Mongabay.co.id

Wilayah Adat Rakyat Penunggu Terancam Proyek Deli Megapolitan

Masyarakat adat Rakyat Penunggu, sedang panen sayur. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kota Deli Megapolitan, begitu nama proyek pembangunan properti di Kabupaten Deli Serdang. Sumatera Utara ini. Proyek pembangunan kota satelit baru yang melintas sepanjang jalan Kabupaten Deli Serdang dan melewati wilayah pinggiran Kota Medan ini rawan timbul masalah. Di atas lahan ini hidup ribuan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu.

Data Pemerintahan Sumatera Utara, menyebutkan, proyek Kota Deli Megapolitan ini merupakan kota satelit baru dari Kota Medan. Proyek ini kolaborasi antara PTPN II dengan PT Ciputra.

Jauh sebelumnya, pada 2011, PTPN II dan PT Perumnas juga menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding) bersama membuat perumahan di wilayah konsesi HGU PTPN II ini.

Setidaknya ada sekitar 8.077,73 hektar lahan akan dipakai untuk mega proyek ini termasuk ruang hijau dan lain-lain. Lahan proyek pembangunan itu berada di atas HGU PTPN II.

Irwan Perangin-angin, Direktur PTPN II mengatakan, proyek ini menghabiskan dana sekitar Rp128 triliun dan diinisiasi sejak 2011.

Proyek ini akan dikembangkan menjadi lokasi residensial seluas 2.514 hektar (31,12%), industri seluas 1.175,5 hektar (14,55%),komersial 340,5 hektar (4,21%), dan kawasan hijau 4.047 hektar (50,11%).

Lokasi proyek ini akan memakai lima kebun seluas 8.077,76 hektar dengan rincian Kebun Helvetia 811,89 hektar, Kebun Sampali – Saintis seluas 2.967.92 hektar, Kebun Bandar Klippa 3.545,74 hektar, Kebun Penara 507,11 hektar dan Kebun Kuala Namu seluas 245,10 hektar.

 

Wina Khairina, peneliti dari Articula mengatakan, proyek ini merupakan pemanfaatan konsesi HGU PTPN II yang menyalahi mandat PTPN sebagai perusahaan perkebunan negara, perusahaan perkebunan mau masuk ke properti.

Dia bilang, peran PTPN II dalam Deli Megapolitan ini tidak lebih sebagai broker, atau makelar tanah. Sementara tanah itu, katanya, merupakan tanah negara yang seharusnya untuk sebesar-besarnya kemaslahatan masyarakat.

“Proyek ini hanya akan menguntungkan pemilik investasi dan segelintir orang di PTPN II, ” kata Wina.

Terlebih, katanya, di wilayah HGU yang akan jadi lokasi pembangunan proyek ini, banyak warga tinggal. Ada puluhan komunitas adat, puluhan kelompok tani, dan puluhan kelompok masyarakat penggarap. Mereka ini, katanya, juga memiliki hak dalam pengelolaan sumber daya agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Upaya mediasi konflik-konflik agraria berkeadilan yang jadi tuntutan masyarakat sejak 70 tahun terakhir tidak terselesaikan hingga kini. Pun upaya distribusi eks HGU seluas 5.873 hektar sejak 2002 tidak tuntas hingga kini.

Mengusir warga dari tanah yang sudah mereka kelola dengan berbagai latar persoalan yang tidak pernah ada upaya penyelesaian, katanya, tentu tidak mempertimbangkan pendekatan inklusif dalam pembangunan berbasis HAM. Juga dalam konteks tanggung jawab perusahaan dalam pengembangan bisnis dan HAM.

“Apabila PTPN II sudah tidak mampu menjalankan mandat pada bisnis itu, sebaiknya kembalikan saja HGU kepada negara agar jadi obyek reforma agraria.”

Proyek Kota Deli Megapolitan, katanya, contoh nyata upaya akuisisi lahan skala besar dengan tidak melibatkan persetujuan para pihak, terutama masyarakat adat, petani dan petani pemggarap di lahan itu.

Hal ini, katanya, tidak menggunakan pendekatan berbasis hak dan akses masyarakat atas keadilan pembangunan, lingkungan dan pengelolaan sumber daya agraria.

 

Masyarakat Adat Tanah Penunggu, baru panen padi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman wilayah Adat Rakyat Penunggu

Lantas bagaimana nasib Masyarakat Adat Rakyat Penunggu dan masyarakat lokal lain kalau proyek ini jalan? Salah satu yang terancam wilayah Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Menteng dan Kampung Serdang.

Jalo Hasudungan Siregar, Ketua Pengurus Wilayah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Serdang mengatakan, sejak 1953, wilayah adat mereka sekitar 257.455,21 hektar, yang dikelola 660,71 hektar dengan 24 kampung sekitar 1.624 keluarga. Ia tersebar di berbagai kecamatan seperti Batang Kuis, Tanjung Morawa, STM Hilir, Patumbak, Sei Tuan, Pantai Labu, dan Hamparan Perak.

Pantauan Mongabay pada Selasa 22 Maret 2021, para perempuan adat tengah memberi makan ratusan itik, sebagian ada yang memberikan makan lele serta memanen cabai dari kebun mereka.

Jalo bilang, mereka bisa memenuhi keperluan sehari-hari dengan baik, antara lain dari bertani dan beternak. Termasuk di masa pandemi COVID-19 ini, mereka bisa memenuhi keperluan pangan sendiri. Warga adat Rakyat Penunggu, katanya, mampu bertahan menghasilkan pangan, seperti sayur–sayuran.

“Pendapatan rata–rata Rp3.000.000 perbulan. Kami dapat mencukupi kebutuhan biaya hidup sehari-hari maupun biaya pendidikan anak sekolah,” kata Jalo Siregar.

Meskipun begitu, ada beberapa kampung hadapi persoalan ketidakadilan. Satu contoh, katanya, di Kampung Tumpatan Nibung, mengalami gangguan preman, mafia tanah, serta perubahan tata ruang pemerintah untuk sejumlah proyek pembangunan.

Meliana Yummy, perempuan Adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng Tualang Pusu mengatakan, mereka sudah kembali menguasai lahan wilayah ini hampir 15 tahun ini dan mulai pemetaan juga pendataan warga. Mereka juga mendorong pengakuan keberadaan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu di pemerintahan terdekat yaitu desa.

Upaya ini, kata perempuan yang juga Dewan Nasional Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Region Sumatera ini, dilakukan para perempuan. Kini, ada beberapa kampung sudah keluar surat keputusan dari kepala desa, seperti Kampung Menteng Tualang Pusu, Kampung Saintis dan lima kampung lain.

Pada September 2020, Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Deli Serdang menerima surat dari PTPN II bahwa akan ada proyek Deli Megapolitan. Kondisi ini mengusik mereka karena ada 11 kampung akan terdampak.

Perempuan adat tidak tinggal diam, mereka mendatangi Kantor Bupati Deli Serdang.

“Kami menemui Pemerintahan Deli Serdang, mereka berjanji menanggapi serius wilayah Masyarakat Adat Rakyat Penunggu yang akan jadi lokasi proyek Kota Deli megapolitan ini,” kata Yummy.

Dia bilang, apabila proyek ini tetap jalan tanpa pembicaraan akan terjadi perlawan keras di lapangan. “Lawan. Kami siap menjadi garda terdepan mempertahankan wilayah adat kami.”

Menurut Jalo, ada beberapa hal mereka tuntut. Pertama, setop pembangunan yang tidak melalui proses persetujuan dari masyarakat adat. Kedua, hentikan kekerasan, intimidasi, dan teror pada masyarakat dan perempuan adat. Ketiga, pemerintah segera mengeluarkan kebijakan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Terutama, pengakuan dan perlindungan atas wilayah adat beserta hak–hak agraria dan sumberdaya alam.

 

Surat dari PTPN II kepada Masyarakat Adat Rakyat Penunggu agar mengosongkan lahan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Muhammad Ali Nafiah Matondang, Kepala Devisi Sumberdaya Alam LBH Medan mengatakan, proyek Kota Deli Megapolitan berada di Kabupaten Deliserdang. Berdasarkan kajian mereka ada dugaan pelanggaran hukum, mulai izin, rawan pelanggaran HAM dugaan korupsi. Lingkungan hidup, katanya, juga terancam.

Bupati, katanya, sudah memberikan persetujuan prinsip untuk proyek ini. Saat rapat dengar pendapat di DPRD Deli Serdang 18 Maret 2021, dalam ranperda yang disusun tak ada tentang proyek Kota Deli Megapolitan ini.

“Perda tata ruang terbaru belum ada tetapi Bupati Deli Serdang sudah mengeluarkan izin prinsip untuk proyek ini. Dugaan ada pelanggaran di dalamnya.”

Untuk HGU, kata Ali, ada dugaan pelanggaran juga. Sesuai aturan izin usaha yang boleh untuk HGU ada empat, yaitu pertanian perkebunan, perikanan dan peternakan. Proyek Kota Deli Megapolitan di lahan HGU PTPN II, merupakan usaha properti alias tak masuk dalam empat kategori usaha HGU itu. Di atas HGU itu PTPN II juga ajukan  izin  hak guna bangunan (HGB).

HGU PTPN II, katanya, akan habis pada 2028, berarti tinggal tujuh tahun lagi. Sedangkan HGB berlaku selama 30 tahun.

“Ada tumpang tindih izin dalam lahan proyek Kota Deli Megapolita, yaitu izin HGU di atasnya ada HGB juga,” kata Ali.

Kalau proyek ini jalan, katanya, rawan terjadi pelanggaran HAM karena akan terjadi penggusuran, pengusiran terhadap masyarakat yang sudah tinggal di sana.

Bagaimana tanggapan Pemerintah Sumut? Edy Rahmayadi, Gubermur Sumut ketika diwawancarai Mongabay 24 Maret lalu mengatakan, pembangunan Kota Deli sudah ground breaking. Saat ini, dalam proses administrasi dan pematangan pada posisi-posisi yang harus segera dikerjakan.

Soal nasib rakyat di lahan proyek ini, katanya, akan ada sosialisasi, dan edukasi. “Akan ada pemantauan dan laporan setiap seminggu, dua minggu, sebulan untuk melihat proyek ini berjalan. Akan ada solusi untuk masyarakat yang tinggal di sana,” katanya, tanpa menjelaskan solusi seperti apa.

 

 

*****

Foto utama:  Masyarakat adat Rakyat Penunggu, sedang panen sayur. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version