Mongabay.co.id

KEE Ujung Pangkah: Antara Mangrove, Burung Migran, dan Ekonomi Masyarakat

 

 

Kabupaten Gresik merupakan satu dari empat daerah di Jawa Timur yang ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial [KEE] oleh Gubernur Jawa Timur pada 2020 lalu. Tepatnya, di Kecamatan Ujung Pangkah.

Hutan mangrove Ujung Pangkah seluas 1.554,27 hektar, mulai digarap dan dipersiapkan menjadi kawasan ekowisata. Tujuannya, mendatangkan manfaat ekonomi bagi warga sekitar, sekaligus sebagai wilayah konservasi keanekaragaman hayati.

Kepala Bidang BBKSDA Wilayah II Jawa Timur, Wiwied Widodo, mengatakan KEE merupakan instrumen pengelolaan yang dapat membuat sejajar dan seimbang antara perlindungan keanekaragaman hayati dengan peningkatan ekonomi masyarakat.

“Instrumen ini dapat diterima masing-masing pemerintah daerah. Tidak mungkin, hanya mengedepankan perlindungan keranekaragaman hayati bila perekonomian masyarakat tidak seimbang,” kata Wiwied, Senin [08/3/2021].

Hadirnya burung migran di Ujung Pangkah, menjadi daya tarik wisatawan. KEE diharapkan menjamin keberlangsungan ekosistem mangrove dan satwa yang ada, tanpa mengubah atau menghalangi masyarakat setempat melakukan aktivitas ekonominya.

“Burung migran ini pendatang, akan jadi hal kurang baik bila kita tidak bisa memastikan kelestariannya. Jumlah burung pengembara yang singgah akan menjadi pertimbangan pengelolaan Ujung Pangkah,” ujar Wiwied.

Baca: Burung Kowak Malam Kelabu Kembali Terbang Bebas di Mangrove Gresik

 

Burung migran tengah mencari ikan kecil di mangrove Ujung Pangkah. Foto: Dok. ARuPA

 

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah [Bappeda] Kabupaten Gresik, Hermanto Sianturi, mengatakan KEE Mangrove Ujung Pangkah akan mengubah persepsi Gresik yang selama ini dikenal sebagai kawasan industri.

KEE yang berada di tiga desa, yaitu Pangkah Wetan, Pangkah Kulon, dan Banyu Urip, diharapkan dapat menggerakkan ekonomi serta melindungi ekosistem pantai yang tergerus. Kawasan ini juga akan diajukan sebagai situs Ramsar, situs lahan basah sesuai Konvensi Ramsar.

“Langkah-langkah seperti edukasi, bentuk pengelolaan, keterlibatan dan peran serta masyarakat dan para pihak, telah disiapkan. Semua perlu dipertajam dan dirancang dalam konsep konservasi, namun tetap dapat dimanfaatkan masyarakat,” terangnya.

Baca juga: KEE Masakambing: Pelestarian Kakatua Jambul Kuning Harus Libatkan Masyarakat

 

Burung gajahan besar terlihat di KEE Ujung Pangkah, Gresik. Foto: Dok. ARuPA

 

Konsep ekowisata

BBKSDA Jawa Timur, kata Wiwied Widodo, menekankan pentingnya mengubah cara pandang masyarakat mengenai Gresik. Konsep ekowisata ditampilkan sebagai daya tarik, perlindungan keanekaragaman hayati sebagai pengungkit ekonomi.

“Butuh dua tahun sosialisasi, penetapan KEE tidak akan mengubah status dan pola hidup masyarakat. Malah, menjadikan kehidupan masyarakat lebih berkualitas. Misalnya, tidak ada larangan menangkap ikan di sekitar mangrove tapi caranya tidak boleh merusak bentang alam,” kata Wiwied.

“Tujuannya adalah masyarakat mandiri melakukan pengelolaan, yang sifatnya green industry atau budidaya ramah lingkungan,” imbuhnya.

 

Sekelompok burung mencari makan di perairan Ujung Pangkah, Gresik. Foto: Dok. ARuPA

 

Direktur Eksekutif Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam [ARuPA], Edi Suprapto, menuturkan pentingnya pengelolaan KEE secara efektif. Pendekatan multipihak dilakukan melalui penguatan forum koordinasi dan komunikasi, dengan mengedepankan masyarakat sebagai subjek utama.

“Di Jawa Timur ada 4 KEE yang disahkan Gubernur, tapi lembaga pengelolaannya belum ada. Kami mendorong dua hal, yaitu penguatan kelembagaan dan penguatan pengelolaan.”

Edi menegaskan, prioritas penyadartahuan kepada masyarakat adalah, area yang dikuasi atau dikelola ini mempunyai nilai keragaman hayati dan fungsi ekosistem yang tinggi.

“Masyarakat tetap bisa memanfaatkan tapi juga harus menjaga bersama. Pengelolaan di tingkat tapak tidak akan ada perubahan apapun, tetapi ada misi konservasi yang dilakukan pengelola,” terangnya.

Anggota Badan Permusyawaratan Desa [BPD] Pangkah Kulon, Abduloh Hanif, menaruh harapan besar hadirnya KEE. Program ini, selain konservasi diharapkan juga mampu memberdayakan masyarakat secara ekonomi. Salah satunya, dengan penyusunan konsep desa wisata yang mengandalkan potensi alam seperti mangrove, pantai, dan wisata air.

“Wisatawan dapat berkunjung yang otomatis mendongkrak perekonomian masyarakat. Apalagi nanti, ada olahan mangrove, selain produksi ikan yang dilakukan UMKM kami,” terangnya.

 

Bangau tongtong, pengunjung setia Ujung Pangkah, Gresik. Foto: Dok. ARuPA

 

Pentingnya ekosistem mangrove

Hadirnya burung migran dari Australia ke mangrove Ujung Pangkah membuat wilayah ini spesial. Burung Pelecanus conspicillatus atau pelican Australia ini kategori burung air, yang mendapatkan makanannya dari perairan pantai di sekitar ekosistem mangrove.

Yus Rusilla Noor, dari Wetlands Internasional Indonesia atau Yayasan Lahan Basah, menyebut upaya melestarikan mangrove sama dengan melestarikan burung. Ini karena ekosistem mangrove merupakan habitat hidup berbagai organisme serta satwa liar lainnya, diantaranya burung.

Berkaitan burung migran, Yus menjelaskan, jenis ini datang dari tempat tertentu ke wilayah Indonesia, ketika di tempat mereka berbiak musim dingin. Wilayah Indonesia sering dijadikan tempat singgah burung-burung dari belahan Bumi utara ke selatan, maupun sebaliknya. Migrasi ini dilakukan untuk bertahan hidup, sekaligus mencari suhu lebih hangat.

“Mereka punya insting, mendorog untuk pergi ke tempat yang ada makanan.”

 

Mangrove di Ujung Pangkah, Gresik, yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan juga satwa liar. Foto: Dok. ARuPA

 

Pola migrasi itu rutin dilakukan selama musim dingin. Burung usia dewasa antara 2 hingga 4 tahun, harus berangkat dan kembali selama musim migrasi. Kondisi ini disebut survivalship, yakni upaya mempertahankan hidup dan keturunan dari perubahan yang terjadi di wilayah berkembang biak.

Menurut Yus, kebanyakan burung migran yang singgah di Indonesia adalah jenis burung pantai dan burung air. Secara teori, burung migran tidak berkembang biak saat migrasi, atau mencari makan. Makanya disebut migran, karena tidak ditemukan sarang, telur, maupun anak di tempat mereka singgah.

“Di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara, hanya tempat transit, disebut wintering ground, atau tempat mereka mencari makan di musim dingin,” terang Yus.

 

Kawanan burung yang terbang di sekitar perairan Ujung Pangkah, Gresik. Ujung Pangkah merupakan satu dari empat daerah di Jawa Timur yang ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial [KEE] oleh Gubernur Jawa Timur tahun 2020.

 

Mangrove bukan makanan bagi burung, tapi tempat burung migran mencari makan. Dikatakan Yus, pelican di Ujung Pangkah sebenarnya makan di hamparan lumpur pasang surut.

“Penting memperhatikan tempat mana yang bisa ditanami mangrove, serta yang dibiarkan tumbuh alami. Ujung Pangkah harus dikelola terencana dengan menerima masukan para ahli, serta mendasarkan pada konservasi burung migran.”

Selain Ujung Pangkah, Kawasan Ekosistem Esensial lain yang ditetapkan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, adalah Teluk Pangpang di Kabupaten Banyuwangi, Pantai Taman Kili-kili di Kabupaten Trenggalek, serta Pulau Masakambing di Kabupaten Sumenep, Madura.

 

 

Exit mobile version