Mongabay.co.id

Gubuk Tani Milenial, Komunitas Muda Mudi Bertani Organik di Madura

Ikhwan sedang mengecek bibit tanaman yang mengalami kerusakan di Sekretariat Gubuk Tani Milenial ( foto Gafur Abdullah)

 

 

 

 

 

 

Namanya Chairul Ikhwan. Dia pendiri Komunitas Gubuk Tani Milenial. Gubuk Tani Milenial ini merupakan komunitas pertanian sekelompok anak muda. Mereka berkomitmen untuk bertani dengan ramah alam dan menjaga lingkungan hidup.

“Ya beginilah kondisi daerah kami. Hawanya panas. Mungkin karena berdempetan langsung dengan laut,” katanya.

Komunitas itu lahir di Dusun Song-osong, Desa Aeng Sareh, Kecamatan Sampang, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Secara geografis, letak Desa Aeng Sareh berada di pinggir Kota Sampang, tepatnya di barat daya.

Ikhwan bercerita Ikwal keprihatinan melihat masyarakat sekitar hingga terbentuk Gubuk Tani Milenial. Dia melihat, banyak orang bercocok tanam itu hanya ikut-ikutan. “Orang lain bertani tembakau, ikutlah tanam tembakau. Orang lain tanam padi, ikutlah tanam padi. Budaya bertani dengan cara ikut-ikutan itu akan memengaruhi harga hasil pertanian,” katanya awal April lalu.

Kondisi itulah yang mendorong Ikhwan berpikir bagaimana cara mengubah pandangan masyarakat agar tidak berpatokan pada cara bertani dengan budaya ikut-ikutan.

Dia punya lahan sekitar setegah hektar, letak di dataran tinggi, secara administrasi masuk Desa Aeng Sareh.

Lahan-lahan di sana ditanami tanaman jangka panjang seperti jati, mahoni, dan tanaman keras lain. Ini jenis tanaman yang bertahan kala kemarau. Di sana tak ada sumber air. Ingin membuat sumur bor tak memungkinkan karena dataran tinggi.

Kala itu, akses menuju ke sana masih kendala.

 

Baca juga: Para Pertani Organik dari Lereng Merbabu

Komunitas Gubuk Tani Milenial dengan produk olahan dari hasil pertanian mereka. Foto: Chairul Ikhwan

 

Baru pada 2016, Ikhwan mencoba tanam tanaman buah, dan sayur-mayur, seperti kedondong, kacang, nanas, terong, bayam. Sayangnya, sebagian tanaman itu saat kemarau tidak mampu bertahan.

Pada 2017, dia mendapatkan kesempatan belajar dan ikut pelatihan di Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan, Malang.”Di sanalah, kami coba bertanya soal tanah sampai tanaman apa yang cocok untuk tanah jenis tertentu,” katanya.

Dalam forum pelatihan itu dia temukan jawaban tentang tanaman yang bertahan di musim kemarau. “Kami tanam mangga dan pisang. Memang sebelumnya kami tanam mangga 40 bibit tapi banyak mati karena digigit ternak masyarakat, terutama kambing,” kata Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura ini.

Setelah dari pelatihan, dia tanam 50 bibit pisang, sekarang sudah 400 batang dari berbagai jenis. Saat ini, setiap hari dia dan komunitasnya bisa panen minimal lima tandan.

“Dari waktu ke waktu saya sendirian. Saya berpikir, tidak mungkin jika tetap mengerjakan semua itu seorang diri. Saya coba kumpulkan teman yang saya kenal dulu. Saya juga pilah, dalam artian mereka yang memang punya jiwa di pertanian,” katanya.

Bermodalkan jejaring teman di banyak organisasi dengan ragam kultur, Ikhwan mencoba bertanya dari satu teman ke teman lain. Ternyata banyak juga suka pertanian. Dia pun mengajak beberapa teman membuat komunitas Gubuk Tani Milenial ini.

Antara lain dia ajak Insanul Mubarok, yang punya pertanian hidroponik di rumahnya. “Saya coba ajak Insan, alhamdulillah mau.” Terkumpullah sekitar lima orang dan mereka melihat lahan.

Setiba di lahan, Ikhwan menjelaskan apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Setelah survei lahan, mereka sepakat membuat Komunitas Gubuk Tani Milenial ini dengan prinsip, akan belajar baik kepada pegiat pertanian, bahkan minta dampingan kepada Dinas Pertanian.

 

Baca juga: Pilih Mana, Pupuk Kimia atau Pupuk Organik

Tanaman pisang Ikhwan. Foto: Gubuk Tani Milenial

 

“Tahun 2020, Gubuk Tani Milenial resmi terbentuk bertepatan dengan pandemi COVID-19. Wabah ini menjebak kita untuk kerja di rumah bahkan hanya membuat kebosanan. Nah, untuk tetap menjaga produktivitas, kami makin yakin membentuk komunitas ini.”

Ikhwan bilang, Gubuk Tani Milenial diisi pemuda yang rata-rata berbasis pendidikan di luar pertanian. Ada tiga orang dari Akademi Keperawatan, dua laki-laki dan satu perempuan. Lalu, satu perempuan lulusan ekonomi. Kemudian, dari pendidikan Bahasa Inggris, Ikhwan dan ada dua orang sedang kuliah pada jurusan pertanian. Sakarang, anggota komunitas itu sudah 10 orang.

“Kami Gubuk Tani Milenial memang berkomitmen, tidak banyak anggota tak masalah. Kami ingin buktikan kepada masyarakat dan pemkab atau siapa sajalah, bahwa kami akan setia pada komitmen terlibat dalan dunia pertanian.”

Selain itu, katanya, mereka berusaha bertani dengan ramah lingkungan dengan pertanian organik. Mereka pun tak pakai pupuk kimia.

Gubuk Tani Milenial, kata Ikhwan, berkomitmen mandiri dari segala hal dari tanam menanam,  sediakan pupuk sampai bikin produk olahan dari hasil tani. Petani, katanya, harus hati-hati menggunakan pupuk. Karena itu bisa bahaya pada alam dan manusia.

“Kami buat kompos dari dedaunan. Digiling sendiri. Kotoran kambing dan sapi gratis di sini. Jadi itu kami manfaatkan. Gak pernah menggunakan pupuk kimia. Apalagi harus membeli. Bahan siapkan sendiri. Kami buat pupuk alami, kayak jerami jadi kompos,” katanya.

Ilmu membuat pupuk kompos, kata Ikhwan, dari satu anggota yang mengikuti pelatihan di BBPP Ketindan, Malang.

“Gubuk Tani Milenial sendiri memiliki program pembuatan pupuk bokashi dan organik. Bagi kami, harus punya program dari hulu ke hilir, mulai dari pupuk, pembibitan, sampai membuat produk, kami punya program,” katanya.

Gubuk Tani Milenial juga sering komunikasi dengan Dinas Pertanian Sampang dan Dinas Pemuda dan Olahraga Sampang untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan pertanian dan kepemudaan.

“Dalam waktu dekat, kami diminta Dinas Pertanian mendelegasikan dua orang ikut pelatihan di Malang. Lebaran nanti atau setelahnya juga diundang ikut pelatihan di Malang. Kami harus siap.”

Awal April ini, kata Ikhwan, Gubuk Tani Milenial dipercaya ikut seleksi magang pertanian di Jepang.

Beberapa waktu sebelumnya, ada dari Dinas Pertanian memberikan kabar dan meminta Gubuk Tani Milenial ke Dinas Pertanian. “Ada info, kami diminta ikut pelatihan di Malang juga ikut seleksi magang pertanian di Jepang.” Dari komunitas ini, Ikhwan dan Mabruroh yang ikut.

 

Pecel profuksi Gubuk Tani Minenial. Foto: Gubuk Taini Milenial

 

***

Pemilihan nama Gubuk Tani Milenial, ada filosofisnya. Kata ‘gubuk’ berangkat dari tempat istirahat petani di daerah Desa Aengsareh Gubuk. Tempat itu terbuat dari kayu atau bambu dengan atap genting atau ilalang. Kata ‘tani’ dari kata asli tani dengan pemaknaan lebih luas, dalam atau memiliki arti petani optimis memberi kemanfaatan di sektor pangan untuk keberlansungan hidup.

Kemudian kata ‘milenial’ sendiri, berangkat dari semangat kaum muda. “Dengan menyertakan semangat itu, semoga dapat membuka pikiran pemuda di sekitar sini khususnya. Syukur-syukur bisa memberikan inspirasi bagi pemuda di luar sana.”

Untuk menyosialisasikan identitas komunitas ini, mereka memanfaatkan media sosial dan kaos anggota. Dari media sosial, Pemerintah Sampang, khusus Dinas Pertanian merespon keberadaan komunitas mereka.

“Awalnya melihat di media sosial kami, lalu ada beberapa petugas Dinas Pertanian survei ke sini. Benar ada atau tidak. Bertanya program juga. Alhamdulillah [sekarang] sudah ada sekretariat,” katanya.

Untuk sekretariat, Gubuk Tani Milenial bekerjasama dengan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Desa Aeng Sareh. Mereka sedang bangun greenhouse di sana.

“Kebetulan disana ada lahan kosong kami akan membuat greenhouse. Pembibitan pun, kami akan lakukan di sana. Pembuatan pupuk di sana. Sekretariat berukuran 10×8. Alhamdulillah gak harus ngontrak. Kebetulan koordinatornya anggota Gubuk Tani Milenial juga. Greenhouse sudah tahap pemasangan atap,” kata Ikhwan.

Gubuk Tani Milenial sudah kerjasama dengan salah satu supermarket untuk penjualan produk bumbu pecel, kripik pisang, pisang coklat (piscok) dan kripik bayam.

“Produk kami lebih banyak camilan. Kami juga buat kripik dari bonggol pisang. Belajar dari Youtube. Daun untuk bungkus pepes dan bungkus makanan.”

Untuk keuangan, Gubuk Tani Milenial, mendapat dukungan 20% dari penjualan pisang miliknya. “Pisang itu milik saya, jadi 20% saya masukkan ke kas Gubuk Tani Milenial. Panen pisang tiap hari panen. Pernah panen sampai 30 tandan,” katanya.

Beberapa produk Gubuk Tani Milenial sudah memiliki SIUP dan harga terjangkau. Dia contohkan, bumbu pecel, memiliki kemasan dengan berat beragam, dari ¼ kg seharga Rp7.000, setengah kg Rp13.000 dan satu kg Rp25.000.

Ikhwan berpesan, para pemuda tidak meninggalkan pertanian. Dengan pertanian, katanya, selain bisa menyatu dengan alam, secara ekonomi juga menjanjikan.

Dia berharap, pemerintah memberikan dan melakukan pendampingan bagi pemuda untuk pertanian ini.

Wasilah, juga dari Gubuk Tani Milenial mengatakan, tertarik bergabung dengan komunitas ini karena senang bertani.

“Saya di rumah tanam sayur, bayam, sawi, kangkung dan lain-lain. Jadi saya dengar informasi ini, akhirnya gabung. Saya baru gabung 2021,” katanya.

 

Wasilah, sedang mempersiapkan pembuatan kompos dari jerami. Foto: Gubuk Tani Milenial

 

Baginya, Gubuk Tanu Milenial ini wadah penting bagi para petani muda. Apalagi, kalau melihat pemuda hari ini, kebanyakan menganggap pertanian sesuatu yang dekil, tidak sejahtera, bahkan dianggap terbelakang.

Melalui Gubuk Tani Milenial, katanya, pertanian dapat dilihat kembali oleh pemuda.

“Sarjana atau orang berpendidikan bisa kerja sesuai ijazah. Tapi pertanian tetap tidak boleh ditinggalkan.   Kita tidak bisa jadi konsumen terus. Tapi harus telibat dalam produksi, salah satu terlibat dalam pertanian,” kata Wasilah.

Insanul Mubarok juga dari komunitas ini mengatakan, dapat ilmu dan relasi baru di dunia pertanian sejak bergabung dengan Gubuk Tani Milenial.

“Saya dapat ilmu dan relasi baru lewat Gubuk Tani Milenial ini. Saya temukan inovasi yang sebelumnya saya tidak tahu, kayak pembuatan kompos. Nambah skill juga.”

Insan punya pertanian hidroponik. Awal mula coba-coba hidroponik pada 2019 dan mulai membuahkan hasil pada 2020. Soal pendapatan dari cocok tanam ini, Insan tidak terlalu menjadi tujuan. Panen sayur yang dia tanam lebih banyak buat konsumsi sendiri dan sanak famili.

“Lewat Gubuk Tani Milenial ini saya sadar, ternyata keterlibatan pemuda sangat perlu dalam dunia pertanian. Kalau bukan pemuda yang meneruskan kelak, siapa lagi?” kata Devina Wulandari, juga dari komunitas ini.

Dia berharap, Gubuk Tani Milenial berkembang dan dapat membuka kesadaran pemuda Sampang akan dunia pertanian.

Ardy Kholifi Suhud, mahasiswa jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Negeri Jember (UNEJ) merespon keberadaan Gubuk Tani Milenial. Dia mengatakan, makin banyak pemuda terjun dalam dunia pertanian, jadi bukti masih ada pemuda sekarang mau jadi petani.

“Ada Gubuk Tani Milenial ini jadi pendorong para pemuda untuk tidak takut dan malu terjun dalam dunia pertanian,” katanya.

Ainul Yaqin Al-Barry, mahasiswa jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mengatakan, keterlibatan pemuda sangat diharapkan untuk membuka kran kesadaran bahwa bertani bukan hanya dilakoni kaum tua.

*****

Foto utama: Ikhwan sedang  mengecek   tanaman terung.    Foto:  Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version