Mongabay.co.id

Menanti Perda Perlindungan Masyarakat Adat di Sumatera Utara

 

 

 

 

Malam itu, Desa Pandumaan Sipituhuta, Humbang Hasundutan, riuh. Pekik histeris anak-anak dan perempuan memecah kesunyian malam. Ratusan aparat dari Polda Sumatera Utara  menyisir wilayah Pandumaan Sipituhuta. Mereka mencari orang-orang adat yang jadi target untuk ditangkap. Kejadian ini sekitar delapan tahun lalu. Warga Pandumaan-Sipituhuta berjuang keras mempertahankan hutan adat mereka yang masuk dalam konsesi perusahaan, PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Perjuangan gigih warga bertahun-tahun ini mulai membuahkan hasil. Pemerintah Humbahas sudah keluarkan peraturan daerah mengenai masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta. Pemerintah pusat pun tetapkan hutan adat Haminjon, walau dengan luasan lebih kecil dari usulan.

Kasus lain, pada Mei 2017, Dirman Rajagukguk, Ketua Adat Tungko Ni Solu, dari Desa Parsoburan Barat, Toba, kena penjara karena membersihkan tanah adat yang masuk konsesi TPL. Dia juga dituduh tebang pohon pinus dan kena jerat UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dan tindak pidana pencurian.

Pada September 2019, pengambilan paksa tanah adat Sigapiton di Kecamatan Ajibata, Toba. Mereka berkumpul di tanah ada membawa berbagai spanduk menolak pengambilan paksa tanah adat oleh Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT). Ada juga  konflik masyarakat adat yang mempertahankan tanah ulayat di lahan hak guna usaha PTPN II.

 

Baca juga: DPRD Sumut Inisiatif Usung Perda Masyarakat Adat

 

Kasus terbaru juga terjadi pada Komunitas Adat Huta Natumingka, Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Toba. Tiga orang adat, Anggiat Simanjuntak (50), Pirman Simanjuntak (45), dan Rina Sitohang (45). TPL melaporkan tiga orang ini ke polisi dengan tuduhan perusakan tanaman.

“Kami tidak pernah merusak tanaman milik perusahaan TPL. Kami hanya bertani, berladang di tanah adat kami yang diklaim itu wilayah konsesi mereka,” kata Natal Simanjuntak, Ketua Komunitas Adat Huta Natumingka.

Agustin Simamora, Biro Advokasi AMAN Tano Batak mengatakan, kalau melihat kasus ini, upaya kriminalisasi hanya untuk melemahkan dan menghentikan masyarakat adat yangmemperjuangkan ruang hidup mereka.

Menurut dia, akar konfllik antara masyarakat adat dengan perusahaan karena pemberian izin tanpa terlebih dahulu mengakui masyarakat adat sebagai pemangku wilayah adat.

Hal ini, katanya, merupakan pangkal atau akar konflik. Untuk itu, menghentikan konflik harus mulai dengan kaji ulang izin TPL di Huta Natumingka. Kemudian. Pemerintah Toba harus melakukan percepatan penerbitan surat keputusan  Bupati Toba soal penetapan masyarakat adat dan wilayah adat Natumingka.

Atas kasus Huta Natumingka ini, AMAN Tano Batak mendesak,  pertama, Kepolisian Resor Toba menghentikan upaya kriminalisasi dan membebaskan tiga orang adat Natumingka dari tuduhan TPL. Kedua, Kepolisian Resor Toba mendahulukan pendekatan restorative justice dalam menyikapi permasalahan, tidak sebatas penerapan legal formil.

Kasus kriminalisasi dan perampasan tanah adat di Sumut terus terjadi.  Beberapa pekan lalu Masyarakat Adat Rakyat Penunggu di Deli Serdang, pun mulai resah karena ada proyek Deli Megapolitan. Proyek ini bakal mengusir mereka dari tanah yang sudah jadi tempat hidup mereka.

Dari kasus Pandumaan-Sipituhuta sampai keresahan Rakyat Penunggu, di Deli Serdang, baru sebagian kecil contoh konflik tenurial yang terjadi di Sumut. Banyak kasus pengambilan paksa tanah ulayat bahkan berujung kriminalisasi atau memenjarakan masyarakat adat.

Harun Nuh, Ketua Dewan AMAN Wilayah Sumut mengatakan, perlu payung hukum untuk penyelesaian berbagai kasus perampasan lahan yang menimpa masyarakat adat ini.

 

Mrakat Adat Tanah Batak, protes atas penguasaan hutan adat oleh berbagai perusahaan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

UU dan Perda Masyarakat Adat

Untuk melindungi masyarakat adat, katanya, harus segera pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Tahun ini, RUU ini masuk prolegnas lagi, setelah pembahasan selama dua periode pemerintahan tak kunjung ada pengesahan.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat ini sangat penting, katanya, sebagai payung hukum melindungi masyarakat adat.

Meskipun begitu, katanya, sembari menanti UU Masyarakat Adat, perjuangan terus berjalan di level kabupaten/kota maupun provinsi di Sumut, agar ada pengesahan peraturan daerah buat melindungi masyarakat adat. Di level provinsi, Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat yang jadi inisiatif DPRD Sumut ini hingga kini belum ketuk palu. Masyarakat adat di Sumut, sudah menanti lama perda ini.

“Ketika mendatangi gedung dewan, seluruh fraksi menjanjikan pada 2020 Perda Masyarakat Adat Sumut akan disahkan. Hanya janji manis sampai 2021, tak ditepati,”  katanya.

Konflik tenurial yang ada belum ada penyelesaian, masalah baru bisa muncul kala belum ada kejelasan perlindungan bagi masyarakat adat. Pemerintah, katanya, harus mengajak kerjasama masyarakat adat dalam mengelola wilayah terlebih kalau mau menggunakan tanah adat untuk pembangunan.

Kalau kerjasama atau pelibatan masyarakat adat berjalan, kata Harun, bisa menekan konflik-konflik tenurial antara masyarakat dan pemerintah maupun pengusaha.

Masyarakat adat, katanya, tidak menghalangi pembangunan, tak anti pemerintah dan tak anti investor. Namun, katanya, harus ada komunikasi dan diskusi dengan masyarakat adat dalam proses pembangunan terlebih kalau melewati wilayah adat.

“Selama ini, masyarakat adat hanya jadi penonton. Peribahasa mati di lumbung padi dan dikriminalisasi ketika mengambil kembali tanah adat yang direbut paksa. Ini tidak boleh lagi terjadi.”

 

Kampug Menteng Talang Pusu, resah karena wilayah adat mereka teranca proyek Deli Megapolitan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

***

Di Sumut, tuntutan dari berbagai pihak agar pemerintah daerah membuat peraturan daerah tentang masyarakat adat beberapa membuahkan hasil. Setidaknya, di Sumut, ada empat perda terbit di Kabupaten Langkat, Toba, Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara. Perda Masyarakat Adat di Tapanuli Utara ini sah pada 16 Desember 2020.

Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan, pengesahan perda di Kawasan Danau Toba  sebagai pintu awal menyelesaikan konflik berkepanjangan selama ini antara masyarakat adat dengan perusahaan maupun pemerintah.

Perda ini, katanya, masih perlu proses untuk menindaklanjuti, seperti surat keputusan bupati yang menetapkan masyarakat adat dan wilayah adat. Nanti, surat keputusan bupati ini, yang akan dipakai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelesaikan konflik dan mengeluarkan wilayah-wilayah adat dari klaim hutan negara dan konsesi perusahaan.

Di Tapanuli Utara, AMAN Tano Batak berhasil mengidentifikasi 15 komunitas adat atau huta. Adapun  konflik terbanyak di Tapanuli Utara yaitu masyarakat adat dengan TPL dan klaim hutan negara. Konsesi TPL ada di tujuh kabupaten antara lain, Tapanuli Utara, Toba, Humbang Hasundutan (Humbahas) dan Samosir.

Roganda bilang, konflik masyarakat adat dan pemerintah karena ada klaim sepihak dari negara yang menetapkan wilayah adat, termasuk hutan adat, sebagai hutan negara. Ketika Departemen Kehutanan menerbitkan izin kepada TPL dasarnya adalah hutan negara.

Wina Khairina, periset dari Articula mengatakan, dengan pengesahan Perda Masyarakat Adat Tapanuli Utara,  bisa jadi pemantik dan daya ungkit tambahan bagi DPRD dan Pemerintah Sumut segera mendorong pengesahan Ranperda Masyarakat Adat.

Bagi Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) pengesahan perda di Tapanuli Utara ini jadi semacam desakan penyelesaian konflik tenurial yang berujung kiriminalisasi. Terlebih, katanya, di Tanaluli Utara, banyak warga alami kriminalisasi karena memperjuangkan wilayah adat mereka.

Saurlin Siagian, Ketua Perkumpulan Hutan Rakyat Institute (HARI) berharap, dengan ada perda, bisa menyelesaikan konflik agraria dan mengantisipasi potensi konflik. Apalagi, katanya, Sumut jadi sasaran investasi skala besar.

Dia bilang, Perda Masyarakat Adat ini, sebenarnya tak ada usulan atau upaya pemerintah. “Ini murni didorong masyarakat dan tidak termasuk dalam skenario rezim atau pemerintah saat ini. Kalau pemerintah agendanya benar-benar berbeda.”

Menurut dia, ada dua agenda sedang berjalan bersamaan. Pertama, agenda rezim dan kedua, agenda rakyat. Agenda rezim, katanya, bagaimana menyelamatkan ekonomi di tengah COVID-19 dan memperluas sebesar-besarnya peluang investasi. Sedangkan, agenda kerakyatan sudah hilang.

Yang dikerjakan pemerintah, kata Saurlin, bagaimana menarik investor, tidak memikirkan urusan rakyat, sosial dan nasib rakyat kecil serta tidak memikirkan masalah lingkungan dan kesejahteraan rakyat.

“Korban kebijakan negara saat ini berimbas pada rakyat kelas paling bawah, rakyat sulit mengakses kesehatan bertemu dengan dokter karena faktor ekonomi dan akses sulit,” katanya.

 

Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil di Sumatera Utara, mendesak pengesagan RUU Masyarakat Adat dan Perda Masyarakat Adat di Sumut. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version