Mongabay.co.id

Dedikasi Luar Biasa Jamartin Sihite untuk Kehidupan Orangutan Kalimantan

 

 

Selalu enggan disebut tokoh inspiratif, laki-laki ini lebih nyaman dikenal sebagai manusia penjaga hutan. Masa lalunya sebagai dosen, rela dia tinggalkan demi mengurus satwa langka seperti komodo dan orangutan. Dia adalah Jamartin Sihite, CEO Borneo Orangutan Survival Foundation [BOSF].

Laki-laki berdarah Batak ini masih sibuk mengurus orangutan. Dia kerap pulang pergi Bogor – Kalimantan [Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah] untuk kegiatan pelepasliaran. Berawal dari rasa kasihannya melihat orangutan yatim piatu yang masih bayi, Jamartin terpanggil menyelamatkan primata yang memiliki DNA mendekati manusia itu.

“Saya lebih nyaman berada di jalan sepi. Senyap tak terlihat, tapi selamat. Selamat yang saya maksud adalah hutan yang selamat dan manusia yang juga ikut selamat,” kata dia, Sabtu [27/3/2021].

Bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Jamartin dianggap terlalu berisiko. Dia kerap mendapat sarah bahkan kritik untuk mencari pekerjaan lain. Namun, bukan itu yang dia cari. Menjaga hutan dan menyelamatkan orangutan untuk kehidupan manusia adalah alasan utamanya. Sebab, tanpa hutan, manusia tak lagi dapat bernapas seperti saat ini, menghirup udara bersih.

“Mungkin masih banyak yang belum sadar, betapa kita membutuhkan hutan. Setiap orang memiliki sudut pandang berbeda, bagi yang tahu dan mampu mari kita jaga bersama,” imbuhnya.

Baca: Fokus Cegah Corona, Pusat Rehabilitasi Orangutan BOSF Ditutup Sementara

 

Jamartin Sihite yang mendidikasikan hidupnya untuk penyelamatan orangutan kalimantan. Foto: Dok. Jamartin Sihite/BOSF

 

Sejatinya, Jamartin terlahir dari keluarga agamis. Bapak dan ibunya pendeta. Jamartin sadar betul, betapa sang bapak ingin melihatnya menjadi tokoh agama juga. Namun, bagi Jamartin, jalan menuju surga tidak hanya melalui pelayanan di rumah ibadah saja. Masih banyak jalan kebaikan yang bisa dia lakukan dan bermanfaat untuk orang banyak, salah satunya, menjadi penyelamat satwa langka.

“Menjaga hutan dan menyelamatkan satwa langka adalah ungkapan sekaligus ucapan terima kasih saya kepada Tuhan. Buat saya, pekerjaan ini sangat mulia. Jangan pikir kita bisa terkenal, jika memutuskan mengambil langkah ini,” ujarnya lelaki kelahiran Siantar, 21 Agustus 1965.

Sejak mengabdikan diri untuk penyelamatan orangutan kalimantan, bapak tiga anak ini terus berupaya mengajak semua orang untuk menjaga hutan.

“Beberapa orang pernah bertanya, kenapa saya meminjam hutan kecil pada pengusaha sawit. Saya jawab, saya tidak peduli dengan masa lalu orang. Yang saya butuhkan adalah hutan, untuk pelepasliaran orangutan. Dengan memberi hutan pada orangutan, itu akan menjadi kebaikan besar untuk setiap manusia,” ungkapnya.

Baca: Bukan Pulau Buatan, Alba Dilepaskan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya

 

Perjalanan menuju lokasi pelepasliaran orangutan tidak mudah. Terkadang harus memalui jalur air, yang sebelumnya harus melewati medan berat di darat. Foto: Dok. Jamartin Sihite/BOSF

 

Pernah stroke

Selama menjabat CEO Yayasan BOS, Jamartin pernah mengalami stroke. Nyaris lumpuh dan tidak bisa bicara. “Saya berusaha sembuh dengan semangat keluarga, terutama istri dan anak-anak. Saya sembuh dan artinya Tuhan masih percaya saya mengurus orangutan,” ungkapnya.

Setelah sembuh total, Jamartin kembali menyusuri hutan jalan kaki. Dia juga kerap ikut melakukan pelepasliaran orangutan.

“Impian saya, semua kandang di BOSF kosong dan kita hancurkan. Saya mau semua penghuninya bebas di alam liar. Karena rumah orangutan yang hutan, bukan kandang di pusat penyelamatan,” katanya.

Saat ini, BOSF mengalami krisis pasca-pandemi COVID-19. Jamartin pernah memutuskan menjual aset jika kebutuhan orangutan tidak tercukupi. Dia bahkan menutup sementara pusat rehabilitasi orangutan BOSF satu tahun dari pihak luar. Alasannya, jangan ada orangutan tertular corona dari manusia.

Penjagaan super ketat juga dilakukan di dalam pusat rehabilitasi. Semua perawat orangutan wajib steril dan harus memeriksakan suhu tubuh setiap akan bersentuhan dengan orangutan. Jika ada pekerja yang sakit flu, diwajibkan istirahat di rumah sampai dinyatakan benar-benar sembuh.

“BOSF mengurus lebih 425 orangutan di 2 pusat rehabilitasi. Kemiripan DNA orangutan dengan manusia sekitar 97% membuat orangutan rentan terinfeksi virus corona. Kami tetap berjuang untuk orangutan dan tidak meninggalkan mereka. Karena itu, mencegah lebih baik ketimbang mengobati,” katanya.

Baca: Seperti Kita, Alba Juga Rindu Kampung Halaman

 

Jamartin selalu turun langsung ke lokasi pelepasliaran orangutan. Foto: Indrayana/BOSF 2017

 

Hutan menipis

Sebelum memutuskan bergabung BOSF, Jamartin lebih dulu berada di Pulau Komodo. Fokus menjaga Komodo. Dia juga pernah bergabung bersama The Nature Conservancy [TNC]. Puluhan tahun lalu lalang di dunia konservasi, hati Jamartin pun tertambat pada orangutan, meski kejadiannya tidak sengaja.

“Waktu itu saya gendong bayi orangutan yatim piatu di Sumatera. Tidak sengaja, kami bertatapan mata, hati saya langsung meringis. Seperti apa satwa ini jika dilepas sendirian ke hutan? Bagaimana dia bisa bertahan melawan pemangsa. Nyaris saya menangis, kemudian saya berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk dia.”

Tak berselang lama, Jamartin mendapat tawaran memegang kemudi BOSF. Tak banyak alasan, Jamartin langsung mengambil kesempatan itu dan berkantor di Bogor, terhitung Oktober 2010. Di luar dugaan, menjadi CEO ternyata tidak semudah yang dibayangkan orang. Pertama, ia harus memikirkan yayasan dahulu untuk selanjutnya mencari hutan yang bisa dijadikan lokasi pelepasliaran.

Pelepasliaran juga tidak berjalan lancar. Jamartin harus melihat kenyataan, di Kalimantan Timur sudah tidak ada hutan gratis untuk melepasliarkan orangutan. Dia harus menyewa berhektar hutan.

 

Menyelamatkan orangutan berarti menyelamatkan hutan dan menyelamatkan kehidupan manusia. Foto: Dok. Jamartin Sihite

 

Beragam cara dan upaya dia tempuh untuk mendapatkan uang. Dia bahkan harus terbang ke luar negeri untuk meyakinkan setiap orang bahwa nasib orangutan di Kalimantan nyaris punah. Beruntung, ada yang membantu, jadi donor.

“Semula memang sangat berat, tapi kami kerjakan satu-satu. Saya berpesan pada semua teman-teman di BOSF, kita pelan-pelan saja, yang penting usaha dan doa. Setelahnya Tuhan yang atur. Terbukti, kami bisa menyewa satu hutan di pedalaman Kutai Timur, Kalimantan Timur,” ungkapnya.

Hutan tersebut diberi nama Kehje Sewen, seluas 86.450 hektar. Izinnya di tangan PT. Restorasi Habitat Orangutan Indonesia [RHOI], perusahaan yang memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu melalui Restorasi Ekosistem, sejak 21 April 2009. Hutan ini berhak digunakan sebagai area pelepasliaran orangutan selama 60 tahun.

Tidak berhenti sampai di situ, ternyata tidak semua sisi hutan Kehje Sewen dapat dijadikan habitat orangutan. Masalah lain, orangutan di kandang masih banyak. Luasan Kehje Sewen masih kurang. “Kami butuh hutan lagi. Satu orangutan memerlukan 200 hektar untuk bertahan hidup,” terang lelaki bergelar PhD [2004] bidang Environmental Sciences, IPB.

 

Kehidupan orangutan sudah tentu di hutan. Foto: Indrayana/BOSF 2010

 

Penghargaan

Tahun 2019, Jamartin meraih penghargaan ‘Virginia Mckenna Award 2019’ atas dedikasinya merawat dan melepasliarkan orangutan. Jamartin juga kerap menjadi narasumber mahasiswa Institut Pertanian Bogor [IPB] mengenai orangutan.

“Penghargaan tidak bisa diraih sendiri. BOSF sendiri memiliki orang-orang hebat, saya sangat bangga dengan semua pencapaian kawan-kawan. Tidak hanya di Samboja, juga PT. RHOI dan Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah,” ungkapnya.

Saat ini, kata dia, BOSF menggandeng masyarakat Dayak Wehea, melalui program Restorasi Habitat Orangutan [RHO]. Masyarakat Dayak Wehea adalah sub-suku Dayak yang menghuni Kutai Timur, tepatnya di Kecamatan Muara Wahau. Tercatat sekitar 6.000 jiwa Dayak Wehea mendiami 6 desa yaitu Bea Nehas, Diaq Lay, Dea Beq, Nehas Liah Bing, Diaq Leway, dan Long Wehea.

Program itu untuk membantu kesehatan masyarakat, pendidikan formal maupun non-formal khususnya pendidikan tentang lingkungan, pengembangan pendapatan alternatif, serta penguatan kelembagaan adat.

 

Tiada kata lelah bagi Jamartin Sihite untuk menyelamatkan kehidupan orangutan. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Menurut Jamartin, budaya dan tradisi masyarakat adat itu umumnya sangat mendukung prinsip kelestarian alam dan isinya. Tidak terkecuali warga Adat Wehea. Kerusakan alam mulai terjadi saat konsumsi manusia di zaman moderen membesar secara eksponensial, dan perkembangan industri kerap melupakan keseimbangan sumber daya alam.

“Melalui Program RHO, kami mendukung upaya peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat Dayak Wehea di sekitar wilayah kerja kami,” ujarnya.

BOSF juga turut memperkenalkan budaya Dayak Wehea dalam berbagai kegiatan, seperti pameran hasil kerajinan tangan, pertunjukan tari, dan musik khas.

“Keselarasan Dayak Wehea menjaga alam sangat menginspirasi kami. Semangat itu pula yang membuat impian saya perlahan terwujud. Saya ingin, semua orangutan kembali ke rumahnya, hutan. Jika pun ada orangutan yang sudah tidak bisa dilepasliarkan, saya ingin mereka tetap dekat dengan alam, atau hidup di hutan kecil berbentuk pulau,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version