Mongabay.co.id

Sri Hartini, Saat Perempuan Ambil Bagian Jadi Pelindung Hutan Wonosadi

 

Sri Hartini sebenarnya hanya menjalankan kata-kata bapaknya; menjaga hutan di atas rumah mereka. Lebih dari satu dasawarsa lamanya, perempuan 51 tahun itu menjalankan titah itu agar keberlangsungan air terus mengalir, suplai udara yang sehat, hingga tercipta lingkungan nyaman bagi penduduk Desa Beji, Ngawen Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.

Sri sekarang dipercaya warga untuk menjadi Ketua Kelompok Ngundi Lestari, sebuah kelompok inisiatif masyarakat yang menjaga Hutan Adat Wonosadi di Desa Beji.

Pagi itu, dia merebahkan di bawah pohon asem jawa (Tamarindus sp) yang besar batangnya seukuran kebo. Entah, berapa tahun umur pohon yang kerap ditanam di perkantoran era kolonial itu. Yang jelas pohon itu telah tumbuh sejak bapaknya bercerita tentang Kerajaan Majapahit dibawah kemimpinan Brawijaya V yang bertapa ke hutan ketika kalah perang dengan Kerajaan Demak.

“Di sinilah kami selalu menggelar upacara sadranan tiap tahun,” kata Sri beberapa waktu lalu di Puncak Gunung Wonosadi.

Katanya, hutan sekitar seluas 25 hektar ini merupakan warisan turun-temurun. Mungkin karena itu jika dibedah dari namanya, wana berarti hutan dan sadi merupakan sandi, “Jadi, hutan ini disakralkan karena ada keterkaitan dengan leluhur, seolah sebuah sandi.”

Berada di paling ujung timur dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, hutan seluas 25 hektar ini berada di dua wilayah dusun yaitu Dusun Duren dan Dusun Sidorejo. Dulu tanah ini merupakan tanah Oro-Oro. Namun, kini sudah berstatus hutan adat.

 

Sri Hartini (51), Ketua Kelompok Ngundi Lestari di Hutan Adat Wonosadi Desa Beji, Ngawen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Salah satu tugas Sri adalah menjaga hutan seluas 25 hektare. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia.

 

Sri mengamini prinsip sang bapak sebagai pijakannya, “Janganlah meninggalkan air mata, tetapi tinggalkanlah mata air.”

Pengalaman buruk itu tidak ingin dia ulangi lagi. Pada periode tahun 1960-1965 hutan gundul membuat paceklik berkepanjangan. Para petani makan hati karena mereka gagal panen, ibu-ibu kelimpungan mengatur air untuk memasak hingga bapak-bapak kerepotan membawa jerigen air ke rumah.

Berdasarkan cerita mendiang bapaknya, Sudiyo, saat itu hutan banyak dipolitisasi, lalu terjadilah penggundulan hutan secara sporadis. Yang tersisa hanyalah Lembah Ngenuman yang menjadi pusat hutan Wonosadi.

Seiring perubahan politik di masa Orde Baru, pemerintahan mulai berjalan normal. Kegiatan penghijauan digalakkan. Pamong desa dipilih kembali serta kebijakan baru mulai dijalankan. Lurah Desa membuat kesepakatan dengan warga untuk memulihkan hutan. Kemudian dibentuklah kelompok warga untuk pemulihan hutan yang diberi nama Ngudi Lestari.

Masyarakat bersepakat untuk tidak merusak apa pun yang tumbuh secara alami. Tidak hanya itu, mereka bergotong-royong melakukan pengamanan hutan.

Buah manis kepedulian itu pun panen kebanggaan. Hutan Wonosadi terpilih menjadi kawasan percontohan pengelolaan hutan rakyat hingga ditetapkan jadi hutan adat. Hasilnya beberapa waktu lalu mereka meraih penghargaan di tingkat nasional serta kader lingkungan hidup.

 

Kegiatan merawat mata air oleh Kelompok Ngundi Lestari di Hutan Adat Wonosadi Desa Beji, Ngawen, Gunung Kidul, Yogyakarta.

 

Sering Diremehkan

Sebagai seorang istri dan ibu dua anak, Sri juga tak melupakan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Suami Sri, seorang pensiunan pegawai negeri selalu menguatkan dirinya untuk semangat tanpa pamrih. Pasalnya, upah Sri dari Jagawana hanya dibayar Rp 50.000, itupun diterima tiap tiga bulan sekali. Adapun anggota lain yang juga kebanyakan adalah perempuan mendapat upah Rp 25.000 per bulan.

“Tetapi kami tidak mempersoalkan itu, sebab semua ini semata-mata tentang kebermanfaatan,” Sri menegaskan.

Sri juga bilang bahwa kadang orang suka menganggap remeh apa yang telah dia kerjakan, karena dia perempuan dan ditempatkan dalam posisi subordinasi di belakang laki-laki.

“Tetapi bapak tidak begitu. Dia memberi ruang sekaligus dorongan bahwa perempuan bisa berdaya,” tutur Sri mengenang.

 

Menjaga alam menjadi bagian untuk  melestariakan budaya lokal. Foto: Donny Iqbal

 

Melestarikan Alam, Melestarikan Budaya

Sri diajar dalam lingkungan yang lekat dengan budaya Jawa. Di sana dia diwajibkan bisa menjalankan tradisi adat. Kesenian bagi masyarakat setempat adalah benteng terakhir menjaga budaya mereka yang dekat dengan alam.

Mereka mewarisi upacara labuh yaitu upacara mulai menanam sampai panen padi yang dikenal Mboyong Dewi Sri (membawa padi dari sawah ke rumah). Upacara lainnya yang masih dilaksanakan hingga kini disebut Bersih Dusun atau Sedekah Bumi atau Rasulan. Ritual yang paling terkenal dan berhubungan dengan eksistensi hutan Wonosadi adalah Sadranan Wonosadi. Ritual ini, biasanya dihadiri banyak orang.

Dalam kegiatan tersebut kerap dimainkan kesenian rinding gumbeng yang nilai filosofinya adalah cerminan kehidupan keseharian warga Gunung Kidul yang ulet, sederhana, serta dekat dengan alam.

Sri menceritakan, jika kesenian tersebut merupakan warisan nenek moyang, ketika para leluhur masih memuja Dewi Sri sebagai dewi padi, mereka lalu menciptakan alat musik rinding dan gumbeng dari bambu yang banyak tumbuh di sekitar permukiman penduduk. Saat ini, kesenian tersebut hanya bisa ditemui di Duren, Beji, Ngawen.

Perlu bakat tersendiri untuk memainkan alat musik rinding gumbeng. Berkali-kali pula rinding gumbeng dipentaskan di tingkat provinsi maupun nasional.

 

Kesenian Rinding Gumbeng yang masih eksis di Beji, sebagai pengejawantahan budaya setempat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di bawah pohon besar itu, Sri meniup rindingnya, berupa bambu pipih berukuran panjang 20 sentimeter, sambil talinya dientak-entakkan. Udara di antara tali sepanjang lima sentimeter yang menegang di ujung bambu pun bergetar, menimbulkan suara beung… beung….

Getaran itu muncul dari embusan napas dari bibir yang menjepit bagian atas dan bawah rinding.

Petang hari, Sri mesti latihan rinding. Dia diminta tampil untuk acara pentas di desa setelah dikabari oleh Kades Beji, Sri Idayanti. Beruntung Bu Kades itu, selalu mendukung untuk melestarikan kearifan lokal supaya tidak punah, katanya.

“Mungkin karena sesama perempuan kita jadi saling menguatkan.”

Setiap kali memainkan rindingnya, Sri mengaku jiwanya selalu ikut tergetar. “Seakan seluruh penghuni alam bisa ikut merinding,” imbuhnya. Karena itu, ia percaya mengapa nenek-moyangnya menyebut alat musik ini rinding.

Temaram pun tiba, alunan rinding dan gumbeng menghasilkan harmoni indah. Dari alat-alat yang begitu sederhana, terciptalah orkestra musik yang mampu membuai sukma bagi penghayatnya.

Para pemain memainkan musiknya dengan sepenuh hati. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu sarat akan petuah elingan, seperti Emplek-emplek Ketepu, Ilir-ilir, atau Wonosadi. Kedua anaknya tampak ikut terlibat diantara 20-an orang yang mengikuti Latihan. Dan Sri begitu menghayati saat menyanyikan lagu.

Sesuai penuturan bapaknya, Sri mengatakan musik rinding secara turun-temurun dipercaya semata dipersembahkan dan untuk menyenangkan Sang Penguasa Alam. Musik ini diyakini sebagai musik pertama yang diciptakan manusia, jauh sebelum manusia mengenal logam. Karena itu, rangkaian alat yang digunakan hanyalah bahan dari bambu.

Apabila ditinjau dari tafsir antropologi sosial, maka masyarakat di sana percaya pada hukum adat yang tak tertulis di Hutan Wonosadi. Jika dilanggar, malapetaka akan menimpa.

Sejauh ini, aturan ini efektif menjaga segala macam flora dan fauna di dalamnya, termasuk menjaga mata air yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan untuk ratusan manusia.

Saat ditanya sampai kapan dia akan berjuang? Sri sendiri tak bisa menjawab.

Dia pun hanyut dalam refleksi dengan menyanyikan lirik yang bapaknya ciptakan, saat kelestarian alam itu harus jadi asa yang mesti diperjuangkan.

 

***

Foto utama: Sri Hartini di tengah Hutan Adat Wonosadi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version