Mongabay.co.id

Anak Muda Tumpuan Masa Depan Biodiversitas, Mengapa?

Poster kampanye satwa dari Komunitas Fotografi Satwaliar Halmahera. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Anak muda adalah duta masa depan. Mereka juga duta dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup termasuk kekayaan keragaman hayati Indonesia.

Sri Fatmawati,    Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Akademi Ilmuan Muda Indonesia (ALMI) mengatakan, penting mendengarkan suara anak muda sebagai generasi penerus bangsa. Di tangan mereka juga, tugas menjaga dan mengelola kekakayaan biodiversiats Indonesia, dengan menggunakan ilmu pengetahuan dengan bijak dan berkelanjutan.

“Kita semua akan meneruskan kekayaan itu kepada anak cucu. Salah satu pesan penting generasi muda dan harus diingat, ekonomi sangat bergantung pada alam. Kita tak bisa hidup di luar alam,” katanya dalam seminar online Maret lalu.

Anak muda, katanya, merupakan duta masa depan Indonesia termasuk duta keunggulan biodiversitas negeri ini.

Yanuar Nugroho, ilmuan pada lembaga penelitian independen, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) mengatakan, cara hidup dan mengejar kemajuan manusia saat ini sudah sampai tahap membahayakan.

Mau tidak mau, katanya, seluruh penghidupan manusia dan kesejahteraan mereka bergantung pada aset paling berharga yakni alam.

Manusia, katanya, perlu alam untuk makan, minum membuat tempat tinggal sampai membuang sampah. Saat ini, alam tak lebih dari barang ekonomi. Padahal, alam sangat penting karena aset paling mendasar.

Dengan biodiversitas memungkinkan alam jadi produktif, berdaya tahan dan mudah beradaptasi. Di sini, kata Yanuar, peran anak muda sangat menentukan.

“Apapun dan di mana yang dikerjakan anak muda, 10 atau 20 tahun ke depan akan sangat menentukan arah bangsa ini.”

Dia bilang, pemenuhan kebutuhan manusia saat ini lebih besar dari yang mampu disediakan alam hingga bisa membahayakan.

“Kita manusia gagal mengelola alam. Saat ini, modal yang ditanam meningkat dua kali lipat tetapi setok dari natural kapital turun. Dengan kata lain, jika cara hidup manusia seperti sekarang, maka bumi ini tidak akan mampu memenuhi kebutuhan manusia.”

 

Komunitas Fotografi Satwaliar Halmahera , salah satu komunitas muda yang berusaha memberikan kesadaran soal kekayaan keragaman hayati Halmahera dan bagaimana tetap menjaganya lewat fotografi. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Yanuar bilang, memang manusia sudah kelihatan hidup nyaman, pakai mobil, motor atau makan makanan bergizi.

“Kita juga bisa lihat berapa banyak hutan dirusak. Karena itu penting dipahami hubungan manusia dengan alam yang tidak berkelanjutan sangat membahayakan generasi sekarang dan akan datang,” katanya.

Dia contohkan, anak muda yang pacaran sekarang berpikir, kalau menikah dan punya anak cucu apakah masih bisa hidup menikmati air bersih atau udara bersih atau tidak.

Saat ini saja, katanya, tingkat kepunahan biodiversitas 100 -1.000 kali lebih tinggi dan terus meningkat. Hubungan manusia dan alam yang tak berkelanjutan, katanya, membahayakan kemakmuran generasi sekarang dan masa depan.

Eksploitasi alam juga, katanya, yang membuat negara berkembang dan negara miskin makin tergantung kepada negara kaya dan kesenjangan makin besar.

Perlu dipahami, katanya, negara kaya itu tidak jualan hasil hutan dan tambang. Ekonomi mereka tak lagi berbasis eksploitasi komoditi melainkan berbasis pengetahuan dan inovasi.

Sebagai ilmuan yang pernah bekerja pada kekuasaan, dia menemukan inti masalah pada kegagalan institusional yang mengakar dan meluas. Tugas institusi itu, katanya, menyadarkan warga tetapi yang terjadi, pemerintah membayar orang untuk merusak alam, tak berkelanjutan dan melindungi prioritas ekonomi. Yang dia maksud institusi publik baik negara, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil.

Yanuar contohkan, cara membangun dengan reklamasi, bangun pertanian dengan membuka ribuan hektar hutan untuk food estate di Kalimantan.

“Kita biarkan hutan dibuka untuk perkebunan sawit serta tambang batubara. Secara konservatif total biaya subisidi global yang merusak alam diperkirakan sekitar US$4-6 triliun per tahun,”katanya.

Anak muda, katanya, perlu mengubah cara berpikir dan bertindak dalam mengukur sebuah kesuksesan. Dia bilang, ada tiga transisi besar. Pertama, memastikan permintaan manusia pada alam tidak melebihi pasokan.

Kedua, mengubah ukuran sukses ekonomi untuk memandu di jalur yang lebih berkelanjutan. “Misal, ukuran sukses ekonomi itu tidak tinggal di kota besar, atau rumah bukan tiga lantai dan lain sebagainya. Negara maju itu bukan berarti semua warga negara punya mobil. Negara maju itu kalau semua rakyatnya termasuk orang kaya juga naik kendaraan umum.”

 

Potret Muhammad Fatihul Umam (30) sosok pemuda milenial yang mampu meningkatkan ekonomi dengan madu klanceng di Desa Kalipoh, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

 

Saat ini, katanya, ukuran kesuksesan ekonomi itu lebih ke konsumsi, seperti tingkat penjualan mobil.  “Nah, cara berpikir itu bisa kita ubah atau tidak.”

Ketiga, mengubah institusi dan sistem terutama sistem keuangan dan pendidikan.

“Masa depan itu tidak diperkirakan, tidak juga diprediksi apalagi diramalkan. Masa depan itu direncanakan, dibentuk dan dirancang bersama.”

Sheherazade, pendiri Komunitas Tambora Muda Indonesia mengatakan, survei nasional oleh USAID untuk melihat opini publik mengenai isu lingkungan Juli 2018 memperlihatkan kalau soal lingkungan bukan hal mendesak. Menariknya, di kalangan pemuda menyebutkan, izu lingkungan paling mendesak.

“Ini salah satu bukti sebenarnya anak muda bagian dari alam. Generasi muda punya pemahaman jauh lebih tinggi.”

Di Tambora, katanya, mereka mengadvokasi dan mengomunikasikan isu lingkungan dengan peran manusia dalam konservasi.

“Jadi kita paham, nilai keragamanhayati Indonesia yang sangat tinggi kemudian merasa urgen untuk konservasi biodiversitas dan pengarusutamaan isu ini ke berbagai kalangan,” katanya.

Lembaganya juga mendorong berbagai upaya pembangunan berkelanjutan. Sesuai visi, komunitas ini ingin meningkatkan kapasitas anak muda yang berkiprah atau ingin bekerja di dunia konservasi.  Dengan begitu, mereka bisa melakukan penelitian dan mendesain formula konservasi sesuai tantangan saat ini.

Setelah itu, katanya, memformulasikan upaya yang baik dengan pembangunan berkelanjutan. Selama lima tahun ini, Tambora Muda sudah melatih 1.500 mahasiswa guna meningkatkan kapasitas mereka dan memasukkan elemen kepemimpinan.

Dhita Mutiara Nabela dari Basic Income For Nature and Climate di Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) juga membangun komunitas pemuda yang berkecimpung dalam isu perubahan iklim dengan membuat Komunitas Cerita Iklim.

Dia bilang,  manusia tergantung dengan alam. Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam melimpah. Untuk itu, perlu berbagai disiplin ilmu agar saling menautkan.

 

Aisyah (duduk, empat dari kiri) bersama para pemuda lintas komunitas yang belajar pengelolaan sampah di Bank Sampah NTB Mandiri. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

****

Foto utama: Poster kampanye satwa dari Komunitas Fotografi Satwaliar Halmahera. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version