Mongabay.co.id

Seberapa Besar Kapasitas PLTS yang Bisa Diinterkonesikan Pada Sistem Kelistrikan Jawa-Madura-Bali?

Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Pengurangan Emisi GRK

Saat ini sedang ramai dibahas di berbagai media dan forum tentang rencana Indonesia untuk bisa net zero emission atau bisa menyeimbangkan antara emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dikeluarkan untuk kegiatan ekonomi dengan emisi GRK yang diserap atau dikurangi.

Capaian target nasional untuk net zero emission ini berdasar pernyataan dari Direktur Jenderal Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 19 Maret 2021, akan bisa dicapai pada tahun 2070, atau sekitar 50 tahun lagi.

Indonesia diperhitungkan masih akan sangat lama untuk bisa mencapai titik keseimbangan ini karena emisi GRK yang masih dalam tren meningkat, terutama dari sektor energi. Peningkatan emisi GRK dari sektor kelistrikan salah satunya, di dalam kurun waktu 20tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang sangat tajam karena adanya pembangunan berbagai pembangkit tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Indonesia.

Salah satu upaya penting yang kemudian harus dilakukan untuk mengurangi emisi di Indonesia adalah menggantikan pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara, atau PLTU batubara, dengan jenis pembangkit berbahan bakar lain, terutama energi terbarukan. Saat ini PLTU batubara adalah jenis pembangkit yang paling banyak dibangun dan dioperasikan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional, jauh melebihi berbagai jenis pembangkit lain. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab utama mengapa emisi GRK di Indonesia semakin meningkat.

Seperti diketahui, saat ini Indonesia mempunyai banyak jaringan kelistrikan yang menyuplai ke pelanggan, dan yang paling besar kapasitasnya serta paling banyak populasi pembangkitnya adalah sistem jaringan kelistrikan Jawa-Madura-Bali atau biasa disingkat Jamali. Dan di dalam jaringan Jamali ini, berbagai macam jenis pembangkit listrik, mulai dari PLTU batubara, Pembangkit Listri Tenga (PLT) Gas, PLT Geothermal, PLT Surya, PLT Diesel, sampai PLT Air skala besar dan berbagai PLT Mikrohidro yang menjadi penyuplai listrik bagi kebutuhan masyarakat dan bisnis.

Tren dari pengembangan energi terbarukan, terutama energi surya, semakin meningkat di dunia, terutama terkait dengan kepraktisan implementasinya dan pengurangan emisi GRK global. Hal ini membuat photovoltaic atau panel surya, sebagai alat konversi energi surya menjadi listrik, menjadi semakin murah dan semakin efisien.

baca : Kala PLTU Batubara Picu Perubahan Iklim dan Ancam Kesehatan Masyarakat

 

PLTS Cirata dengan areal seluas 200 hektar, meliputi 13 pulau modul dengan jumlah panel fotovoltaik mencapai 340.000 unit. Energi yang dihasilkan mencapai 245 juta kilowatt per jam (kWh) per tahun. Foto : PLN

 

Dominasi PLTU Batubara di Jaringan Kelistrikan Jamali

Selama ini banyak pertanyaan yang timbul, baik dari pengembang maupun dari PLN, tentang berapa sebenarnya kapasitas PLTS yang mampu terpasang atau terinterkoneksi di jaringan kelistrikan Jamali. Hal ini bahkan telah menjadi bahan perdebatan di banyak forum yang berhubungan dengan pengembangan energi surya.

Di dalam operasionalnya sehari-hari, jaringan kelistrikan Jamali ini paling banyak disuplai oleh listrik yang dibangkitkan dari batubara. Dominasi PLT batubara ini bahkan mencapai lebih dari 75% dari total energi listrik yang masuk ke jaringan. Hal ini tentu saja berakibat pada semakin tingginya emisi yang dihasilkan oleh sektor kelistrikan yang diakibatkan pembakaran bahan bakar fosil, khususnya batubara.

Apakah kemudian pembangkit listrik batubara ini bisa digantikan dengan jenis pembangkit yang lebih bersih dan ramah lingkungan, khususnya energi terbarukan? Jawabannya bisa. Tapi jenis energi terbarukan apa dan berapa kapasitasnya akan menjadi pertanyaan kemudian, mengingat di daerah Jawa-Madura-Bali juga mempunyai beragam jenis sumberdaya energi terbarukan.

Salah satu sumber daya energi terbarukan yang kemudian menjadi andalan bagi Indonesia adalah tenaga surya, yang secara teoritis akan lebih mudah diimplementasikan dibanding dengan geothermal, hidro, dan biomassa. Surya hanya membutuhkan sumber energi matahari dan peralatan untuk melakukan tranformasi dari energi cahaya menjadi listrik, yaitu panel surya atau biasa disebut PV (photovoltaic).

Secara teoritis, Indonesia yang kaya akan energi surya seharusnya sanggup untuk membangun pembangkit surya skala besar yang terintegrasi dengan jaringan listrik nasional. Ternyata hal ini tidak semudah itu.

Intermitensi PLTS

Energi surya mempunyai kelemahan mendasar, justru karena mengandalkan sinar matahari yang tidak setiap saat bersinar. PLTS bahkan akan sangat berkurang produksi listriknya saat hari mendung atau hujan. Dan PLTS juga akan bervariasi produksi listriknya yang didapat dari radiasi matahari dari satu tempat ke tempat lain. Tiap daerah mempunya iklim mikro atau micro climate yang berbeda.

Produksi listrik PLTS di Bandung dan Bogor pasti akan berbeda dengan PLTS yang diletakkan di Bekasi atau Pantura. Di setiap lokasi iradiasi atau radiasi matahari yang diterima oleh PLTS akan bergantung pada suhu, kelembaban, banyak sedikitnya awan dan mendung, juga jumlah hari hujan. Produksi listrik PLTS akan menjadi tidak kontinyu atau terputus-putus apabila ada gangguan cuaca atau iklim. Inilah yang disebut intermitensi.

Intermitensi atau terputus-putusnya produksi listrik PLTS yang tergantung dari iklim mikro dan kuat penyinaran atau iradiasi di setiap lokasi pembangkitan inilah yang kemudian menjadikan PLTS tidak bisa serta merta dikoneksikan ke jaringan. Dikhawatirkan pasokan listrik yang terputus-putus ini, kalau dalam skala besar, akan mengganggu keandalan jaringan, bahkan akan bisa menyebabkan gagalnya jaringan menyuplai listrik ke pelanggan.

Karena itu banyak pihak yang mengkhawatirkan PLTS skala besar untuk masuk ke jaringan kelistrikan nasional justru karena sifat intermitensinya yang akan membutuhkan pasokan cadangan pembangkit listrik jenis lain. Sementara pendapat itu tidak pernah dibuktikan dengan analisis dan perhitungan yang berdasar pengetahuan, sampai berapa besar kapasitas pembangkitan yang akan bisa terkoneksi dengan jaringan kelistrikan.

perlu dibaca : Bagaimana Perkembangan Pemanfataan Energi Surya Atap?

 

Instalasi panel surya di AEON mall Jakarta Timur. Foto : Dicky Edwin Hindarto

 

AESI Melakukan Terobosan

Asosiasi Energi Surya Indonesia atau AESI, sebagai wadah terbesar para praktisi dan pengusaha kelistrikan di bidang energi surya, telah mencoba untuk melakukan terobosan dengan melakukan pengukuran, analisis, dan perhitungan, terkait berapa besar kapasitas PLTS yang akan bisa terkoneksi dengan jaringan kelistrikan Jamali.

AESI melakukan inisiasi pertama kalinya dalam sejarah Indonesia sebagai organisasi yang melakukan studi yang bertujuan untuk mengetahui kapasitas PLTS yang dimungkinan untuk interkoneksi di grid Jamali (hosting capacity) dengan mempertimbangkan intermitensi serta ketahanan sistem. Dalam pengukuran dan analisis ini, AESI bekerja sama dengan PT Synkrona Enjiniring Nusantara, sebuah perusahaan konsultan yang berfokus di bidang renewable energy dan jasa enjiniring, yang merupakan bagian dari Syntek Energy and Control.

Analisis dari besaran kapasitas PLTS yang mampu untuk terkoneksi dan diserap oleh sistem jaringan kelistrikan Jamali ini dengan mempertimbangkan juga iradiasi atau pancaran radiasi matahari dan efisiensi dari PLTS.

Yang lebih menarik lagi adalah AESI melakukan upaya pengukuran iradiasi di enam titik lokasi sebagai dasar dari pembangunan PLTS skala besar. Selama ini pengembang PLTS di Indonesia selalu menggunakan data iradiasi dari meteonorm, suatu basis data radiasi per wilayah di Indonesia yang didasarkan pada permodelan dari pengukuran tiap 30 menit yang didapat di stasiun BMKG terdekat. Dengan kata lain, tidak ada pengembang di Indonesia yang mendasarkan pembangunan PLTS-nya dari data primer, karena memang data tersebut belum pernah dimiliki dan diukur di Indonesia.

baca juga : Industri Listrik Surya Bisa jadi Solusi Pemulihan Pasca Pandemi

Alat ukur iradiasi sinar matahari yang dipasang di Yogyakarta. Foto : AESI/PT Synkrona Enjiniring Nusantara

 

Sebagai negara besar di iklim tropis yang kaya cahaya matahari, Indonesia belum pernah memiliki data primer iradiasi yang diukur secara cermat di dalam rentang waktu selama minimal satu tahun. Data ini sebenarnya sangat penting untuk dimiliki daripada data yang berdasarkan proyeksi dan permodelan.

Data iradiasi per wilayah ini sangat dibutuhkan oleh Indonesia apabila ada rencana untuk peningkatan peran PLTS di dalam grid atau jaringan kelistrikan. Data iradiasi berdasar permodelan akan sangat rentan untuk meleset dan tidak akurat karena karakteristik iklim dan cuaca di Indonesia yang sering berubah. Di dalam pengukuran di rentang waktu 30 menit pun kondisi cuaca dan “faktor langit” bisa berubah dengan sangat drastis, dan apabila tidak diperhitungkan dengan baik akan menambah faktor risiko intermitensi maupun besarnya investasi yang kan dibangun.

Karena itu, upaya AESI juga menjadi sangat penting untuk dilakukan. Data yang kemudian akan diukur dan dikumpulkan akan menjadi milik bersama para pengembang PLTS dan pemerintah Indonesia.

perlu dibaca : Kajian: Regulasi Belum Ramah Pengembangan Pembangkit Surya

 

Alat ukur iradiasi sinar matahari yang dipasang di Denpasar, Bali. Foto : AESI/PT Synkrona Enjiniring Nusantara

 

Pengukuran Iradiasi Matahari

AESI telah mencoba melakukan pengukuran dengan peralatan ukur berstandar internasional yang dirancang dan diproduksi oleh anggota AESI dan Synkrona. Pengukuran ini menggunakan alat ukur dengan komponen utama pyranometer yang dirangkai dengan mini PC, sehingga mampu untuk merekam secara mandiri dan terus menerus.

Enam titik lokasi yang kemudian dilakukan pengukuran adalah di Surabaya, Denpasar, Yogyakarta, Kendal, Cikarang, dan Bojonegoro. Di enam lokasi ini kemudian AESI meletakkan alatnya, dan kemudian memantau hasilnya secara jarak jauh atau remote.

Hasil dari pengukuran di 6 titik wilayah ini terlihat keragaman variasi dari iradiasi yang kemudian mendukung teori bahwa intermitensi dari PLTS akan tinggi apabila dikoneksi di grid atau jaringan kelistrikan Jamali.

 

Hasil pengukuran iradiasi di enam lokasi pada hari yang sama yang memperlihatkan perbedaan yang sangat signifikan. Sumber : AESI/PT Synkrona Enjiniring Nusantara

 

Secara teoritis yang kemudian ditunjang hasil pengukuran sementara, didapatkan kesimpulan bahwa sebuah lokasi dapat memiliki intermitensi sampai 100% dari satu menit ke menit berikutnya dalam satu tahun. Sedangkan bila ada 100 lokasi PLTS yang terkoneksi di jaringan, maka agregat intermitensi dari menit ke menit tidak akan melebihi 15%. Dengan kata lain, apabila semakin banyak PLTS yang terkoneksi ke jaringan kelistrikan, maka jaringan tersebut akan semakin kecil mengalami risiko intermitensi.

Nilai persentase intermitensi akan berpengaruh kepada hosting capacity nantinya. Semakin kecil nilai intermitensinya, maka akan semakin besar hosting capacity-nya. Jika ditelaah lebih dalam, intermitensi 15% hanya terjadi 1 kali dalam setahun. Agar nilai hosting capacity bisa diperbesar, nilai intermitensi ditelaah lebih dalam secara statistik. Sehingga, didapatkan bahwa intermitensi yang digunakan cukup 5% karena intermitensi di atas itu relatif jarang terjadi.

Dengan alasan ini maka AESI percaya bahwa secara ideal 100 lokasi PLTS yang tersambung ke jaringan akan menjadi solusi ke depan dalam menggantikan pembangkit batubara di jaringan yang sama.

baca juga : Perusahaan-perusahaan di Jakarta Ini Pasang Listrik Surya Atap

 

Iradiasi rata-rata pada enam lokasi pengukuran. Sumber : AESI/PT Synkrona Enjiniring Nusantara

 

Analisis Stiffness Jaringan Kelistrikan

Nilai stiffness atau kekuatan jaringan merupakan nilai perubahan beban terhadap frekuensi yang didapatkan secara empiris dari kejadian gangguan setiap tahunnya. Pada tahun 2015, nilai stiffness sistem jaringan kelistrikan Jamali telah mencapai 917 MW/Hz, yang berarti perubahan beban sebesar 917 MW akan menyebabkan perubahan frekwensi sebesar 1 Hz. Secara terpisah, pada tahun 2020 PLN menyatakan bahwa nilai stiffness mereka sebenarnya sudah mencapai 1200 MW, tapi AESI belum menemukan analisis dan perhitungan ilmiah yang mendukung pernyataan ini.

Berdasarkan nilai stiffness dan intermitensi yang diijinkan (sebesar 5%), maka AESI melakukan permodelan untuk menghitung hosting capacity atau kapasitas maksimal PLTS yang kemudian bisa diinterkoneksi ke jaringan. Di dalam perhitungan yang dilakukan para pakar AESI, maka didapat nilai hosting capacity untuk sistem jaringan Jamali adalah sebesar 18,34 GW.

Artinya kapasitas PLTS yang kemudian bisa dilakukan interkoneksi dengan jaringan kelistrikan Jamali adalah sebesar 18,34 GW dengan toleransi perubahan frekwensi sebesar 1 Hz atau setara dengan perubahan beban sebesar 917 MW. Artinya juga apabila kapasitas yang terpasang di jaringan kurang dari 18,34 GW, maka intermitensi akan kurang dari 5% dengan perubahan frekwensi yang juga kurang dari 1Hz.

Angka ini memberi keleluasan bagi para pengembang dan juga PLN untuk melakukan interkoneksi PLTS ke jaringan sampai dengan angka yang diizinkan.

 

Intermitensi akan berkurang bila lebih banyak PLTS yang terinterkoneksi dengan jaringan. Sumber : AESI/PT Synkrona Enjiniring Nusantara

 

Analisis Hasil Pengukuran Iradiasi Matahari

Hasil sementara pengukuran iradiasi yang dilakukan selama kurang lebih satu bulan terakhir oleh AESI menunjukkan bahwa pola radiasi yang terjadi di 6 lokasi itu sangat bervariasi. Artinya apabila ada pengembang dan investor yang akan melakukan investasi dan pembangunan PLTS di lokasi yang berbeda dengan kapasitas yang sama juga akan mendapatkan hasil yang berbeda karena iradiasi atau kuat penyinaran yang berbeda di setiap lokasi yang berbeda.

Hal ini tentu saja akan menyebabkan peningkatan risiko bagi para investor jika tidak memiliki data iradiasi setempat. Semakin banyak pengukuran, maka semakin kecil risiko dari investasi karena data iradiasi yang dibutuhkan untuk menghitung produksi listrik per tahun dapat dihitung dengan akurasi yang lebih tinggi.

Untuk itu AESI merencanakan menambah jumlah titik pengukuran iradiasi di Pulau Jawa, Madura dan Bali. Penambahan titik ukur yang menghasilkan data pengukuran primer untuk iradiasi ini kemudian akan bisa dimanfaatkan guna mendorong investasi PLTS yang terinterkoneksi dengan jaringan di masa depan.

AESI merencanakan untuk menambah jumlah titik pengkuran sampai dengan minimal 100 titik atau lokasi. Ke depan hasil pengukuran ini diharapkan akan menjadi satu revolusi didalam model perhitungan pembangkitan PLTS, sehingga pada akhirnya juga akan meningkatkan bauran energi di dalam jaringan kelistrikan Jamali dan nasional.

 

Petugas yang sedang memonitor panel-panel surya di PLTS Oelpuah. PLTS ini terbesar di Indonesia. Foto: Palce Amalo

 

Langkah Berikutnya

Hasil awal dari analisis yang dilakukan AESI menunjukkan bahwa dengan pola PLTS tersebar akan menurunkan intemitensi agregat, sehingga secara teoritis di sistem Jamali, dapat terhubung tidak kurang dari 18 GWp PLTS, tersebar di 100 lokasi. Hasil tersebut memberikan harapan bagi pengembangan PLTS lebih agresif di sistem Jamali.

PLTS dan jenis energi terbarukan lainnya mempunyai potensi besar di dalam menggeser dominasi PLTU batubara di jaringan kelistrikan Jamali dan berbagai jaringan kelistrikan lain di Indonesia. PLTS juga kemudian diharapkan bisa diimplementasikan bukan saja sebagai pembangkit listrik yang mandiri, tetapi juga di berbagai industri, fasilitas dan infrastruktur masyarakat, maupun di rumah-rumah penduduk, baik sebagai pembangkit listrik yang terkoneksi dengan PLN maupun pembangkit mandiri untuk memenuhi kebutuhan energi.

Namun demikian, AESI menyadari jika target untuk membangun PLTS berskala besar yang terinterkoneksi dengan jaringan kelistrikan tidak akan bisa tercapai apabila hanya bekerja sendirian. Dibutuhkan kerjasama di antara semua pelaku energi terbarukan, PLN, universitas, dan pemerintah, untuk mewujudkan target bersama tersebut.

Ke depan AESI akan selalu melibatkan semua parapihak terkait untuk mendorong pencapaian target pembangunan PLTS di Indonesia. Dan AESI mengharapkan keberlanjutan dari semua upaya yang telah dicoba dirintis di sistem jaringan kelistrikan Jamali ini kemudian menjadi suatu kegiatan nasional.

 

*Dicky Edwin Hindarto, Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau, Pemerhati Masalah Energi, serta anggota Dewan Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI). Tulisan ini adalah hasil analisis dan riset dari Tim Pakar AESI

 

Exit mobile version