Mongabay.co.id

Leworook, Kopi Warisan Leluhur Flores Timur

 

Di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), kopi merupakan tanaman perkebunan yang hanya ditanam di beberapa daerah saja.

Kopi jenis Arabika (Coffea arabica) maupun Robusta (Coffea canephora) ditanam di Hokeng, Boru dan beberapa wilayah Kecamatan Wulanggitang. Selain itu ditanam di Lite dan beberapa wilayah di Pulau Adonara serta di Leworook, Kecamatan Titehena.

Bagi penikmat kopi, nama Kopi Leworook sudah tidak asing di telinga. Namun dibalik nama tersebut, terselip sebuah perjuangan untuk mengangkat derajat kopi ini biar dikenal dan bernilai jual.

Adalah Yosef  Lawe Oyan, pemuda Kampung Leworook,  Desa Leraboleng, Kecamatan Titehena, yang berhasil mengangkat derajat Kopi Leworok.

Ditemui Mongabay Indonesia, Sabtu (27/3/2021), Yolan sapaannya, bercerita mulai lebih mengenal dan sering minum kopi ketika tinggal di Yogyakarta. Saat pulang kampung, dia melihat banyak tanaman kopi yang tidak terawat. Harganya pun sangat minim, hanya Rp10.000/kg.

Ia berpikir kalau harganya murah, lama-kelamaaan petani tidak menanam dan merawatnya sehingga suatu saat tanaman kopi akan punah.

“Saya berpikir harus mengangkat nama kampung Leworook dengan memperkenalkan kopinya. Saya membangun usaha kopi dengan membuat kemasan sederhana dan menjualnya tahun 2015,” ucapnya.

Leworook merupakan sebuah kampung berketinggian 900 mdpl, berjarak sekitar tiga km sebelah utara jalan negara Trans Flores, Larantuka-Maumere. Lewo artinya kampung sementara Rook merupakan alat dari tabung bambu untuk menghidupkan api.

baca : Uniknya Kopi ala Suku Osing

 

Yosef Lawe Oyan, pemuda yang berhasil mengangkat dan mengenalkan kopi Leworook di Desa Leraboleng, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Bernilai Historis

Dahulu sebelum tahun 1970, masyarakat Leworook hanya mengenal dan menyaksikan kopi di perkebunan kopi Hokeng seluas ratusan hektare milik Keuskupan Larantuka.

Ayah Yolan, Dominikus Kebirung Oyan (58) berceritera para pastor dan biarawan yang mengkonsumsi kopi itu.

“Saat kecil kami melihat para pastor minum kopi di cangkir. Kami bertanya-tanya ini minuman apa yang berwarna hitam seperti oli. Akhirnya kami tahu itu minuman kopi dari kebun di Hokeng,” ucapnya.

Karena ingin mencoba minuman kopi, saat remaja sekitar tahun 1974, Dominikus bersama warga Kampung Leworook berjalan kaki ke Hokeng sejauh 20 km. Tujuannya hanya satu, mengambil anakan kopi di kebun kopi Hokeng.

“Biasanya kami mencabutnya saat hari Sabtu atau Minggu karena pekerja perkebunan tidak ada. Kami mencabutnya sembunyi-sembunyi dan membawa anakan tersebut ke kampong untuk ditanam,” ucapnya. Sekitar 1980 sudah banyak kebun petani di Leworook yang kopinya sudah berbuah.

Nilai sejarah ini coba dipertahankan Yolan lewat budidaya kopi. Ia mengenang betapa sulitnya sang ayah merawat kopi untuk dijual. Meski harga kopi cenderung lebih pahit dari rasa kopi itu sendiri.

Yolan yakin dengan pengolahan yang lebih baik, nilai jual kopi akan meningkat dan generasi muda Leworook akan tertarik membudidayakannya.

“Ketika ada orang membutuhkan banyak kopi maka petani di kampung saya bisa menyediakannya. Saya ingin memakai nama Leworook sebab kampung ini harus dikenal, bukan saya,” ucapnya.

baca juga : Sukses Patola, Ubah Kopi Kampung ke Starbucks

 

Kopi Robusta yang ditanam petani Leworook, Desa Leraboleng, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT yang telah berbuah. Foto : Yosef Lawe Oyan

 

Pahitnya Perjuangan

Memperkenalkan Kopi Leworook tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses dan perjuangan panjang, penuh getir dan kepahitan.

Yolan mengenang ketika kembali ke Flores Timur, ia harus bekerja sebagai tenaga honor di kantor pemerintah. Saat kembali ke kampung Leworook setiap akhir pekan, dia trenyuh melihat kopi yang dijual ibu-ibu tidak laku di pasaran.

Bersama sang isteri, mereka membeli kopi jenis rebusta ini dari petani dan mengolahnya secara tradisional. Kopi digoreng di tembikar dan ditumbuk di lesung lalu diayak dan dimasukan ke dalam plastik transparan. Kemudian dititipkan di kios-kios di Kota Larantuka dan dijual di pasar tradisional.

Orang mulai membandingkan Kopi Leworook dengan kopi produksi pabrik maka harga jualnya lebih mahal.

“Kopi saya kadang sulit terjual tapi kami tetap berusaha. Bahkan kopi yang dititipkan di kios terkadang habis terjual namun uangnya tidak disetor ke kami,” kenangnya.

Tak patah arang, tahun 2018 Yolan memberanikan diri meminjam uang di bank untuk membeli mesin giling dan memperbesar usaha dengan menggunakan kemasan menarik.

Tahun 2019, produknya pun mulai masuk ke minimarket di Kota Larantuka. Dia pun memberanikan diri kembali meminjam uang di koperasi. “Kopi Robusta kemasan 500 gram dijual Rp75 ribu. Sementara kemasan 200 gram Rp25 ribu dan 125 gram dijual Rp20 ribu,” paparnya.

menarik dibaca : Melirik Kopi jadi Tanaman Konservasi

 

Penjemuran biji kopi Robusta hasil panen dari kebun petani Kampung Leworook, Desa Leraboleng, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Yosef Lawe Oyan

 

Tahun 2020, Yolan memutuskan berhenti jadi tenaga kontrak di kantor pemerintahan untuk menetap di Leworook agar bisa dekat dengan kebun kopi dan para petani.

“Orang tua awalnya marah karena saya harus melepas berbagai pekerjaan dan memilih jadi petani dan menetap di kampung. Warga desa pun ada yang curiga saya mau menjadi kepala desa bahkan anggota DPRD,” tuturnya.

Elisabeth Nue Manuk, isteri Yolan mengaku butuh waktu setahun lebih untuk meyakinkan orang tua bahwa menjadi petani bisa memberikan pendapatan yang lumayan.

“Setelah banyak tamu dan pejabat pemerintah maupun wartawan datang menemui kami, baru orang tua merasa bangga dan mendukung keinginan kami,” ucapnya.

Elisabeth katakan kopi Leworook harus diistimewakan dan harga jualnya harus lebih baik agar bisa membantu petani dalam memperoleh pendapatan agar makin terkenal.

 

Lakukan Budidaya

Setelah menetap di kampung, Yolan pun mulai belajar bertani kopi secara otodidak lewat referensi dari berbagai media dan bertanya kepada petani.

Dirinya mulai membentuk kelompok tani Leworook Kopi Lestari beranggotakan 12 petani. Diakuinya, hampir semua anggota berasal dari keluarga karena lebih mudah diatur dan diajak bekerjasama. “Awalnya ada 50 lebih anggota namun banyak yang tidak aktif dan keluar sehingga saya berpikir harus mulai dari keluarga dahulu,” ucapnya.

Tahun 2019, kelompok mulai membuka lahan baru 20 hektare dan meremajakan kopi dengan jarak tanam teratur 4×4 meter. Bibit kopi diambil dari anakan yang ada di bawah pohon.

Lahan itu juga ditanami jagung dan padi sambil menunggu tanaman kopi berbuah. Yolan mengaku melihat ada semangat dan kekompakan di anggota.

baca juga : Kopi Indonesia, Bukan Hanya untuk Dunia tapi juga Benteng Konservasi

 

Warga Kampung Leworook, Desa Leraboleng, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT sedang menggoreng kopi secara tradisional agar rasanya tetap dipertahankan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Dominikus pun mengakui, berkat perjuangan Yolan harga kopi kini meningkat menjadi Rp30 ribu/kg dari dahulunya hanya Rp10ribu/kg. Ia yakin ke depannya prospeknya bagus sehingga warga mulai bersemangat membudidayakan kopi.

“Dahulunya kebun kami semua tanaman ada, seperti hutan dan tidak terurus. Tetapi sejak bergabung dengan kelompok kebun kami mulai ditata dan kami mulai meremajakan kopi,” ucapnya.

Yolan mengaku sebulan bisa menjual minimal 200 kg kopi. Produknya mulai merambah berbagai daerah di NTT maupun di Pulau Jawa. Bantuan dari Pemda Flores Timur dan NTT pun berdatangan.

Kini kelompok telah memiliki rumah produksi dilengkapi dengan mesin produksi. Meski begitu Yolan tetap mempertahankan pengolahan kopi secara tradisional karena ingin memberikan pemahaman kepada pasar bahwa minum kopi yang menyatu dengan budaya.

“Meskipun pasarnya terbatas tetapi warisan leluhur harus tetap dilestarikan. Saya harapkan ada pendampingan dari ahli kopi mulai dari pembibitan hingga pasca panen dan bantuan modal,” tegasnya.

Yolan berpesan warga NTT agar tidak takut menjadi petani yang menjaga kearifan lokal karena pertanian adalah sumber peradaban. “Tetap semangat menjadi petani dan cintai kebunmu agar kebunmu pun akan mencintaimu dan memberikan hasil yang baik,” pungkasnya.

 

Exit mobile version