 meter dari sungai besar. Juga pada area yang tinggi 500-1.000 mdpl,” katanya.

Populasi caecilian juga ada di sawah dan lokasi hidup 100-150 meter dari sungai besar, kini juga sudah didominasi manusia. Selain itu, dari hasil input data ke IUCN Redlist dan cek lapangan caecilian ada di sepanjang Bukit Barisan di Sumbar.

“Sekarang tempat yang ketinggian 500-1.000 mdpl juga ada pemukiman semua kan,” katanya.

Dia bilang, ancaman bagi satwa ini, lebih ke aktivitas manusia. “Biasa masyarakat bingung dan mengira ini ular, dibunuh langsung, terus karena hidup dekat pemukiman, dia suka nyeberang jalan jadi langsung saja dilindas.”

Surya awalnya memeriksa di International Union for Conservation of Nature’s (IUCN) Red List terkait status caecilian ini. Ia masuk status dd atau data deficient alias data tidak lengkap. Surya bilang, jarang ada yang mau buat penelitian caecilian ini.

Data tim mereka, kemudian diolah lagi di IUCN. “Di IUCN itu ada tools-nya, jadi kita pakai tools itu. Kita masukin semua indikator kemudian tertulis status endangered,” kata Surya.

 

Elongate Caecilian,  endemik Sumatera Barat. CIri-cirinya garis kuning terputus di bagian leher dan kepala agak besar. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Endemik Sumatera Barat

Surya dan tim menemukan, caecilian yang mereka temukan secara dominan berbeda dengan daerah lain. Diagnostik karakter kepala sedikit lebih lebar dari badan, garis kuning lateral yang sempit putus di daerah kerah dan ujung ekor tajam. “Dalam spesimen kami jumlah gigi rahang atas –premaksila adalah 62-66; jumlah gigi splenial adalah 28-32,” katanya.

“Beda lagi, ekor panjang dikit, atau ada tentakelnya. Bedanya ada garis kuning dan ada garis putus di leher, kepala agak besar dari badan.”

Panjang ekor berkisar pada 0,97-3,50 mm. Data dalam riset tim ini konsisten dengan apa yang ditemukan Taylor pada 1965.

Spesies satu ini punya peran seperti amfibi pada umumnya yaitu pengontrol invertebrata. “Ia mengontrol ekosistem, dalam banyak bacaan dan banyak klaim amfibi ini indikator global warming,” katanya.

Invertebrata, katanya, kalau dilepas akan makan daun dan daun-daun yang tidak habis dimakan jatuh. “Daun kan menyimpan karbon, lalu ketika daun dimakan maka karbon menguap di udara dan itulah yang menjadi Co2. Disitu peran Caecilian mengontrol invertebrata,” katanya.

Menurut pengalaman Surya terkait spesies endemik Sumbar ini tidak berbahaya bagi manusia. “Kita sudah lama berurusan dengan caecilian ini, ketika kita pegang nggak gigit. Sering kok kita pegang begitu. Cuma pertahanannya, kadang caecilian jadi licin ketika kita pegang.”

Soal gigi dan bisa pada caecilian sangat kecil. “Cuma gigi-gigi kecil aja. Mungkin nggak berbahaya untuk manusia tapi bagi semut atau invertebrata lain–yang jadi makanannya–berbisa,” katanya.

Dia berharap, masyarakat lebih memahami dengan amfibi ini hingga tak membunuhnya.

 

Elongate Caecilian, Ichthyophis elongatus Taylor, 1965 yang merupakan endemik Sumatera Barat. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

 

*****

Exit mobile version