Mongabay.co.id

Sumber Pangan Sehat Bisa dari Tanaman Pekarangan Rumah

 

 

 

 

Karyati lihai memilih pucuk daun labu di halaman rumahnya. Dia petik, kupas lapisan terluar batang, cuci dan siap jadi masakan. Pucuk labu ini biasa jadi sop, tumis maupun urap. Daun pucuk ukuran lebih kecil, batang lunak dan memiliki sulur.

Nek niki biasane dibuat sayur oyok-oyok ngenten niku, seger, niki enak. Sampun setiap hari kulo ndambel piyambak (Biasa dibuat lodeh, sayur segar dan enak. Setiap hari kami membuat sendiri),” cerita perempuan dua anak ini sambil menunjukkan petikan daun labu.

Tak hanya labu, di sekeliling rumah Karyati, ada beragam jenis tanaman bisa bermanfaat sebagai sumber pangan, baik diambil batang, umbi, daun, bunga, buah hingga biji. Mereka ada di pekarangan, kebun, alas (hutan), baik yang ditanam maupun tumbuh sendiri.

Karyati, warga Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia punya kebun pangan di pekarangan rumah. Sesekali dia ke kebun atau ke alas untuk mendapatkan berbagai jenis pangan untuk konsumsi.

“Saat hamil dan menyusui, saya biasa makan bayung dan kacang-kacangan. Seperti kacang tanah. Itu kata orangtua banyak vitamin untuk anak dan saat menyusui banyak susu,” katanya.

Saat hamil, kata Karyati, ada larangan makan daun pepaya karena ada mitos turun temurun bisa mempersempit jalan keluar bayi.

Wintaos merupakan dusun di Gunung Kidul dengan bentang alam berupa perbukitan dan pegunungan kapur dari Pegunungan Sewu. Wilayah ini dikenal sebagai daerah tandus dan sering kekeringan saat kemarau. Mayoritas masyarakat Wintaos hidup dengan bertani subsisten di ladang berbatu yang mereka kelola secara turun-temurun.

Hayu Dyah Patria, ahli teknologi pangan juga pegiat tumbuhan pangan liar mengatakan, pemaknaan pangan liar masih sangat kontekstual. Ada sosial, adat istiadat, budaya dan ekonomi yang mempengaruhi bagaimana masyarakat memberikan pemaknaan ini dan apakah memanfaatkan atau tidak.

“Pemaknaan tumbuhan pangan liar bisa bergeser jika masyarakat melihat potensi tanaman itu. Memulai budidaya dan tak mengambil dari alam liar. Itu bisa mengubah status menjadi tanaman budidaya,” katanya.

 

 

Sebenarnya, pangan banyak orang makan awalnya tumbuhan liar. Kemudian dengan campur tangan manusia, penyerbukan hewan serta teknologi menjadi sebuah tanaman yang dimakan saat ini.

Pemaknaan pangan liar dan lokal, katanya, masih sangat cair, misal, kacang gudhe kalau di Dusun Wintaos ini bisa dikonsumsi turun temurun sebagai pangan lokal dan jadi tanaman budidaya. Di Papua, tanaman ini tumbuhan liar meski beberapa ada yang memanfaatkan.

Kelor (Moringa oleifera), misal, di Jawa Timur masih tabu untuk konsumsi karena dianggap memandikan jenazah atau mengeluarkan susuk dan tidak mengonsumsi itu. Di Bali, tumbuhan ini sudah jadi bahan konsumsi bahkan sudah budidaya.

Kelor mengandung banyak vitamin, kaya antioksidan serta mengandung zat besi tinggi.

 

Masih jadi persoalan

Bagi ibu hamil, pangan menentukan kesehatan ibu dan janin. Status gizi selama kehamilan jadi satu faktor penting menentukan pertumbuhan janin. Asupan gizi ibu hamil akan berpengaruh pada berat badan lahir, angka kematian, keadaan kesehatan selama mengandung dan setelah melahirkan maupun perumbuhan bayi setelah kelahiran.

“Situasi status gizi ibu hamil digambarkan melalui prevalansi anemia dan kurang energi kronis pada ibu hamil,” kata Dhian Probhoyekni, Direktur Gizi Kementerian Kesehatan.

Penelitian Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia menunjukkan, angka anemia ibu hamil di Indonesia mencapai 50-63%, dan 51% wanita hamil menderita anemia menyebabkan kematian hingga 300 jiwa per hari.

Berdasarkan Profil Kesehatan Yogyakarta 2019, angka prevalensi anemia ibu hamil di Yogyakarta masih mengalami kenaikan, sekitar 16,09% (2016), 14,32% (2017), 15,21% (2018) dan 15,21% (2019). Kabupaten Gunung Kidul menempati posisi kedua yakni 21,24% lebih tinggi dari rata-rata provinsi, setelah Kota Yogyakarta yang mencapai 20,65%.

Sementara itu, prevalensi ibu hamil yang kekurangan energi kronis (KEK), yakni kekurangan kalori dan protein yang berlangsung menahun ini terus meningkat. Prevalensi ibu hamil yang menderita KEK di Yogyakarta adalah 9,11% (2015), 10,39 % (2016) 10,70% (2017), 11,76 (2018) dan 12,68 (2019).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, Gunung Kidul menjadi salah satu dari 4 kabupaten di Yogyakarta yang memiliki persentase melebihi angaka kemiskinan nasional, mencapai 18,30%.

Pada 2020, garis kemiskinan di Yogyakarta meningkat 0,42%. Dalam Asian Congress of Nutrition 2019, pemerintah menyebutkan ada kaitan kasus kekurangan gizi dengan faktor kemiskinan. Hal ini berkaitan dengan masalah gizi dan nutrisi.


Indonesia memiliki tiga beban masalah gizi (triple burden) yaitu stunting, wasting dan obesitas serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia. Dhian mengatakan, masalah gizi pada ibu hamil sangat mempengaruhi perkembangan otak anak, produktivitas dan kinerja di sekolah yang dapat berakibat mengurangi kemampuan untuk mendapatkan penghidupan yang layak di kemudian hari.

Monika Swastyastu, peneliti Bakudapan Food Study Group, lembaga yang memiliki perhatian dalam isu pangan menyebutkan, pangan liar tidak bisa lepas dari pengetahuan perempuan tentang pangan, jarang ditulis, terpinggirkan dan tidak menjadi arus utama dalam kedaulatan pangan.

“Padahal, pangan liar yang dianggap gulma memiliki banyak potensi dalam hal nutrisi, resistensi tinggi terhadap perubahan iklim, tidak memerlukan banyak perawatan untuk pangan di masa depan,” kata pimpinan proyek Buku ‘Yang Liar Memberi Harapan’ ini.

Berbicara terkait tanaman pangan liar tidak lepas dari pertanian industri pada 1970 yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan kelaparan lebih dari satu miliar orang, melalui revolusi industri.

Lima dekade berlalu, laporan Global Hunger Index (GHI) 2020, menyebutkan, Indonesia kali pertama lolos dari level ‘serius’ dan masuk kategori moderat dengan skor 19,1, menempati urutan 70 dari 107 negara. Sebelumnya, Indonesia selalu menempati level ‘mengkhawatirkan.’

Ada lima kategori dipakai GHI, yaitu, tingkat kelaparan kategori rendah, skor kurang dari 9,9; berturut-turut tingkat moderat (skor 10-19,9); serius (skor 20-34,9); mengkhawatirkan (skor 35-49,9) dan ranking terbawah: sangat mengkhawatirkan (skor lebih dari 50).

Indeks ini, kata Hayu Dyah cukup menyesakkan. Pasalnya, Indonesia memiliki keragaman hayati cukup tinggi, baik tumbuhan maupun satwa tetapi kelaparan dan malnutrisi jadi permasalahan menahun masyarakat.

“Ini disebabkan ada masa dimana revolusi hijau terjadi, tanaman pangan didominasi monokultur. Keberagaman pangan mulai diabaikan dan malnutrisi terjadi.”

 

Beragam tanaman pangan di pekarangan warga Dusun Wintaos, Yogyakarta. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pangan pekarangan jadi solusi

Tanaman pangan di pekarangan rumah atau sekitar rumah bisa solusi memperbaiki nutrisi masyarakat, baik tumbuhan pangan liar maupun tanaman pangan lokal. Dyah mengatakan, status gizi masyarakat bisa didapat dari yang ada di sekeliling dan mudah terjangkau.

Tumbuhan pangan liar, katanya, masuk akal menjawab situasi nutrisi masyarakat. “Tanaman ini bisa didapat tanpa uang. Tinggal petik, dengan kandungan gizi tidak kalah dari tanaman budidaya,” katanya.

Karyati bilang, pangan lokal di sekitar rumahnya dari benih yang tersimpan turun termurun. Ada yang tumbuh sendiri, ada ditanam.

Ini asalnya dari bibit orangtua dan dilestarikan. Kemudian tersebar. Ini kami budidaya.”

Sekitar tahun 1950, benih di Wintaos beragam dan dikonsumsi terus menerus. Benih pangan pokok antara lain, padi, jagung putih, dan kuning, sorgum merah dan putih, jewawut, jali-jali, dan beragam umbi seperti singkong, kimpul atau talas, uwi, ganyong dan gembili.

Sedangkan sayur dan kacang-kacangan seperti cabai, terong, cokak, mlinjo, kluwih, turi, kenikir, benguk, koro, kecipir, benguk, gudhe, kacang ijo, kedelai hitam dan lain-lain.

Karyati bilang, dalam keseharian kebutuhan karbohidrat, mineral dan vitamin dari pekarangan rumah. Kalau kebutuhan rumah sudah terpenuhi, biasa dia akan menjual ke pasar untuk membeli lauk pauk lain.

Baik Hayu maupun Monika mengatakan, pangan liar dan pangan lokal ini masih minim kajian dan dokumentasi. Tumbuhan ini dianggap tak memiliki nilai keekonomian, sering dipandang sebelah mata oleh pemangku kebijakan. Padahal, beberapa penelitian menyebutkan tanaman ini memiliki kandungan vitamin, mineral cukup tinggi.

Dia sebutkan, seperti krokot kandungan omega 3 tinggi dalam 100 gram daun dalam membantu mencegah perkembangan anak dengan ADHD atau hiperaktif, autisme, dan gangguan perkembangan otak pada anak. Tumbuhan pacar air, memiliki kandungan antioksidan tinggi dan mempermudah persalinan. Tumbuhan jelantang memiliki kandungan vitamin A, C, D, kalsium tinggi dan zat besi untuk mengobati anemia dan mengatasi kelelahan pasca melahirkan.

“Keberagaman pangan menjadi penting dalam pola konsumsi masyarakat. Ada penelitian menyebutkan. jika bisa mengonsumsi 30 jenis tanaman berbeda, mikro biota usus bakteri baik bisa tumbuh subur,” kata Hayu.

Selama ini, masyarakat hanya berhadapan dengan jenis pangan sayuran yang monoton di pasar. Ilmu gizi dengan konsep ‘rainbow food’, yakni konsumsi pangan dengan warna beragam pun memberikan nutrisi yang baik bagi tubuh.

“Pengolahan pangan dari tumbuhan-tumbuhan liar maupun lokal ini jadi tantangan,Ppenting perannya untuk memiliki daya tarik dalam konsumsi.”

Pengetahuan tanaman pangan liar dan lokal ini, katanya, perlu terus terjaga agar tak punah. Beragam pangan ini berperan dalam peningkatan gizi warga.

 

****

Foto utama: Sumber pangan dan pemenuhan nutrisi Karyati dan keluarga ada di pekaran rumah. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version