Mongabay.co.id

Ramah Lingkungan, Anggraeni Percaya Diri Kembangkan Ecoprint di Lampung

 

 

Di ruangan galeri Kahut Sigerbori, tampak berjejer kain dengan aneka motif. Selain kain, terdapat pula baju, jilbab, kotak tisu, taplak meja, dan totebag dengan tema motif tumbuhan. Barang-barang itu dibuat menggunakan kain ecoprint yang pewarnaannya menggunakan bahan alami.

Anggraeni Kumalasari, pemilik Kahut Sigerbori, menyatakan bahan yang dipilih untuk ecoprint merupakan bahan yang dapat terurai. Untuk kain, terdapat dua sumber serat alami yang bisa dipakai yaitu dari nabati dan hewani.

“Serat nabati ada pada kapas, bambu, dan nenas. Sedangkan serat hewani terbuat dari wol dan ulat sutra,” terangnya di Lampung, Jumat [9 April 2021].

Untuk pewarna dan motif, semua dibuat dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, batang, hingga akar.

Ecoprint itu menggunakan dedauan dan bagian-bagian tumbuhan, untuk mewarnai maupun motifnya. Daun-daunan, akar, batang, maupun biji-bijian diekstrak menjadi pewarna.”

Baca: Kala Dedaunan jadi Motif dan Pewarna Alami Kain

 

Anggraeni membuat wadah tisu, taplak meja dan aksesoris lainnya menggunkan kain ecoprint. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Anggraeni sudah memproduksi kain sejak lama, namun baru beralih memproduksi ecoprint pada 2018.

Kisahnya, ketika dia masih menggunakan pewarna sintetis, sempat terjadi masalah di selokan rumahnya. Ketika membongkar selokan tersebut, dia mendapati tidak ada tanda-tanda kehidupan. Dia merenung, ternyata kegiatan produksinya selama ini memiliki dampak terhadap lingkungan.

“Hanya ada selokan yang hitam dan kering. Akhirnya, saya memutuskan menggunakan pewarnaan alami,” kata dia.

Anggraeni memutuskan berangkat ke Jogja, mengikuti pelatihan ecoprint.

“Awalnya, saya mau mendalami batik warna alam, tetapi dalam perjalannya saya belajar ecoprint sampai sekarang.”

Baca: Mudahnya Ecoprint, Warna Warni Flora di Baju dan Buku

 

Anggraeni menunjukkan produk ecoprint yang telah ia kembangkan sejak 2019. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Ada beberapa metode membuat ecoprint, namun yang paling sederhana adalah dengan hapazome atau pounding dan stiming. Teknik ini mengekstrak tanin daun dengan cara dipalu. Namun, hanya dapat digunakan pada kain dasar putih dan kurang awet dalam hal pencucian karena hanya mengandalkan oksidasi.

“Teknik ini paling ramah lingkungan. Setelah dipalu cukup digantung, lalu dibiarkan oksidasi sampai warna tadi terserap sempurna ke kain. Tidak perlu dikukus,” kata dia.

Teknik stiming atau dikukus dilakukan dengan cara meletakkan kain putih di lantai, kemudian daun dan bunga sebagai motifnya ditata di atasnya. Setelah itu, celupkan warna.

“Sehingga kain kain putih tadi terlunturkan, lalu tanin dari bunga dan daun yang kita susun tadi tercetak.”

Baca: Merawat Alam Sumba Lewat Tenun Pewarna Alami

 

Contoh produk ecoprint ramah lingkungan yang dibuat Anggraeni. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Ketika awal memperkenalkan ecoprint di Lampung, Anggraeni menemukan banyak kendala. Hal ini karena wastra [kain tradisional] di Lampung pada khususnya dan Sumatera umumnya bertipe glamor.

“Palembang ada kain songket, kalau di Lampung ada tapis. Masyarakatnya menggemari warna keemasan, merah, kuning, hitam warna-warna bold. Sedangkan yang dihadirkan ecoprint adalah warna soft. Orang yang baru tahu bilangnya kok seperti kain buruk ya,” kata dia.

Dia juga mengusung motif komoditas khas Lampung dalam seperti daun kopi, daun lada, dan daun pala. “Ketika anak muda mulai memakai, di akhir 2019 grafiknya meningkat sampai sekarang. Penampilan keren itu harus memikirkan kemaslahatan diri dan lingkungan.”

Baca juga: Cinta Mati Herawati pada Kupu-kupu di Taman Gita Persada

 

Tanaman kenikir yang menghasilkan warna kuning jika digunakan untuk pewarna ecoprint. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Bermanfaat untuk sekitar

Produk ecoprint milik Anggraeni memiliki harga mulai 10 ribu hingga 1,2 juta Rupiah. “Rentang harga lumayan agak jauh. Mulai ikat rambut [Rp10 ribu], masker [Rp15 ribu], dompet [Rp30 ribu], jilbab [Rp100 ribu] hingga baju [Rp1 juta]. Produk yang sering dibeli kisaran 100-400 ribu Rupiah.”

Anggraeni juga kerap melatih serta membagikan pengalaman tentang ecoprint di Lampung. Dia pernah diminta melatih UMKM tahun 2020.

“Saya mengisi pelatihan dan juga diundang sebagai pembicara. Ada yang dibiayai Dinas Koperasi dan UMKM dan telah meluluskan 120 peserta.”

Anggraeni kini memiliki lima mitra, guna memenuhi kebutuhan bunga untuk produknya. Mereka adalah petani bunga yang bisanya berjualan untuk keperluan ziarah kubur. Namun, bunganya sering berlebih sehingga tidak terpakai.

“Mereka tidak cocok bertani sayuran atau padi yang harus dipupuk intensif. Menanam bunga hanya perlu disebar benihnya, seminggu sekali rumputnya dibersihkan,” jelasnya.

 

Tanaman telang yang ditanam Anggraeni di halaman rumahnya sebagai motif kain ecoprint. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Meirisa Puspita, Konsultan Bidang Pemasaran PLUT-KUMKM [Pusat Layanan Usaha Terpadu Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah] Provinsi Lampung, mengungkapan di Lampung belum banyak yang mengembangkan ecoprint. Anggraeni adalah sosok yang konsisten.

“Kami membina ecoprint mulai 2019, yang tadinya tidak percaya diri dengan produknya kami ajarkan untuk memasarkan secara online. Produk dikemas lebih menarik,” kata dia, Minggu [11 April 2021].

Dia juga mengapresiasi upaya Anggraeni memberdayakan perempuan di sekitar rumahnya. Menurut dia, sebaiknya pelaku usaha tidak hanya memikirkan pendapatan tetapi bagaimana bermanfaat untuk sekitar.

“Kahut Sigerbori tidak melulu menekankan produksi, tapi bagaimana bermanfaat bagi warga sekitar dan turut melestarikan alam. Harapan kami, akan muncul pelaku ecoprint lain di Lampung.”

 

Halaman rumah Anggraeni yang ditanam berbagai tanaman untuk kain ecoprint. Ada daun lanang, tanaman truja dan sebagainya. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Nani Rahmawati mengaku beberapa kali membeli produk ecoprint buatan Anggraeni. “Saya suka karena tidak ada kembarannya. Kualitasnya bagus, tidak luntur,” paparnya, Sabtu [10 April 2020].

Dia mengatakan produk ecoprint perlu dirawat agar lebih awet. “Cara mencucinya dikucek saja dengan tangan, lalu dijemur di tempat teduh.”

Hal senada disampaikan Tuti Nur Komariyah, yang perlu hati-hati menjaga warna ecoprint. “Misal, tidak dicuci menggunakan detergen.”

Menurut dia, produk ecoprint sangat unik. “Ramah lingkungan. Warnanya lebih alami dibandingkan pewarna tekstil,” ujarnya.

 

* Chairul Rahman ArifMahasiswa Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Tertarik menulis isu lingkungan.

 

 

Exit mobile version