Mongabay.co.id

Ekidna, Hewan Aneh yang Nenek Moyangnya Sezaman Dinosaurus

 

 

Pernahkah Anda mendengar nama ekidna? Ya, hewan yang bentuk tubuhnya menyerupai landak ini merupakan penghuni asli hutan Papua. Ekidna juga disebut sebagai hewan aneh karena merupakan jenis mamalia, namun bertelur [monotremata]. Jika telurnya menetas, ia akan menyusui anaknya sebagai mamalia. Bagi masyarakat di Papua, terutama mereka yang mendiami lereng-lereng bukit di Cagar Alam Pegunungan Cyclops, satwa ini disebut dengan nama babi duri.

Hingga saat ini, terdapat empat spesies ekidna yang sudah teridentifikasi sebarannya di Papua, Papua Nugini, dan Australia; tiga spesies ekidna dengan moncong panjang dari genus Zaglossus dan satu spesies moncong pendek dari genus Tachyglossus. Mereka mampu bertahan hidup dari zaman prasejarah hingga zaman evolusi atau 160 tahun lalu.

Di tanah Papua, satu jenis ekidna endemik adalah Zaglossus bruijni. Keberadaannya dianggap unik, misterius, dan terancam punah. Bahkan bagi masyarakat di Kampung Ormu Wari, di kaki gunung Cyclops, ekidna bukan hanya sekadar hewan biasa, tapi diposisikan sebagai satwa keramat yang kedudukannya di hutan dihormati layaknya raja.

Baca: Ekidna si Mamalia Bertelur, Satwa Asli dari Papua

 

Hari Suroto, penulis buku “Prasejarah Papua” dan juga peneliti senior dari Balai Arkeologi Papua, menjelaskan bahwa ekidna diperkirakan memiliki nenek moyang pada zaman Jurassic atau ketika zaman dinosaurus sekitar 160 juta tahun silam. Sebagai hewan monotremata, ekidna mirip reptilia dalam hal struktur mata dan beberapa tulang tengkoraknya.

Menurutnya, mamalia petelur ini memiliki rongga otak yang luar biasa besarnya, kompleks dan memiliki intelegensia yang relatif tinggi. Ekidna Papua merupakan monotremata terbesar dengan berat mencapai 16 kilogram. Karena ukuran tubuhnya yang besar, ia sering menjadi target utama para pemburu sehingga hewan ini jarang ditemui di dataran rendah dan dikhawatirkan akan menuju kepunahan.

Sebuah penelitian yang ditulis oleh Tresia Frida Awak, Sepus Fatem, Aksamina Yohanita dan dipublikasikan pada Jurnal Ilmu Kehutanan [2015], menyebutkan perburuan ekidna di Kampung Waibem dan Kampung Saukorem, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, dilakukan pada malam hari antara pukul 22.00-24.00 dan di waktu subuh mulai pukul 03.00-08.00 WIT. Perburan bertujuan untuk dikonsumsi yang mengakibatkan berkurangnya populasi ekidna.

“Satwa ini diprediksikan akan mengalami kepunahan secara alamiah karena faktor alam dan faktor nonalami, seperti perburuan, degradasi habitat dan lainnya,” tulis para peneliti.

Hari Suroto menambahkan, ekidna dikenal sebagai hewan yang beraktivitas malam hari atau nokturnal, hal ini untuk menghindari pemangsa. Saat ini, ekidna lebih banyak dijumpai di daerah dataran tinggi yang jarang dijelajahi manusia.

Baca: Melacak Ekidna, Satwa Keramat Orang Papua di Cyclops

 

Ekidna moncong panjang. Satwa asli Papua. Foto: D. PARER & E. PARER-COOK/MINDEN PICTURES/CORBIS

 

Sejak kapan mamalia memiliki kebiasaan keluar malam hari?

“Hal ini berawal sejak zaman dinosaurus,” kata Hari.

Pada waktu itu nenek moyang mamalia berukuran sangat kecil, nyaris seukuran tikus, dan sebagian besar adalah hewan malam. Kebiasaan untuk hanya keluar malam hari sebenarnya dimaksudkan untuk menghindar dari kemungkinan dikenali dan dimangsa oleh hewan-hewan karnivora besar sebangsa reptil yang menjadi penguasa daratan pada masa itu. Mamalia menjadi penguasa daratan sekitar 65 juta tahun lalu setelah punahnya dinosaurus.

Ia menjelaskan, salah satu penyebab kepunahan dinosaurus adalah peristiwa jatuhnya meteorit besar di Bumi. Meskipun peristiwa tabrakan ini menghancurkan banyak kehidupan, namun setelah peristiwa itu banyak spesies mamalia yang mengalami proses evolusi besar-besaran sehingga disebut juga sebagai zaman mamalia.

Baca juga: Sejak 1974, Pari Gergaji Sentani Tidak Terlihat Lagi

 

Pemasangan kamera jebak untuk memantau ekidna dan berbagai jenis mamalia pegunungan Cyclops. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Meskipun peristiwa tabrakan komet tersebut memegang peranan penting dalam evolusi mamalia, pada kenyataannya proses evolusi itu sendiri telah dimulai jauh sebelum dinosaurus punah. Jenis mamalia pertama yang berevolusi dari bentuk asli nenek moyangnya dikenal sebagai monotreme atau monotremata, atau jenis mamalia yang mengerami telurnya.

“Ini terjadi sekitar 180 juta tahun silam. Ciri khas monotreme yang mengerami telurnya sangat mirip dengan reptil. Kemiripan ini menunjukkan adanya persamaan antara monotreme dan reptil, hal ini dimungkinkan karena keduanya memiliki nenek moyang yang sama,” ungkap Hari.

Setelah punahnya dinosaurus, untuk jangka waktu yang lama sebelum adanya manusia di Bumi, mamalia tidak memiliki musuh yang harus ditakuti. Sehingga kebiasaan aktif malam hari nyaris tidak ada. Namun, hal itu berubah ketika kehadiran manusia moderen, –manusia yang ciri fisik dan kepintarannya sama dengan kita -sekitar 200.000 tahun lalu di Afrika.

“Sedangkan nenek moyang orang Papua tiba di Teluk Huon, Papua Nugini, sekitar 50.000 tahun lalu. Mereka kemudian menjadi pemangsa utama mamalia,” ujar Hari.

Untuk melindungi dirinya dari kejaran manusia, sebagian besar mamalia berubah menjadi hewan malam. Mamalia yang aktif pada malam hari di Papua yaitu quoll, tikus tanah berkantung, kuskus, walabi, ekidna, dan kanguru pohon.

 

Exit mobile version