Mongabay.co.id

Mengenal Pala Papua

 

 

 

 

 

Fakfak, satu kabupaten di Papua Barat, ternyata sumber pala. Di nusantara ini, pala biasa lebih dikenal di Ternate, Tidore maupun Banda Neira. Pala Banda, merupakan rempah yang membuat orang-orang dari berbagai penjuru dunia berlomba dan bertarung nyawa untuk mendapatkannya.

Pala dikenal sejak pelaut-pelaut dari Tiongkok membawa buah itu jadi komuditi yang diperdagangkan dengan nilai tinggi. Kemudian, bangsa Eropa berdatangan, dari mulai Portugis, Belanda hingga Inggris.

Di tempat tumbuh Pala di kepulauan sekitar Banda berdiri benteng-benteng kokoh. Bahkan sebuah pulau bernama Run yang dikuasai Inggris, dengan pulau besar sekitar dalam kuasa Belanda, bertempur saling berebut.

Kemudian, Belanda dan Inggris, membuat kesepakatan yang dikenal dengan perjanjian Breda pada April 1667, untuk persetujuan menukar wilayah pendudukan. Belanda menyerahkan pada Inggris wilayah Manhattan di Amerika. Inggris melepaskan Pulau Run di Banda.

Bagaimana dengan pala Papua? Dalam catatan perjalanan mengenai jalur rempah, nama Papua hampir tak pernah mencuat dalam literatur sejarah pala. Meskipun begitu, di Fakfak ini, pohon-pohon pala tumbuh berbaur bersama pepohonan lain di hutan. “Di sini hutan pala,” kata Abdul Gani Iha, warga Kampung Kokas, Fakfak.

Saya menelusuri beberapa kampung dengan pala tumbuh di antara tanaman lain, seperti durian sampai sayur mayur.

Fakfak adalah pusat kota kabupaten di Papua Barat. Kota ini dibangun di atas punggungan bukit dan lereng, yang menghadap ke laut. Jalan-jalan di kota ini sempit dengan laju kendaraan cepat. Hampir tak ada jalan datar untuk melegakan sandaran kepala dalam mobil. Beberapa lampu penanda jalan bahkan berada di tanjakan.

 

Proses pemetikan papa di Fakfak. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Fakfak, dengan ejaan menggunakan huruf “F”, bagi warga kota ini hampir tak memiliki arti. Lalu darimana asal nama kota ini? Abdul Gani Iha mengatakan, ejaan Fakfak sejak awal ditentang banyak orang. “Harusnya Pakpak. Itu yang benar,” katanya.

“Pakpak, itu dulu tempat orang melakukan perang suku. Jadi tempat. Tapi mungkin orang perhalus jadi Fakfak, biar lebih baik. Tapi tidak ada makna kan.”

Dalam bahasa lokal Marga Iha pun, saya menemukan arti dari kata Papua. Abdul Gani menerangkan dalam kisah leluhurnya, kalau pada suatu masa seorang pengelana mendatangi kampung dan beberapa warga membawa buah pala. Ketika si pengelana menanyakan tempat asal buah itu berada, warga itu menjawab dengan Pakpua. “Artinya, dari dalam hutan. Pua itu hutan. Jadi Pakpua itu dari dalam hutan,” katanya.

Pakpak adalah kota yang beragam. Di tempat ini ada banyak suku yang telah berbaur dengan warga “asli”. Mereka membangun rumah saling berdekatan dan melaksanakan hubungan perkawinan. Pluralitas di kota ini juga menjadi bagian penting dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Pada pemilihan bupati lalu, pasangan independen– maju tanpa menggunakan partai politik–yang menang.

Bupati terpilih, Untung Tamsil dan pasangan Yohana Dina Hindom untuk periode 2020-2025.

Saya bertemu Untung di rumah Sekretariat Lembaga Swadaya Masayarakat Aspirasi Kaki Abu untuk Perubahan (AKAPe). Ini lembaga yang menginisiasi pemberdayaan masyarakat lokal, kesetaraan gender, dan keadilan lingkungan.

Untung datang melihat bagaimana kolaborasi koki dari Restoran KAUM Jakarta bersama warga mengelola pala menjadi makanan. “Saya senang sekali. Senang sekali. Ada kegiatan mengenalkan kembali pala daerah ini,” katanya.

“Pala di Fakfak ini simbol dan logo daerah. Tapi pamornya selalu dikatakan di bawah pala Banda. Saya juga tidak tahu kenapa.”

 

Untung Tamsil, Bupati Fakfak (tengah). Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Pala Papua, bentuk buah lonjong dan kulit luar bertekstur kasar menyerupai parut. Buah pala di Banda, berbentuk bulat.

Rachmad Hidayat, koki di Restoran KAUM di Jakarta, selama tujuh hari di Papua, masak dengan bahan pala. Pada hari pertama, dia mengunjungi desa, melihat dan mencicipi pala. Rachmad tak bisa membandingkan pala Fakfak dengan Banda, karena masing-masing punya kekhasan sendiri.

Wah tidak bisa. Masing-masing ini berbeda rasa. Masing-masing memiliki rasa sendiri,” katanya.

Saat Rachmad mencoba menikmati pala Papua tak membuat puyeng walau aroma juga kuat. “Kalau pala bulat itu, biasa langsung terasa sepat dan pahit. Bisa langsung puyeng kalau makan. Ini tidak,” katanya.

Tak lama kemudian, makanan tersaji. Beberapa orang menghidangkan sambal pala. Dua piring sambal pala itu dicacah halus. Beberapa orang yang berkumpul dalam pesta makan itu, menyerbu sambal. Sekejab piring kosong.

Saya ikut mencicipi. Rasanya membuat ketagihan.

Di Papua, pohon pala berusia lebih 30 tahun menjulang tinggi. Beberapa pohon lain dengan batang begitu besar, diperkirakan 50 tahun lebih, bahkan ada berusia ratusan tahun.

Ary Prihardhyanto Keim, peneliti di Kelompok Penelitian Ethnobiologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mendalami pala Papua sejak 2019 mengatakan, secara morfologi pala Banda dan Papua cukup mirip. Baginya, kedua pala ini masih satu jenis.

“Perbedaan kecil pada bentuk buah yang sedikit bulat melonjong, namun secara sistematika tidak cukup kuat untuk menempatkan pala Fakfak bahkan sebagai anak jenis (varietas) sekalipun,” katanya.

 

Memberdakan kulitas biji pala. Pala dengan bjhi lebih gelap itu yang bagus, dibandingkan yang berwarna lebih pucat. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Bagi Ary P Kiem, pala (Myristica fragrans) ini kemungkinan besar dibawa dan ditanam di Papua, khusus Fakfak oleh orang-orang Maluku. Asumsinya, Papua pernah menjadi bagian dari Kedatuan Serikat Siwa Lima (Konfederasi Kesultanan-Kesultanan di Maluku, seperti Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo-Gilolo, Obi, dan lain-lain) terutama di masa Kesultanan Ternate dipimpin Sultan Baabullah Datu Syah.

Sementara laporan kerjasama UNDP bersama Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menuliskan, hampir 80% lahan di Fakfak tumbuh pala. Kajian ini juga menuliskan, pala Papua memiliki nama latin Myristica argenta Warb. Bagian dari famili Myristicaceae yang terdiri atas 15 genus (marga) dan 250 species.

Di Papua Barat, khusus Fakfak luas tanaman pala mencapai 6.071 hektar (58% dari luas area pala di Papua Barat). Produksi pala sebanyak 1.884 ton, 11% dari total produksi Indonesia, dengan jumlah petani terlibat langsung dalam budidaya 2.300 keluarga.

Indonesia, adalah produsen dan pengekspor biji dan fuli pala terbesar dunia, dengan pangsa pasar dunia 75%. Ekspor utama pala Indonesia adalah Vietnam, Amerika Serikat, Belanda, Jerman dan Italia.

Pada 2011, produksi pala mencapai 15.793 ton, dari areal produksi 118.345 hektar dan melibatkan 146.331 keluarga. Tanaman ini tersebar di Maluku Utara, Sulawesi Utara, Aceh, Maluku dan Papua Barat.

Di Indonesia dikenal beberapa jenis pala, pertama, Myristica fragrans Houtt, jenis utama dan mendominasi jenis lain dalam segi mutu maupun produktivitas. Ia asli Pulau Banda.

Kedua, Myristica argenta Warb, lebih dikenal dengan nama Papuanoot alias pala Papua Barat, asli Papua Barat, khusus daerah kepala burung. Ketiga, Myristica scheffert Warb, terdapat di hutan-hutan Papua.

Keempat, Myristica speciosa, terdapat di Pulau Bacan. Kelima, Myristica succeanea, di Pulau Halmahera.

 

Perempuan dan pala

Pala-pala ini tumbuh di tanah ulayat yang masuk kawasan hutan. Banyak dusun pala berada dalam kawasan hutan. “Solusi legal perlu dibahas untuk menyelesaikan persoalan ini. Salah satunya, mengakui wilayah-wilayah itu sebagai penguasaan komunal adat,” tulis laporan Inobu dan AKAPe.

Survei Yayasan  Inobu  dan AKAPe di Kampung Pangwadar, pada 35 dusun, keluarga pemilik pala mendapatkan semua pengetahuan budidaya secara turun temurun.

“Pala itu putri gunung. Putri hutan,” kata Abdul Gani.

Dalam tradisi masyarakat Papua, ketika panen pala mulai maka para perempuan yang melakukan lebih awal. Setelah panen, masyarakat setempat akan membuat perayaan rasa syukur kepada sang putri.

Radani, juga petani pala mengatakan, pala adalah berkah. Baginya, tanam pala selain memberi nilai ekonomi juga sebagai identitas. “Kalau di Fakfak, bicara pala saya kira semua orang bisa,” katanya.

Pala dalam bahasa lokal di Papua Barat disebut hanggi (dibaca henggi). Dalam tradisi masyarakat setempat, ketika hendak menanam pala mesti meletakkan dengan pelan-pelan. Ketika bibit itu hendak masuk ke lubang galian, mereka akan mengucapkan beberapa nama burung, seperti taongtaong (julang Papua), walor, kudukubu, duktubur dan cerah. Burung-burung ini dipercaya sebagai penyebar biji pala.

“Kalau pala sudah berbuah dan masak, burung itu datang makan. Dibawa terbang, terus jatuh di tempat lain. Pala jadi tumbuh banyak, maka banyak di hutan,” kata Radani.

Cerita lain menyebutkan, kalau cendrawasih kuning besar (Paradisaea minor) kedua sayap berwarna kemerahan karena leluhur burung itu menggosokkan badan saat buah pala matang dan terbuka di pohon. Warna merah itu dipercaya menyerupai warna bunga pala (fuli) yang membungkus biji.

Laporan Yayasan Inobu bersama AKAPe yang pendampingan ke warga petani pala, menemukan, kalau pasca panen pala secara faktual mengandalkan peran perempuan. Namun, perempuan tak ada hak atas tanah pada kebun pala dan dilarang memanjat untuk memetik pala.

Siti Rohani, marga Iha, mengatakan, tradisi itu memang agak berat. Beruntung, katanya, keluarganya cukup terbuka dan memberi mereka hak sama.

“Kalau kami sudah selesai panen, Teteh (bapak tua) pegang semua hasil. Terus semua dipanggil nama, lalu itu uang dibagi rata. Tidak ada yang boleh lebih, karena semua bekerja sama besar,” katanya.

Siti Rohani bercerita kalau tak semua keluarga memberikan hak sama laki dan perempuan. Warisan tanah, katanya, ada pada laki-laki. “Kalau musim pala, perempuan sekalipun saudara tidak akan membantu jika tidak diminta. Masih ada seperti itu,” katanya.

 

Produk olahan dari Pala untuk Essential Oil dampingan AKAPe. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Pala Fakfak, dengan buah lonjong. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version