Mongabay.co.id

Nasib Para Perempuan yang Hidup di Sekitar KEK Mandalika

Seorang perempuan berjalan di dekat papan yang menunjukkan kawasan ini milik negara dalam kelola PT ITDC. Banyak petani di Desa Kuta dan Desa Sengkol becocok tanam di atas lahan ITDC. Foto: Fathull Rakhman / Mongabay Indonesia

Seorang perempuan berjalan di dekat papan yang menunjukkan kawasan ini milik negara dalam kelola PT ITDC. Banyak petani di Desa Kuta dan Desa Sengkol becocok tanam di atas lahan ITDC. Foto: Fathull Rakhman / Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Rumah itu berdinding bedek beratap seng, tak jauh dari lokasi proyek sirkuit MotoGP. Inaq Sainah, baru selesai membereskan perlengkapan dapur ketika saya berkunjung ke gubuknya awal Maret. Halaman rumah becek bekas hujan.

Dengan pendengaran terbatas, saya berulang kali menjelaskan maksud kedatangan. Sainah mengira saya petugas dari perusahaan yang mendata warga yang tinggal di lahan PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC). Ini perusahaan milik negara yang mengurus pembangunan pariwisata. Kawasan ini jadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.

“Saya tidak tahu apa-apa. Saya bodoh. Suami saya yang tahu. Tapi sekarang sedang sakit demam,’’ kata Sainah dalam bahasa Sasak. Dia mengira saya petugas perusahaan yang akan menggusur gubuknya.

Sainah sadar, dia tinggal di lahan yang kini masuk kelola ITDC dan bakal tergusur. Ratusan warga lain sudah tergusur sejak proyek KEK Mandalika kembali menggeliat, setelah sempat telantar bertahun-tahun.

Sainah menanam jagung. Sudah bertahun-tahun dia menggarap lahan itu dan tinggal tak jauh dari ladang. Lahan hanya dia manfaatkan pada musim hujan. Saat kemarau semak.

Tahun ini jadi makin berat bagi Sainah. Selain banyak lahan bertani hilang karena berganti proyek jalan di dalam kawasan, satu persatu warga tergusur.

Untuk bertani, Sainah juga mengeluhkan pupuk langka. Dia khawatir jagungnya karena belum mendapat pupuk. “Buahnya akan kecil kalau kurang pupuk,’’ katanya.

 

Inaq Hasan mengawasi kerbau agar tidak memakan tanaman jagung. Sehari-hari dia mengembala kerbau di dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Foto: Fathul Rakhman / Mongabay Indonesia

 

Dia ingin mencari pupuk di tempat lain tetapi suaminya sedang sakit hingga tak bisa bepergian jauh. Sainah sendiri merasa kurang sehat. Kaki rematik. Dia pasrah kalau tanaman jagung tahun ini tak optimal.

Tidak jauh dari Sainah, Inaq Hasan sibuk menghalau kerbau. Kerbau itu memakan rumput di halaman gubuk yang sudah tidak ditempati. Gubuk itu jadi rumah singgah ketika penggarap lahan mulai bercocok tanam sampai panen.

Di lahan itu rumput tumbuh subur, di bukit sekeliling tanaman jagung sudah mulai berbunga. Inaq Hasan menjaga agar kerbau tidak makan jagung.

Kandang kerbau masih di sekitat tempat itu. Inaq Hasan menginap menjaga kerbau. Pagi hari, dia membawa kerbau mengelilingi KEK Mandalika sekaligus mencari rumput dan menggembalakan kerbau. Di kawasan seluas 1.000 hektar lebih itu banyak rawa atau semacam kubangan tempat kerbau mendinginkan badan.

Pukul 10.00 pagi, kerbau itu dibawa ke Bukit Merese. Ini bukit yang menjadi ikon KEK Mandalika. Bukit itu terkenal dengan keindahan matahari terbenam. Garis pantai berpasir putih dan ombak yang menggulung menjadi tempat favorit berselancar.

Sudah lumrah para penghobi selancar bertemu dengan pengembala kerbau. Sudah biasa para pengembala kerbau menyaksikan wisatawan berselancar. Sesekali saat wisatawan sepi, kerbau-kerbau itu dibawa mendaki Bukit Merese. Bagi wisatawan, kerbau yang merumput itu menjadi satu obyek foto. Selama ini tidak pernah saling menganggu.

Pembangunan KEK Mandalika yang makin berkembang, satu persatu pengembala kesulitan. Beberapa jalur kerbau berubah jadi aspal hotmix. Pintu masuk kerbau ke kubangan berubah menjadi taman. Beberapa titik, sudah terpasang portal. Kerbau tak lagi bisa melintas.

Bagi pengembala kerbau kondisi ini cukup memberatkan. Selain kehilangan tempat mencari pakan dan kubangan, mereka harus berjalan jauh mencari jalan yang belum ditutup.

Ririn bersama suami dan anaknya membuka warung di Pantai Tanjung Aan. Pantai yang terkenal dengan pasir putih sebesar merica ini menjadi destinasi favorit wisatawan lokal. Setiap akhir pekan selalu ramai wisatawan lokal. Sehari setelah hari-hari besar Islam, makin ramai orang liburan. Saat itulah, Ririn panen, bisa dapat Rp1 juta sehari.

Hari-hari terakhir ini Ririn gelisah. Pembangunan sirkut MotoGP makin banyak memakan lahan. Hutan mangrove banyak ditimbun. Kubangan kerbau ditimbun. Rumah-rumah warga digusur, sampai melibatkan aparat keamanan. Ririn pasrah menunggu waktu kena gusur. Dia sadar, hanya menumpang tinggal di Pantai Tanjung Aan. Dia tidak bisa menolak seperti warga lain yang memiliki sejarah panjang penguasaan lahan di KEK Mandalika.

“Kalau kami hanya menumpang. Kalau dibongkar (kios) kami kembali ke rumah,’’ katanya.

 

Inaq Sainah memegang lututnya yang nyeri karena rematik. Dia masih tinggal di dalam kawasan dan tidak tahu kapan akan menunggu giliran tergusur. Foto: Fathul Rakhman / Mongabay Indonesia

 

Tergusur

Di lahan KEK Mandalika pernah tinggal ratusan keluarga. Satu persatu tergusur. Dalam proses negosiasi ada biaya ganti rugi, walaupun pemerintah merasa sudah lama pembebasan lahan, sejak 1990-an. Bagi keluarga yang merasa masih memiliki hak, tetap bertahan. Mereka melawan di pengadilan, hingga tergusur paksa dengan alat berat.

Warga yang kini masih bertahan, menunggu ‘giliran’. Menununggu waktu lahan yang mereka manfaatkan untuk pertanian ini berubah fungsi.

Setelah menjadi KEK Mandalika, wajah Pantai Kuta Lombok Tengah, mulai bersolek. Kondisi pantai yang lima tahun lalu masih terlihat kumuh, kini jadi satu destinasi paling indah dan bersih di kawasan pantai selatan Lombok Tengah.

Akses jalan diperbaiki, bahkan ada bypass dari bandara. Jalan di dalam kawasan juga diperlebar dan mulus. Pantai tertata, bermunculan hotel baru dan pusat bisnis baru. Setiap pejabat pusat yang datang ke Lombok, hampir dipastikan berkunjung ke Mandalika.

Bagi para perempuan-perempuan marjinal yang tinggal di kawasan itu, proyek yang jadi salah satu bagian dari “New Bali” itu tak mendatangkan berkah bagi mereka. Alih-alih justu menjadi masalah. Kisah Inaq Hasan, Inaq Sainah, Ririn adalah sekelumit contoh kecil.

Sisi atau Inaq Halid juga potret warga sekitar KEK Mandalika yang makin terpinggirkan. Rumahnya hanya beberapa meter dari KEK Mandalika. Sejak kecil dia biasa bermain di sana. Banyak rawa yang menyerupai kolam, menjadi lokasi favorit menangkap ikan. Sehari-hari, dia dan suami menangkap ikan di kolam dalam kawasan KEK. Hingga kini, dia masih mencari ikan, bahkan sering mengajak anaknya memancing.

“Sudah banyak ditimbun,’’ kata Sisi.

 

Seorang perempuan pengembala mengumpulkan batang jagung untuk ternaknya. Jagung yang ditanam ada di atas lahan PT ITDC dan lahan milik investor. Ketika lahan itu dipakai untuk pariwisata, petani jaguung kehilangan pekerjaan, begitu juga para pengembala/peternak. Foto: Fathul Rakhman / Mongabay Indonesia

 

Walaupun menjadi warga sekitar proyek, dia dan suami tidak bisa bekerja di proyek. Sehari-hari dia hanya melihat truk mengangkut tanah urug lalu lalang meninggalkan debu. Jalan berlumpur saat hujan. Tenaga kerja banyak datang dari luar. Suami dan Sisi sendiri menganggur.

Selamah, pemulung di Desa Kuta, hanya beberapa meter dari pintu masuk sisi barat KEK Mandalika bilang, proyek itu banyak mendatangkan pekerja dari luar desa. Dia tidak tahu darimana saja, tetapi beberapa orang menggunakan bahasa yang dia tidak mengerti.

Anak dan cucu Selamah masih menangkap ikan. Mereka tidak bisa mengakses pekerjaan ke dalam proyek. Cucu hanya tamat SMP. Menikah muda, lalu menjadi orang tua tunggal. Tidak ada pekerjaan tetap, hanya membantu bibinya berjualan di pinggir pantai, itu pun di pinggir pantai di kampung, bukan di dalam kawasan wisata.

Selamah hanya bisa menjadi pemulung. Semua rambut memutih, tangan sudah keriput, Selamah merasa cukup mengumpulkan barang bekas. Kardus dan botol air mineral. Setiap pagi dia mengais bak sampah di depan hotel, depan café, depan restauran. Tidak sekali pun dia mau masuk ke dalam.

“Kalau masuk cafe saya tidak mau. Kalau ada barang mereka yang hilang, saya bisa dituduh,’’ kata Selamah.

Dia menuturkan pandangan negatif para pemilik usaha yang selalu curiga para pemulung akan mencuri.

Sebelum KEK Mandalika berkembang seperti saat ini, kawasan selatan Lombok Tengah cukup rawan. Setidaknya itu menurut pandangan wisatawan yang pernah menjadi korban kejahatan.

Di jalur selatan itu kerap terjadi perampokan, begal, maupun pencurian dengan kekerasan. Pandangan itu kemudian menjadi stereotip.

“Kalau botor bir dibawakan ke sini,’’ katanya.

Warga sekitar tak mendapatkan berkah dari mega proyek KEK Mandalika, justru mereka banyak menjadi korban. Banjir yang melanda kawasan itu beberapa waktu lalu diduga tidak bisa lepas dari ada proyek ini. Penyimpan dan penyerap air berkurang dari rawa dan mangrove tertimbun, sampai pepohonan di bukit habis.

Kala hujan, air bercampur lumpur menggenangi rumah warga. Merusak tanaman, dan harta benda.

“Rumah saya tergenang juga,’’ kata Papuq Sahdi, warga sekitar KEK.

 

 

****

Foto utama:

Seorang perempuan berjalan di dekat papan yang menunjukkan kawasan ini milik negara dalam kelola PT ITDC. Banyak petani di Desa Kuta dan Desa Sengkol becocok tanam di atas lahan ITDC. Foto: Fathull Rakhman / Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version