Mongabay.co.id

Merangkul Limbah Abu, Menjauhi Energi Hijau

Keputusan Presiden Jokowi untuk meneken PP No 22/2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memunculkan kontroversi. Peraturan yang menjadi turunan dari UU Cipta Kerja No 11/2020 ini mengatur pengecualian terkait limbah batu bara dari kategori limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Padahal, PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun sebelumnya menyebutkan bahwa limbah batu bara termasuk dalam kategori limbah B3.

Hal ini sontak membuat pemerhati lingkungan mengambil posisi kontra. Sebab, beberapa penelitian menyebutkan bahwa limbah batu bara adalah sesuatu berbahaya bagi kesehatan dan mengancam lingkungan hidup.

Fly Ash (abu terbang sisa pembakaran) dan Bottom Ash (Abu padat yang tidak terbakar) yang dalam aturan terbaru tidak dikategorikan sebagai limbah B3, adalah limbah padat hasil dari pembakaran batu bara pada pembangkit tenaga listrik.

Laporan berjudul Ash in Lungs: How Breathing Coal Ash is Hazardous to Your Health (2014) dari lembaga Physicians for Social Responsibility and Earthjustice menjelaskan bahwa komposisi abu bisa menjadi sangat bervariasi tergantung pada jenis dan cara pembakaran batu bara.

Disimpulkan bahwa semua Fly Ash yang dihasilkan mengandung sejumlah besar senyawa kimia berjenis Silika. Silika ini kemudian yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru yang melumpuhkan dan pada beberapa kondisi bisa sampai ke tahap yang fatal. Di Indonesia sendiri, laporan berjudul Kita, Batu bara & Polusi Udara (2015) dari tim peneliti Harvard dan Greenpeace Indonesia menguak fakta yang menyedihkan.

Hasil penelitian mengungkap angka estimasi kematian dini akibat PLTU Batu bara yang saat ini sudah beroperasi, mencapai angka sekitar 6.500 jiwa/tahun. Sebab, PLTU melepaskan jutaan ton polutan beracun seperti merkuri, timbal dan arsenik setiap tahunnya sehingga berperan dalam memperburuk kualitas udara.

Baca juga: UU Cipta Kerja, Revisi UU Minerba, dan Terbukanya Gerbang Krisis Iklim

 

Batubara, pembakaran batubara menjadi masalah bagi iklim. Foto: Hendar/Mongabay Indonesia

 

 

Agenda Besar Industri Batu Bara

Terlepas dari fakta ini, Kementerian LHK tidak bergeming atas kritikan masyarakat dan justru mengklaim bahwa keputusan ini pun lahir berdasarkan kajian ilmiah. Tapi, bisa dimaklumi teguh pendirian pemerintah jika melihat latar belakang motif ekonomi dan lobi politik yang tidak sembarangan.

Berdasarkan laporan Tempo, saya mendapati paling tidak ada dua kepentingan besar yang bertemu dibalik lahirnya keputusan ini.

Pertama, datang dari Deputi Lingkungan Hidup Kementerian Maritim dan Investasi yang aktif mendorong pengecualian limbah batu bara sejak tahun lalu agar mempermudah ruang pemanfaatan limbah. Argumentasinya, limbah padat batu bara dapat digunakan pada industri semen dan batako.

Hal ini lalu disambut oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang juga turut aktif sejak setengah tahun lalu memperjuangkan lahirnya kebijakan yang serupa. Sebab dengan potensi limbah yang mencapai 10-15 juta ton per tahun, pengecualian sebagai limbah yang tidak beracun, akan memangkas jalur regulasi menjadi lebih longgar.

Selama ini, persentase pemanfaatan limbah ini maksimal hanya sekitar 2 %, mengingat ketatnya aspek prosedural.

Kedua, datang dari Penasihat Khusus Menteri Kemaritiman dan Investasi. Biaya pengelolaan limbah batu bara yang diklaim cukup besar membuat peraturan ini diperlukan dalam rangka efisiensi anggaran. Maka jika dicermati, kebijakan ini cenderung menguntungkan industri batubara yang notabene memang menjadi tiang penyangga perekonomian negara.

Tatkala sektor lain lesu akibat pandemi, industri batu bara justru bekerja diatas target. Dilaporkan oleh Kementerian ESDM, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara mencapai angka Rp 34,6 triliun (110% lebih dari target Rp 31,41 triliun) dan produksi batu bara mencapai 558 juta ton (101,4% lebih dari target 550 juta ton).

Melonggarkan peraturan terkait batu bara juga rasanya sejalan dengan agenda besar pemerintah jika merujuk pada dokumen terakhir Rencana Usaha Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN periode 2019-2028.

Sampai tahun 2028 nanti, 54,4% pasokan listrik Indonesia masih didominasi pembangkit listrik tenaga batubara. Angka ini jauh lebih besar daripada sumber energi lain, seperti energi baru terbarukan (EBT) yang hanya sebesar 23%.

Bahkan, menurut analisis Greenpeace Indonesia, tambahan energi sebanyak 56,39GW sampai pada tahun 2028 mayoritas akan dipenuhi dari proyek PLTU sebanyak 27.063MW. Artinya 48% pertambahan energi listrik masih akan diraih dari PLTU Batubara.

Baca juga: Jawa Terus Bangun PLTU, Tersandera Pembangkit Batubara?

 

Penggembala dengan latar belakang PLTU Jepara, Jawa Tengah. Foto: Kemal Jufri/Greenpeace.

 

Ancaman Bagi Energi Hijau

Sejumlah insentif bagi industri ini justru semakin menguatkan posisi tawar batu bara di Indonesia. Imbasnya, keinginan untuk melakukan transisi ke jenis energi “hijau” adalah sesuatu yang nampaknya naif.

Ini sebenarnya ironi, mengingat Indonesia sudah berkomitmen pada energi yang ramah lingkungan lewat meratifikasi perjanjian Paris pada UU Nomor 16 Tahun 2016. Komitmen ini diwujudkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pertama.

Dalam NDC,  pemerintah Indonesia sadar bahwa emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor energi pada tahun 2030 akan meningkat hampir empat kali lipat dibanding dengan emisi GRK tahun 2010.

Peningkatan itu didominasi oleh sektor energi dengan pangsa 60% dari total emisi GRK. Maka, upaya pengembangan energi ramah lingkungan seharusnya menjadi agenda utama. Namun sampai pada tahun 2019, porsi EBT dalam bauran energi nasional hanya mencapai angka 12,36%.

Ini masih sangat jauh dari target 23% pada tahun 2025 yang sudah ditetapkan pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Jika hendak dibandingkan, sudah banyak negara lain yang memilih untuk meninggalkan energi fosil secara keseluruhan.

Dalam dokumen dari Danish Energy Agency (2020), Denmark bahkan sudah memenuhi 50 persen pasokan listriknya saat ini dari tenaga angin dan berencana untuk menggunakan Green Energy sepenuhnya pada tahun 2030.

Indonesia sebenarnya punya peluang yang lebih besar. Sebab berdasarkan perhitungan, potensi Energi Baru Terbaruka (EBT) Indonesia sebenarnya mencapai angka 442GW. Menjadi miris sebab pemanfaatan pada sektor ini baru sekitar 2,5%.

Target pemanfaatan energi ramah lingkungan yang sulit tercapai punya banyak halangan. Tapi soal utamanya terletak pada sektor EBT yang belum dianggap sebagai prioritas.

Argumen ini diletakkan pada kondisi dimana payung hukum yang menaungi EBT masih minim. UU EBT yang dicanangkan belum juga rampung, sedangkan Perpres terkait tarif listrik EBT hingga kini belum mendapat paraf Presiden.

Yang paling berat, nilai proyek dari pembangkit energi terbarukan juga dianggap lebih mahal secara ekonomis dari energi fosil seperti batu bara. Dalam konteks ini, subsidi energi yang dikucurkan pemerintah selama ini sebagian besar dinikmati oleh industri batu bara.

Pada sektor EBT, kemudahan yang diberikan kuantitasnya masih cukup minim. Padahal, Kementerian ESDM sendiri mengakui butuh investasi hingga ratusan milliar untuk mencapai target ini dalam 4 tahun kedepan.

Maka bisa disimpulkan, insentif bertubi-tubi yang diberikan kepada industri batu bara hanya akan membuat transisi ke arah energi berkelanjutan berjalan semakin jauh.

 

* Irsyad Madjid, penulis adalah  Aktivis Kader Hijau Muhammadiyah (KHM). Artikel ini adalah opini penulis

 

***

Foto utama: Pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di kota Cilegon, Indonesia. Foto: Ulet Ifansasti/ Greenpeace.

 

 

Exit mobile version