Mongabay.co.id

Masa Depan Perikanan Dunia adalah Nelayan Skala Kecil

 

Perikanan skala kecil diyakini akan bisa menjadi kekuatan utama sektor perikanan di Indonesia pada masa yang akan datang. Kekuatan nelayan kecil dan tradisional itu prosentasenya diprediksi bisa mencapai 90 persen, atau sama dengan prosentase yang saat ini ada.

Potensi yang besar tersebut, harus bisa dimanfaatkan dengan baik untuk pengembangan sektor perikanan yang selama ini banyak bergantung pada perikanan skala besar yang dipelopori oleh para pengusaha dengan modal yang besar.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PDSPKP KKP) Artati Widiarti mengatakan bahwa perikanan skala kecil yang dimaksud, selama ini banyak berasal dari subsektor perikanan tangkap.

Namun menurutnya, potensi di masa mendatang yang bisa dikembangkan tidak hanya berasal dari subsektor tersebut. Melainkan, juga berasal dari subsektor perikanan budi daya yang oleh Presiden RI Joko Widodo sudah ditetapkan sebagai prioritas ekonomi nasional sejak 2019 lalu.

baca : Memetakan Potensi Perikanan Budi daya untuk 2021

 

Nelayan mengemudikan perahu tradisional menuju saung yang digunakan untuk menjemur udang rebon di Desa Prapat Tunggal, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dengan semua potensi yang sudah dimiliki Indonesia sekarang dan yang akan datang, maka dinilai perlu untuk membahasnya di level dunia tentang bagaimana pengembangan biar lebih baik lagi. Hal itu bertujuan agar penguatan usaha perikanan skala kecil bisa lebih kokoh lagi.

“Agar bisa lebih maju, mandiri, dan berkelanjutan. Mengingat, potensi sumber daya ikan Indonesia yang luar biasa,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Dia mengatakan, kampanye penguatan sektor perikanan di Indonesia harus diketahui oleh dunia dengan berbagai cara. Salah satunya, melalui sidang dua tahunan Committee on Fisheries (COFI) yang ke-34 yang dilaksanakan oleh Organisasi Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Pada sidang tersebut, kode etik untuk perikanan yang bertanggung jawab (code of conduct for responsible fisheries (CCRF) kembali dibahas sebagai bentuk peringatan ke-25 sejak diluncurkan pertama kali pada 1995 silam.

CCRF yang berbentuk buku panduan, diterbitkan oleh FAO sebagai upaya menghadapi tantangan perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta praktik pemanfaataan wilayah laut, perairan darat dan pesisir yang ilegal, dan tidak sesuai aturan.

Selain membahas CCRF, negara COFI yag hadir dalam sidang tersebut juga menyatakan siap mengadopsi deklarasi untuk perikanan tangkap dan budi daya yang berkelanjutan (declaration for sustainable fisheries and aquaculture).

Bagi Indonesia, adopsi deklarasi tersebut juga menjadi momen yang bagus, karena diharapkan bisa mendukung pencapaian dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dan gizi yang berkelanjutan dari sektor perikanan.

baca juga : Catatan Akhir Tahun : Perikanan Berkelanjutan, Bukan Lagi Syarat, Tapi Kebutuhan untuk Industri Perikanan

 

Ilustrasi. Aktivitas nelayan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Komitmen Bersama

Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu mengatakan bahwa pertemuan negara anggota FAO menjadi momen bersejarah, karena bisa menjadi tonggak untuk memikirkan dan mendesain ulang setiap kegiatan dan aksi yang dilaksanakan sesuai dengan cita-cita pembentukan FAO.

Tak hanya itu, pertemuan tersebut menjadi bersejarah, karena penguatan negara COFI juga semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perkumpulan negara COFI juga menjadi satu-satunya forum antar bangsa di dunia yang fokus membahas dan menyelesaikan isu dan permasalahan perikanan tangkap dan budi daya.

Dalam perjalanannya, COFI dibentuk untuk membahas dan menyelesaikan isu, seperti kondisi perikanan tangkap dan budi daya sekarang, perubahan iklim, perikanan skala kecil, dan juga penangkapan ikan secara ilegal yang belum bisa berhenti.

“Juga menyoroti hubungan penting antara ikan, masyarakat, dan kebudayaan,” pungkas dia.

Sebagai bagian dari forum penting tersebut, Indonesia mewakilkan kehadirannya kepada pejabat dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves).

Kehadiran Indonesia pada forum tersebut, tidak lain agar perikanan dunia, termasuk perikanan Indonesia bisa tetap berjalan dengan mendapatkan banyak manfaat untuk ekonomi. Namun di saat yang sama, keberlanjutan bisa tetap dijaga untuk kelestarian ekosistem laut dan pesisir.

perlu dibaca : Perikanan Berkelanjutan untuk Masa Depan Laut Dunia

 

Hamdani, kepala bagian pembesaran PT Bali Barramundi, Buleleng, Bali pada Kamis (10/5/2018) memberikan pakan pada ikan budi daya di keramba. Perusahaan itu telah menerapkan prinsip Seafood Savers untuk perikanan berkelanjutan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Atas dasar pertimbangan untuk kelestarian ekosistem dan pemanfaatan ekonomi, Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Regulasi tersebut selanjutan disiapkan peraturan turunannya oleh KKP.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, kehadiran PP 27/2021 menjadi angin segar untuk sektor kelautan dan perikanan yang saat ini sedang berjuang untuk bisa pulih setelah dihantam pandemi COVID-19.

Regulasi tersebut, bisa menghentikan permasalahan yang ada selama ini yang diakibatkan adanya tumpang tindih peraturan. Tak hanya menghambat investasi, aturan yang tumpang tindih juga membuat tata kelola dan kehidupan di sekitar kawasan perairan menjadi tidak maksimal.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP TB Haeru Rahayu mengatakan, peraturan turunan PP 27/2021 saat ini masih dalam tahap pembahasan. Tak hanya satu, namun ada beberapa peraturan turunan yang saat ini sedang disiapkan oleh KKP.

Dengan adanya peraturan turunan, maka nantinya akan bisa dilakukan perubahan status zona inti di kawasan konservasi, kriteria dan persyaratan pendirian penempatan, dan/atau pembongkaran bangunan dan instalasi di laut, serta pengendalian impor komoditas pergaraman.

perlu dibaca : Zonasi Laut, Kunci Mengelola Wilayah Laut Nusantara

 

Sebanyak 75 persen wilayah Sulsel merupakan pesisir dan laut, yang kaya akan sumber daya perikanan dan biodiversitas tinggi yang jika dioptimalkan tata kelolanya, bisa mendorong kemandirian lokal dan kesejahteraan masyarakat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Tumpang Tindih

Selain untuk menghilangkan tumpah tindih peraturan, kehadiran peraturan turunan PP 27/2021 juga menjadi penting, karena itu bisa melindungi sumber daya kelautan dan perikanan seperti peraturan pelarangan merusak terumbu karang demi keberlanjutan dan kelestarian lingkungan ekosistem.

Tentang zona inti di kawasan konservasi yang dapat diubah statusnya, itu dilakukan dengan selalu mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar atau bersifat strategis nasional. Namun, perubahan tersebut tetap harus berpijak pada prinsip keberlanjutan ekosistem dan biota laut.

Dengan kata lain, perubahan zona inti hanya diperbolehkan bagi kegiatan pemanfaatan yang bersifat strategis nasional dan menopang hajat hidup masyarakat. Tak lupa, semua proses tersebut harus senantiasa menjaga kelestarian ekosistem laut dan pesisir.

TB Haeru Rahayu menegaskan bahwa perubahan status zona inti dan kategori kawasan konservasi perairan dilakukan dengan tetap mempertahankan alokasi ruang untuk kawasan konservasi dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).

Selain itu, perubahan juga tetap mempertahankan alokasi ruang untuk rencana zonasi kawasan antar wilayah (RZ KAW), rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu (RZ KSNT), atau pola ruang dalam rencana tata ruang laut/rencana tata ruang wilayah nasional.

“Sesuai dengan komitmen global di Aichi target 11 dan SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB) poin 14, KKP akan tetap menargetkan luas kawasan konservasi seluas 32,5 juta hektar pada tahun 2030,” tegas dia.

 

Maluku Utara, baru saja memiliki tiga kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi ini guna memastikan ekosistem laut terjaga dan sumber laut dapat terkelola berkelanjutan oleh masyarakat, salah satu mencegah pengeboman ikan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dalam melaksanakan proses perubahan zona inti, KKP akan membentuk tim peneliti terpadu yang di dalamnya ada kementerian/lembaga terkait yang mengusulkan proyek strategis nasional (KSPN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), perguruan tinggi, dan pemerintah daerah.

Selain itu ada juga lembaga swadaya masyarakat, lembaga masyarakat, dan masyarakat yang ada di sekitar kawasan konservasi perairan. Mereka yang terlibat semua bertugas untuk menyampaikan rekomendasi perubahan status zona inti dan/atau kategori kawasan konservasi kepada Menteri KP.

“Tim peneliti terpadu akan melakukan kajian dan melaksanakan konsultasi publik. Hasil rekomendasi tim peneliti terpadu menjadi dasar bagi Menteri untuk menetapkan kembali status perubahan zona inti dan/atau kategori kawasan konservasi,” pungkas dia.

 

Exit mobile version