Mongabay.co.id

Sasaran Iklim Net-Nol Indonesia di Garis Belakang

Presiden Joko Widodo berpeluang emas dalam forum mancanegara untuk menunjukkan Indonesia pemrakarsa iklim di garis depan.  Masalahnya, apakah Jokowi punya nyali mengaktifkan kemauan politik ini.

Pada Hari Bumi, 22 April, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menjamu 40 pemimpin dunia ke KTT Pemimpin Iklim yang ia prakarsai. Presiden Joko Widodo satu dari tiga pemimpin ASEAN yang Biden undang.  Dua  kepala pemerintah lainnya adalah Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dan Presiden Vietnam Nguyen Phu Trong.

Menurut siaran Gedung Putih, KTT dua hari itu bermaksud “menggalang”, “memobilisasi”, “memicu”, “menampilkan” dan “membahas” upaya-upaya untuk menghadapi krisis iklim.

Segaris dengan Mufakat Paris 2015 (Paris Agreement), satu seruan kunci KTT ialah bagaimana membatasi pemanasan global tidak melebihi  1.5°C di atas tingkat suhu rata-rata dunia pra-industri. Ini guna mencegah adanya kejadian cuaca ekstrim dan dampak iklim kasus buruk lain seperti es kutub mencair dan tanah longsor. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pada Desember 2020 suhu rata-rata global sudah naik 1.2°C.

Menggalang berarti meningkatkan usaha menurunkan emisi karbon. Memobilisasi berarti mendorong masyarakat dan sektor swasta bergerak dalam transisi net-nol. Net-nol berarti adanya aksi seperti teknologi tangkap karbon dan menanam pohon secara masif guna menyerap sisa gas rumah kaca yang masih ada pada 2050.      

Memicu berarti mengaktifkan teknologi yang memitigasi (menurunkan emis karbon), mengadaptasi perubahan iklim, dan menciptakan peluang-peluang ekonomi serta lapangan kerja. Menampilkan berarti memperlihatkan capaian-capaian bidang hijau yang telah diperoleh tingkat subnasional dan pelaku-pelaku non-negara.

Membahas berarti berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam memperkuat kapasitas dan mencari solusi-solusi berlandaskan alami dalam mencapai keadaan net-nol pada 2050 sesuai seruan Mufakat Paris.

 

Presiden Joko Widodo. Apakah Presiden akan memaparkan langkah-langkah untuk menyelesaikan persoalan iklim dalam KTT Pemimpin Iklim April 2021 ini? Dok: Sekretariat Negara.

 

COP 26

Agaknya, Biden mau KTTnya itu “menjadi katalisator usaha dalam mencapai sasaran 1.5°C” dan memastikan para pemimpin itu berkomitmen mencapai sasaran itu pada konferensi tahunan perubahan iklim PBB, COP 26, di Glasgow 1-12 November.

Amerika akan mengumumkan sasaran emisi 2030 yang “ambisius” sebagai NDC barunya. Nationally Determined Contribution (NDC) adalah rencana aksi iklim 2020-2030 yang ditetapkan  pemerintahan nasional para negara pihak dan merupakan unsur inti Mufakat Paris. Mufakat Paris berseru agar sasaran baru dan lebih ambisius diadakan setiap lima tahun. COP 26 merupakan konferensi penentu di mana para negara pihak membeberkan seberapa jauh mereka telah meningkatkan upaya aksi iklim mereka.

Sebuah laporan awal Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) pada Februari 2021 menyatakan 75 pihak telah mengkomunikasikan 48 NDC baru atau NDC telah dimutakhirkan hingga 31 Desember 2020. Indonesia belum termasuk kelompok 75 pihak tersebut penyetor NDC yang sudah dimutakhirkan.    

Emisi total GRK para pihak diperkirakan pada 2030 akan lebih rendah 0,7% dari tingkat emisi 1990, lebih rendah 0,5% dari tingkat 2010 dan 2,1% lebih rendah dari emisi 2017. Demikian laporan UNFCCC tersebut. Sekretariat UNFCCC akan membuat laporan status NDC akhir menjelang konferensi Glasgow.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah pertemuan ilmuwan iklim sedunia, menyatakan bauran tenaga listrik global pada 2030 hendaknya 47% hingga 65% berbentuk energi baru dan terbarukan (EBT) yang mana dapat membatasi pemanasan global tidak melebihi  1.5°C.

Baca juga:  Menyoal Penanggulangan Karhutla dan Inkonsistensi Pemerintah

 

Laporan UNEP

Sementara itu, Laporan Celah Emisi (Emissions Gap Report, EGR) Desember 2020 dari Program Lingkungan PBB (UNEP) menemukan dunia masih menuju kenaikan suhu melebihi 3°C  abad ini sungguhpun ada penurunan jangka pendek emisi karbon dioksida disebabkan pandemi COVID-19.

Maksud celah emisi ialah selisih antara “tempat kita diperkirakan berada dan tempat kita seharusnya berada”. EGR memberi perhatian dekat pada anggota-anggota G20. Group of 20 (G20) adalah kelompok 20 negara perekonomian maju dan perekonomian sedang mekar. Indonesia dalam golongan kedua.

G20 bertanggungjawab atas 78% emisi GRK sedunia dan dengan demikian menentukan arah trend emisi global dan seberapa jauh celah emisi 2030 dapat ditutup.

Secara kolektif, laporan melanjutkan, para anggota G20 tidak berada dalam jalur untuk mencapai komitmen NDC mereka tanpa syarat berdasarkan proyeksi2 pra-COVID-19. Sembilan anggota G20 (dengan menghitung Uni Eropa dan Inggris Raya sebagai satu kesatuan) berada pada jalur untuk mencapai komitmen mereka (Argentina, China, EU27 + UK, India, Jepang, Meksiko, Federasi Rusia, Afrika Selatan, dan Turki).  

Lima anggota G20 diproyeksikan tidak mencapai target dan perlu meningkatkan  aksi mereka (Australia, Brazil, Canada, Republik Korea, Amerika Serikat). Proyeksi bagi Indonesia dan Arab Saudi belum ada kejelasan karena informasi kurang.   

Baca juga: Atasi Karhutla, Presiden Perintahkan Peran Aktif Semua Pihak

 

NDC Indonesia

NDC pertama Indonesia sebagaimana diumumkan 2015, bertujuan untuk mengurangi emisi karbon tanpa syarat, atau atas usaha sendiri, sebanyak 29% dari skenario tanpa kebijakan mitigasi. Bila dengan syarat, artinya ada bantuan  internasional, capaiannya bisa sebanyak 41%.

Hingga penulisan naskah ini, pemerintah belum mengkomunikasikan NDC yang dimutakhirkan ke sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman. Tetapi dalam konferensi pers virtual 19 Maret 2021 lalu, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Ruandha Agung Sugarda menyatakan Indonesia mempertahankan target 29/41 dalam NDCnya untuk lima tahun mendatang. Lebih jauh, pemerintah berniat mencapai perekonomian  net-nol pada 2070. Ini kemunduran 20 tahun di belakang target 2050 yang sudah disepakati para pihak Mufakat Paris.

Pemilihan target 2070, Ruandha menjelaskan, ialah agar perekonomian Indonesia dapat tumbuh 5%-7% per tahun. Target 2070 tersebut layak dan sudah diuji model-model Kementerian  KLH dan ESDM, Ruandha mengatakan.

Setelah konferensi pers, saya ajukan dua pertanyaan kepada Ruandha di tautan WhatsAppnya: 1) Apa saja pertimbangannya pemerintah tidak meningkatkan target menurunkan emisi untuk lima tahun berikut ini? 2) Apakah penetapan 2070 sebagai pilihan tahun target mencapai net-nol emisi karbon itu untuk mengakomodasi sektor energi yang notabene pada 2050 bahan bakar fosil masih memasok 69% bauran energi? Menurut KESDM, porsi minyak bumi 20%, gas bumi 24%, batubara 25% sedangkan energi baru dan terbarukan (EBT) 31%.

Direktur jenderal tidak menjawab.

 

Presiden Jokowi saat mengunjungi lokasi lahan kebakaran. Dok: Biro Pers Setpres

 

Politik di atas sains

Tampaknya, politik berkuasa di atas sains dalam menentukan kebijakan energi dan iklim Indonesia. Emisi karbon berasal dari lima sektor: energi, alih guna lahan dan kehutanan (LULUCF, berarti kebakaran hutan dan lahan gambut), produk dan proses industri, pertanian, dan limbah.

Di Indonesia, energi dan kebakaran hutan serta gambut merupakan sumber 80% emisi karbon. Sungguhpun Indonesia sudah maju dalam menurunkan emisi bersumber dari kebakaran hutan dan gambut sejak kebakaran besar-besaran 2015 dan 2016, pembakaran batubara tetap merupakan sumber emisi karbon besar. Jaringan tenaga listrik nasional bergantung utama pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berasal dari pembakaran batubara.

Pemerintah berniat memelihara model energi berbasis bahan bakar fosil ini hingga pertengahan abad ke-21 ini guna mendorong maju perekonomian. Jokowi sudah mengumumkan desain besar membangun 89 proyek strategis nasional sebelum terjadinya pandemi COVID-19.

Untuk memacu rencana pro-bisnisnya ini, Jokowi pada 2020 telah mengesahkan  UU Cipta Kerja  yang melemahkan pengamanan lingkungan hidup, khususnya di sektor pertambangan. Akibatnya, volume emisi karbon dapat bertambah dan kenaikan volume itu dengan sendirinya memadamkan ambisi untuk memutakhirkan rencana akis iklim 29/41 Indonesia.

Saat Indonesia hadir dalam KTT G20 di Pittsburgh, AS, pada 2009, presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan sasaran Indonesia untuk mereduksi emisi sebanyak 26% pada 2020. Para pemimpin G20 lain, termasuk tuan rumah Barack Obama, bertepuk tangan memuji SBY atas kepemimpinan iklimnya.

Baca juga: Target Netral Karbon Lemah, Indonesia Bisa Lebih Ambisius, Caranya?

 

Pemrakarsa garis depan       

Dalam KTT Pemimpin Iklim 22-23 April ini, Indonesia memberi kesan dirinya sebagi peserta garis belakang dan bukan pemrakarsa garis depan. Kesan itu bertolak dari ketiaadaan aksi untuk memutakhirkan target 29/41 NDC.

Jokowi dapat menunjukkan kepemimpinannya dalam bidang iklim bila ia memperlihatkan rencana aksi iklim Indonesia itu konsisten dengan Mufakat Paris dan NDC yang dimutakhirkan itu selaras dengan sasaran global net-nol emisi untuk dicapai 2050.

Guna membentangkan tekad itu, Jokowi harus bertindak agar lebih dari separuh bauran energi untuk listrik Indonesia ditopang EBT dan pemakaian batubara ditamatkan pada 2050. Bila EBT dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru, tingkat pertumbuhan 5%-7% per tahun dapat dicapai.

Disayangkan, Indonesia lamban dalam bergerak menuju EBT.  Satu sebab utama ialah harga mahal. Ongkos membangun pembangkit listrik geothermal per megawatt bisa dua kali lipat ongkos membangun PLTU berbahan bakar batubara.

Untungnya, Jokowi dapat bertindak tegas bila terpanggil untuk berbuat demikian. Untuk menanggulangi COVID-19, ia memerintahkan vaksinasi gratis dua dosis bagi 188 juta warga Indonesia. Ini 70% populasi nasional sebanyak 268 juta jiwa dan memenuhi jumlah yang diperlukan untuk mencapai herd immunity, bangsa terlindung dari infeksi COVID-19. APBN menanggung ongkos vaksinasi sebesar 130,03 trilyun rupiah.

Untuk memicu EBT bersamaan dengan aneka investasi hijau, Jokowi layaknya  memprakarsai usaha di bidang iklim dengan tekad sama yang dilakukan menghadapi COVID-19. Dengan demikian, Joko Widodo dapat melompat ke garis depan sebagai pemimpin iklim terbukti.

 

 

* Warief Djajanto Basorie, pengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) dan manajer proyek lokakarya Meliput Perubahan Iklim 2011-2017.  Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Foto utama: Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi kebakaran lahan di Kelurahan Guntung Payung, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalsel. Dok: Biro Pers Setpres

 

Exit mobile version