Mongabay.co.id

Menyoal Pemulihan Ekosistem dalam Hukum Lingkungan di Indonesia

Kulit harimau Sumatera dan macan dahan diamankan polisi di Langkat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hukum di Indonesia dinilai belum mampu memulihkan kerusakan ekosistem atau lingkungan hidup yang timbul. Dalam aturan hukum di Indonesia, uang dari putusan hukum kasus lingkungan hidup tak langsung jadi dana pemulihan lingkungan hidup yang rusak.

Beberapa ahli membandingkan hukum lingkungan di Indonesia dan Amerika, misal. Uang pemulihan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia, masuk ke kas negara dan tidak pasti digunakan untuk pemulihan. Di luar negeri dana itu langsung untuk pemulihan.

Andri G Wibisana, pakar Hukum dari Universitas Indonesia mengatakan, eksekusi putusan pengadilan selama ini masuk ke kas negara tetapi tak terlihat untuk memulihkan kerusakan lingkungan hidup.

Di Indonesia, katanya, uang untuk mengganti kerusakan lingkungan ada yang bisa ditetapkan dan dimintakan sebagai ganti rugi pada terdakwa. Namun, uang itu sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNPB), dan masuk kas negara.

“Tidak ada pesan yang jelas, uang ganti rugi harus untuk pemulihan ekosistem yang rusak,” kata dalam diskusi dari belum lama ini. Diskusi ini diselenggarakan Universitas Andalas. Sumatera Barat bekerjasama dengan Auriga Nusantara dan Lancaster University.

Andri mengambil dua contoh produk hukum di Amerika yaitu CERCLA dan OPA (Oil Pollution Act).

Dalam CERCLA disebutkan, uang yang diperoleh dari pihak pencemar hanya dapat digunakan untuk tindakan pemulihan. Pada OPA, katanya, uang yang diperoleh dari pihak pencemar hanya bisa untuk tindakan pemulihan. Kelebihannya, akan masuk dalam pos pendanaan khusus.

Mekanismenya, wali atau trustee harus membuat rencana pemulihan dan kompensasi. “Artinya, kalau uang itu sudah dapat mau diapakan. Nggak bisa masuk kas negara kemudian selesai. Harus melakukan penghitungan berdasarkan pemulihan, penggantian. Semua itu dipublikasi dan dapat dilihat publik,” kata Andri.

 

Kebakaran di konsesi PT BEP di Muarajambi. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

 

Rika Fajrini, tim peneliti bersama Jacob Phelps dari Tropical Environmental Change and Policy and Environmental Social Scientist dari Lancaster University melemparkan pertanyaan, bagaimana seharusnya melihat kerusakan lingkungan dari perspektif yang menguntungkan dari sisi konservasi? “Apakah hukum Indonesia sudah menanganinya dengan cukup?” tanyanya.

Rika mengambil contoh kasus lingkungan yang sudah dibawa ke ranah perdata, yakni, gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada perusahaan PT Kalista Alam.

Dalam gugatan ganti rugi sudah masuk aspek keragaman hayati sebagai kerugian yang harus dipulihkan. YAng jadi pertanyaannya, soal rumusan pemulihan ini merefleksikan tindakan yang diperlukan atau tidak.

“Misal tadi, kalau ada kasus karhutla (kebakaran hutan dan lahan) kalau kita lihat di Kalimantan menyebabkan puluhan orangutan harus dievakuasi, apakah komponen itu (ganti rugi) memasukkan orangutan?” katanya.

Dia membandingkan soal gugatan perdata di Taman Nasional Clanques terkait perburuan spesies ikan dilindungi.“Taman nasional tidak hanya menggugat pelaku juga meminta ganti rugi pada restoran-restoran yang membeli ikan itu. Kasus ini dikabulkan pengadilan. Para tergugat membayar kompensasi pada taman nasional dan uangnya untuk memulihkan ekosistem,” katanya.

Ada juga kasus pemulihan budaya masyarakat adat di Amerika dengan pelaku Ford Motor Company. Kala itu terjadi pencemaran di lahan masyarakat. Kompensasi perusahaan dengan mendirikan kebun untuk melestarikan tanaman-tanaman obat masyarakat.

Bagaimana dengan Indonesia? Jacob Phelps, dosen senior dari Lancaster University ini mengatakan Indonesia, punya keragaman hayati kaya dan unik dengan 515 spesies mamalia, 781 spesies reptil, 1592 spesies burung dan 55% spesies tumbuhan tidak ditemukan di tempat lain.

Keragaman ini punya banyak manfaat ke manusia mulai dari makanan, obat, material konstruksi, budaya, kenyamanan, ilmu pengetahuan hingga warisan tidak ternilai untuk masa depan. Semua ini tak lepas dari ancaman kepunahan. Phelps mencatat, ada banyak spesies terancam punah di Indonesia, yakni, 140 spesies burung, 63 spesies mamalia dan 21 spesies reptil.

Berdasarkan ancaman ini, dia melihat bagaimana penegakan hukum terkait perusakan alam berdasarkan kasus pidana yang dilaporkan KLHK pada 2015 sampai 2019.

Dalam grafik yang dipresentasikan Phelps, kasus-kasus seperti pembalakan liar, perdagangan satwa ilegal, kebakaran hutan dan lahan, perusakan hutan, polusi lingkungan dan kerusakan lingkungan dinamis naik turun. Dia mengamil contoh tiga kasus yaitu penyelundupan tiga bayi orangutan di Pekanbaru, tiga orangutan di Pontianak dan beberapa tengkorak orangutan serta beberapa satwa langka lain di Pengadilan Negeri Singkawang.

Hukuman dari kasus-kasus itu, katanya, termasuk rendah dan denda kecil. Di Pekanbaru, misal, mereka dihukum penjara 2,6 tahun dan denda US$533, di Pontianak penjara delapan bulan dan denda US$333 dolar. Kemudian, di Singkawang penjara 9 bulan 10 hari, denda US$3.333.

Padahal, katanya, banyak keragaman hayati rusak mulai dari mikroba, tumbuhan, spesies langka, ekosistem yang mendukung, nilai kemanusiaan dan hilangnaya pendapatan pemerintah dari kerusakan itu dan kehilangan penghasilan bagi individu.

Ketika satu orangutan diburu namun berhasil diselamatkan, katanya, itu hanya secara individu orangutan. Dia mempertanyakan bagaimana dengan kerugian jangka panjang, dan keberlanjutan popiulasi. Bukankah, orangutan kemudian perlu perawatan jangka panjang seperti rehabilitasi dan reintroduksi. “Siapa yang bertanggungjawab soal itu kemudian?” tanyanya.

Menurut dia, ada beberapa pendekatan untuk menilai kerugian mulai dari nilai pasar, nilai dasar, penghitungan nilai lingkungan atau alam, tindakan pemulihan dan keadilan restoratif.

“Kita perlu pendekatan yang lebih detail dan mewakili kerugian yang didapat dari kerusakan lingkungan,” katanya.

Sebagai konservasionis Phelps tidak mengutamakan hukuman untuk pelaku tetapi lebih bagaimana melihat ada sistem perbaikan, kondisi lebih baik setelahnya perusakan.

 

Puluhan sisik trenggiling yang mau diselundupkan ke Tiongkok melalui Bandara Kualanamu. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Melihat akar

Sukanda Husin, pakar Hukum Universitas Andalas, Sumatera Barat mengatakan, penerapan hukum lingkungan Indonesia belum maksimal. Dalam Pasal 9 PermenLH Nomor 13/2011 terkait status uang ganti rugi. Dalam pasal itu ada dua ayat. Pertama, menyebutkan pembayaran ganti kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 merupakan penerimaan negara bukan pajak.

Kedua, seluruh penerimaan negara bukan pajak dari pembayaran ganti kerugian lingkungan hidup wajib disetor langsung ke kas negara.

“Ini yang disayangkan,” katanya.

Menurut Sukanda, seandainya ada pengaturan uang ini bisa diaudit dan kembali ke pemulihan maka hukum lingkungan bisa.

Frenadin Agustara, pakar hukum Unand mengatakan penting sekali ada valuasi terhadap kerugian lingkungan hidup. Penghitungan kerugian akibat hilangnya satwa harusnya ada seperti valuasi baku mutu air dan semacamnya.

Persoalan ini, kata Frenadin ada di dalam UU PPLH Pasal 87 tentang ganti kerugian dan uang paksa. Dalam pertauran itu, memang lebih banyak uang paksa terkait persoalan sumber daya alam.

“Ini perlu kita jadikan pijakan berpikir,” katanya.

Terkait keabsahan penerapan ganti kerugian dan uang paksa memerlukan jabaran norma lebih lanjut secara horizontal maupun vertikal. Antara lain, Permen LH Nomor 7/2014 tentang kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.

Dia mengatakan, permen ini bertujuan memberikan pedoman bagi instansi lingkungan hidup pusat atau instansi lingkungan hidup daerah dalam dua poin. Pertama, menentukan kerugian lingkungan hidup dan kedua, melakukan penghitungan kesaran kerugian lingkungan hidup.

Dua poin ini, menurut Frenadin bisa jadi peluang untuk optimalisasi hukum dan penentuan valuasi atau nilai kerusakan. Namun, terkait satwa dan tumbuhan memang belum terlihat.

 

“Nilai valuasi lingkungan mau kita tentukan dalam bentuk apa? Case by case atau norma umum seperti baku mutu, saya lebih cenderung lebih ke kriteria baku kerusakan. Kita lihat potensi kerusakan alam apa saja dari situ,” katanya.

 

Sungai Citarum yang menghadapi masalah berat, mulai sampah, pendangkalan, hingga pencemaran. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Putusan hakim

Rebecca Nichols Pakar ilmu sosial dari Nanyang Technology University Singapore membuat riset kecil terkait memahami bagaimana latar belakang para hakim mengambil keputusan terkait kasus-kasus lingkungan.

Riset ini bertajuk Trial by Vignette: Understanding Judicial Decision-Making About Environmental Harm with The Mock Trial Approach. “Kami memutuskan dengan metode pengadilan tiruan dapat membantu mengungkap alasan hukum mereka dalam kasus lingkungan,” katanya.

Dari diskusi yang ada, kerusakan dan dampak terkait pemulihan sama pada hukum perdata. Para hakim memastikan bahwa pemulihan dapat menjadi fokus. Meskipun beberapa hal kurang diterima oleh mereka seperti aspek tidak berwujud seperti budaya atau pemulihan secara edukasional.

Sementara itu dalam proses, mereka membagi diskusi menjadi dua bagian. Bagian pertama, secara daring mereka membacakan pernyataan kasus dan gugatan dan mempertahankan argumen.Semua dilihat pada video penggugat dan pembelaan serta testimoni ahli.

“Kita juga mengembangkan video testimoni para ahli, kita punya tiga penggugat dan satu untuk pembelaan yang di dalamnya dari akademisi dan penduduk lokal dari komunitas serta park ranger,”katanya.

Dalam ringkasan penelitian dia mengatakan hakim menerima bentuk dari beberapa proses pengadilan. “Mereka menganggap tidak semua pemulihan itu setara,” katanya.

Selain itu, kesimpulan keputusan pengadilan sipil punya kekuatan untuk mempromosikan konservasi alam liar. “Tentu kita juga harus mendorong para hakim untuk berani membahas ha-hal ini,” katanya.

Dia mengatakan, metode skema percobaan pengadilan dapat menjadi alat berguna untuk memberitahu strategi dan investigasi kasus dari pengadilan.

Sukanda, mengatakan perlu diingat di Indonesia hakim itu bukan membuat hukum, tetapi hanya menerjemahkan atau menerapkan hukum.

Dia bilang, sudah beberapa kali mengadakan penataran pada hakim dan meminta mereka lebih peduli pada konservasi serta melirik praktik negara tetangga dalam penegakkannya.

“Tapi hakim selalu jawab mereka berkiblat pada hukum acara dan hukum materil. Kalau keduanya ada baru bisa mereka ambil keputusan,” kata Sukanda.

Para hakim cerita, kalau keluar dari hal itu mereka bisa ditegur hakim tinggi atau Mahkamah Agung. Untuk itu, perlu ada optimalisasi instrumen perdata untuk menggugat perbuatan perdagangan dan perusakan spesies dilindungi.

Selain itu., katanya, ahli hukum yang sepemikiran terkait konservasi ini harus berjalan bersama untuk memberikan perubahan lebih baik.

 

 

****

Foto utama: Sitaan harimau awetan dari warga yang menangkap harimau dari Taman Nasional Gunung Leuser, Langkat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version