Mongabay.co.id

Konflik Lahan dan Kerusakan Lingkungan Terus Terjadi dalam Operasi PT TPL

 

 

 

 

Belum lama ini, berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil memaparkan temuan lapangan atas operasi PT Toba Pulp Lestari maupun Riau Andalan Pulp and Paper, perusahaan yang berafiliasi dengan Sukanto Tanoto. Mereka juga mempertanyakan klaim komitmen berkelanjutan yang perusahaan buat berbeda dengan kondisi lapangan.

Perusahaan perkebunan kayu, PT Toba Pulp Lestari Tbk (Perseroan) adalah perusahaan bubur kertas (pulp), dan kertas di Danau Toba, Sumatera Utara. Di Sumatera, selain TPL, perusahaan bubur kertas milik Sukanto Tanoto ini juga ada Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), bagian dari April Group, antara lain beroperasi di Riau.

Dari Kantor Walhi Sumut Medan dan di D’Caldera Coffee Jalan Sisingamangaraja Medan, sejumlah kelompok masyarakat sipil berkumpul membahas perusahaan ini.

Dari D’Caldera Coffee Medan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Jikalahari, menyampaikan kajian-kajian mereka.

Roganda Simanjuntak, Ketua AMAN Tano Batak, menyatakan, kehadiran TPL di Tano Batak , melahirkan banyak persoalan. Ketegangan dan konflik agraria terus meningkat di konsesi mereka. Masyarkat adat pun terus melawan klaim perusahaan di wilayah adat mereka.

Kondisi ini, katanya, menambah daftar panjang masyarakat adat korban kriminalisasi di Tano Batak. Sampai saat ini, katanya, sekitar 70 warga adat kena kriminalisasi TPL karena mempertahankan wilayah adat dan menghentikan perusakan hutan.

 

 

Upaya kriminalisasi ini makin kuat, katanya, karena perilaku kepolisian yang diskriminatif dan tak profesional.

Berdasarkan temuan mereka, yang mendanai TPL dan April Group di perbankan nasional adalah bank-bank pemerintah yaitu BRI dan BNI.

“Kita sebagai rakyat Indonesia dan nasabah, simpan uang di dua bank itu, dipakai untuk menghajar kita, merusak hutan, lingkungan, merampas tanah dan memenjarakan masyarakat adat,” kata Roganda, dalam temu media, belum lama ini.

AMAN Tano Batak menyurati Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan membuat gerakan agar masyarakat menarik uang dari kedua bank itu sebagai simbol perlawanan kepada perbankan yang mendanai TPL.

Sementara analisis Walhi Sumut, TPL jadi penyumbang laju deforestasi terbesar di provinsi itu dalam 10 tahun terakhir.

“Dampaknya, kerusakan hutan alam, merusak tangkapan air dan mengganggu sumber kehidupan masyarakat adat, seperti hutan kemenyan,” kata Putra Septian, Manager Kajian dan Advokasi Walhi Sumut.

Data Walhi, dari 167.912 hektar izin konsesi TPL, seluas 46.885 hektar berada di Bentang Alam Tele.

Temuan Forum Pajak Berkeadilan, terjadi dugaan pengalihan keuntungan dan kebocoran pajak ekspor pulp larut TPL pada 2007-2016 berpotensi merugikan negara sebesar Rp1,9 triliun. Modusnya, diduga melakukan salah klasifikasi jenis ekspor, yang dilaporkan sebagai pulp grade kertas berkode HS 470329, yakni kode produk bleached hard wood kraft paper (BHKP) untuk produksi kertas dan tisu.

Dalam catatan otoritas di Tiongkok, menerima kiriman dissolving pulp (pulp larut) dari Indonesia. Periode itu hanya TPL yang memproduksi pulp larut di Indonesia.

Pulp larut untuk memproduksi viscose tercatat dengan kode HS 470200 untuk bikin viscose produk tekstil, dan harga jauh lebih tinggi dibanding pulp grade kertas. Sepanjang 2007-2016, total ekspor pulp larut Indonesia tercatat 150.000 ton. Namun, Tiongkok mencatat mengimpor pulp larut dari Indonesia 1,1 juta ton.

Pada 2017, TPL sudah melaporkan produk ekspor sebagai pulp larut, justru April Grup, korporasi di Riau, diduga mengulang praktik misklasifikasi pada ekspor dari Riau ke Tiongkok.

Rocky Pasaribu, bagian Advokasi KSPPM mengatakan, terkait TPL sejatinya perusahaan ini tidak takut pemerintah. Ada banyak kebijakan pemerintah dilanggar perusahaan hingga tak heran terjadi pelanggaran HAM, maupun pencemaran lingkungan. Contoh di Parlilitan, tanaman masyarakat adat terbabat habis, konflik pun terjadi.

Dia bilang, dugaan pelanggaran bukan hanya kriminalisasi, atau pelanggaran HAM, dan perampasan wilayah adat, juga berpotensi rugikan negara. Mereka, katanya, tidak melaporkan satu produk mereka ke negara yang menyebabkan perusahaan tak membayar pajak cukup besar.

 

Protes warga sekitar Danau Toba, atas operasi PT TPL yang merampas ruang hidup mereka. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Mangitua Ambarita aka Ompu Morris Ambarita. tokoh adat Sihaporas mengatakan, TPL tidak asing, karena pernah memenjarakan dia selama dua tahun. Dia berusaha mempertahankan hutan adat.

Dia bilang, strategi TPL mengkriminalisasi masyarakat adat dengan cara mengadu domba dengan kelompok masyarakat yang lain.

Ketika masyarakat adat memiliki data, perusahaan tidak melakukan komunikasi untuk penyelesaian. Bahkan, memancing emosi masyarakat adat di lapangan agar terjadi bentrok dengan pekerja perusahaan.

Quadi Azam, bagi Advokasi Bitra Indonesia mengatakan, perusahan harus mempunyai pendekatan dalam menjaga dan mengelola, atau menjalankan bisnis bersandar prinsip dan standar bisnis dan hak asasi manusia.

Kalau wilayah adat, setidaknya tidak menjadi bagian dari proses bisnis TPL. “Penting upaya-upaya hingga pemenuhan hak masyarakat adat, harus segera terealisasi.”

Abdul Halim Sembiring dari Advokasi dan Kajian Bakumsu menyatakan, harus ada desakan terhadap Presiden Joko Widodo untuk menyatakan sikap terkait temuan indikasi pengemplangan pajak oleh TPL ini. Dia menyatakan ada upaya melindungi TPL selama ini.

 

***

Dari Riau, data Jikalahari, menyebutkan,  April Group melalui dalam komplek PT RAPP telah membangun PT Asia Pasific Raya untuk memproduksi viscose. April telah menyusun andal dan amdal.

Made Ali, Koordinator Jikalahari merasa aneh, April justru mengembangkan penambahan kapasitas produksi pulp dan dissolving menjadi 5,8 juta ton pertahun dari 2,8 juta ton pertahun dari sumber Sumatera dan Kalimantan.

Temuan lain, April Group melalui anak usaha, PT NPM mendanai HKM menebang hutan alam seluas 1.565 hektar di Kabupaten Kuansing. Hutan ini merupakan hutan alam tersisa di bentang ekosistem Rimbang Baling.

Kemudian, sepanjang 2015-2019, April Group sengaja membakar hutan dan lahan seluas 74.416 hektar yang menyebabkan polusi asap di Riau. Juga menebang hutan alam dan membuat kanal baru di areal RAPP distrik Siak-Pelalawan.

Di tengah itu semua, April Group meluncurkan April 2030 yang berisi komitmen mencakup mencapai nol emisi karbon dari penggunaan lahan, mengurangi 25% intensitas emisi karbon produk, dan memperkuat perlindungan konservasi dan restorasi alam. Juga, memastikan tidak ada kawasan lindung hilang termasuk menghapus kemiskinan pada masyarakat dan mendorong perkembangan sains di lahan gambut tropis.

 

Wrga ada Pandumaan-Sipituhuta memperlihatkan hutan alam yang ditebang untuk jadi kebun kayu eukaliptus TPL. beberapa tahun lalu. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Temuan TuK Indonesia dan Profundi, Grup RGE mendapat bantuan pendanaan dalam bentuk utang dan penjaminan dari bank luar negeri senilai US$ 3.675,46 miliar atau setara Rp47 triliun pada periode 2015–Oktober 2019.

Sementara itu, terkait kajian dan temuan dari sejumlah pihak ini, perusahaan TPL memberikan penjelasan.

Jandres Silalahi, Direktur PT Toba Pulp Lestari mengklaim, perusahaan sudah berkomitmen jalankan operasional sesuai peraturan dan izin.

Dia bilang, dengan masyarakat adat mereka mendorong proses dialog terbuka untuk setiap perbedaan, melibatkan para pemangku kepentingan dan pemerintah.

“Perusahaan juga memiliki hotline number di nomor 0811-6210-461 dan email Pengaduan@tobapulp.com bila ada keluhan dari masyarakat atau pihak lain terkait kegiatan operasional perusahaan, ” kata Silalahi.

Perusahaan, katanya, berkomitmen untuk pembangunan berkelanjutan yang bertanggung jawab di semua lokasi operasional. Juga menghilangkan deforestasi dari rantai pasokan, dengan menerapkan praktik-praktik terbaik di bidang sosial, lingkungan, dan bisnis.

“Menghormati hak masyarakat adat dan komunitas, produksi bersih melalui pengurangan emisi dan mengontrol air limbah buangan, ” kata Silalahi.

Dia bilang, perusahaan beroperasi di 11 kabupaten dan satu kota. Jadi mereka menyadari ada potensi perbedaan pendapat dari bebarapa pihak. Namun, dia klaim, perusahaan tetap menjalankan komitmen tumbuh dan berkembang bersama masyarakat dengan melibatkan keikutsertaan masyarakat dalam membangun perusahaan.

Dalam pembangunan HTI, katanya, perusahaan juga memberikan ruang lebih luas bagi hutan alam sebagai areal kawasan perlindungan setempat dan kawasan lindung lainnya, serta areal tanaman kehidupan.

Dia mengatakan, kawasan perlindungan setempat dan kawasan lindung lainn meliputi tiga item, yakni, greenbelt (sekat antar-kompartemen HTI) sempadan (di kiri-kanan) sungai, dan kawasan pelestarian plasma nutfah, sebagai area yang secara spesifik dialokasikan, hingga flora dan fauna endemik bisa hidup.

 

 

****
Foto utama:

Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita, dua warga Sihaporas, yang ditahan dan jadi tersangka penganiayaan atas laporan perusahaan. Padahal, mereka sendiri pelapor dan saksi atas kasus penganiayaan oleh karyawan perusahaan itu. Laporan perusahaan segera diusut polisi, sedang kasus laporan warga entah bagaimana nasibnya…Foto: dokumen AMAN Tano Batak
Exit mobile version