Mongabay.co.id

Tambang Batubara Datang, Warga Sikalang Was-was Rumah Mulai Rusak

Tambang batubara yang mengancam pemukiman penduduk di Sawahlunto. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Malam itu, hujan deras mengguyur Desa Sikalang, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Deru suara air terdengar keras di belakang rumah. Neti cemas, terlebih tanah terasa bergetar. Bersama dengan itu, dinding-dinding dapur berjatuhan. Perlahan-lahan dapur perempuan 40 tahun yang berada di ujung rumah ini roboh.

Dia berhasil menyelamatkan beberapa peralatan dapur. Neti memindahkan masak-memasak ke kamar. Kamar itu hingga kini berubah jadi dapur.

Setelah air reda baru terlihat sekitar 13 rumah di sekitar Neti roboh. Beruntung tak ada korban jiwa.

“Orangnya pindah semua, mengungsi semua,” kata Neti, Maret lalu mengenang kejadian mencekam yang menimpanya juga belasan warga Sikalang sekitar 10 tahun lalu.

Kini, warga dengan rumah roboh itu sudah pindah menempati rumah sementara PT Bukit Asam (BA). Ada juga yang menempati bekas kantor lapangan perusahaan.

“Kita juga dulu ngungsi dulu ke bawah, ada ambil rumah BA itu. Setelah reda baru kembali ke rumah. Soalnya air sampai masuk ke rumah,” katanya.

Kini, di pintu belakang rumah Neti ada pembatas setinggi dua bata agar air tak masuk rumah kalau hujan lebat. Kala hutan lebat, banyak air turun dari bukit di belakang.

Dari 13 rumah, hanya rumah Neti yang masih bisa ditinggali. Rumah warga lain tak bisa diselamatkan. Neti tinggal berenam di rumah itu bersama suami, anak-anak dan saudaranya.

Selama rumah masih bisa ditinggali Neti akan tetap disitu. Dia bilang, sejarah hidup mereka mulai dari sana.

Tak jauh dari seberang rumah Neti, ada Sumarni bersama anaknya Anna yang sedang menggendong cucu. Mereka tinggal di rumah bedeng– menurut keterangan warga—dulu kantor kecil milik perusahaan tambang.

Saat kejadian rumah-rumah roboh Anna dan ibunya tidak di lokasi. “Mbah sama kakek dulu yang tidur disitu,” kata Anna sembari melihat reruntuhan rumah di seberang jalan. Posisi rumah mereka di tanah lebih tinggi.

Sumarni mengatakan, setelah kejadian baru mereka melihat rumah yang roboh ini. Dia bilang, sudah sekitar 20 tahun ibunya tinggal di situ. Mereka pindah ke rumah seberangnya.

 

Baca juga: Warga Sikalang Resah Operasi Tambang Batubara Makin Dekati Pemukiman

Satu rumah yang roboh karena longsor dan air deras dari bekas tambang ilegal. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Kekhawatiran yang membayangi Anna dan keluarga adalah tanah tempat rumah-rumah itu makin miring ke arah jalan. Entah mengapa tanah seperti tidak keras. Jalanan di depan rumah mereka rusak karena sering dilewati truk pengangkut batubara.

Ujang, warga setempat mengatakan, dulu di atas bukit yang berada di belakang rumah-rumah roboh itu ada pertambangan batubara rakyat.

“Jadi, mereka bikin tambang batubara, tambang dalam,” katanya. Tambang-tambang itu sudah lama sekali dan status tambang liar.

Selain itu, kata Ujang kuat dugaan lubang-lubang tambang itu ada di bawah 13 rumah yang roboh itu. Ujang menduga, lubang-lubang itu hanya berisi pasir dan ditutup begitu saja. Ketika hujan deras, rumah-rumah itu roboh karena tanah goyang.

“Tambah lagi truk batubara yang beban [berat[tambah rusak jalan,” katanya.

Truk yang melewati rumah itu menerbangkan debu-debu batubara yang menyebabkan warga terkena batuk-pilek.

Ujang sering sesak napas dan menyiram halaman rumah agar debu batubara hilang dari halaman. Warga cemas kejadian 13 rumah ini kembali terulang.

 

Rumah Neti, satu-satunya selamat dan bisa ditinggali hingga kini dengan bagian dapur roboh. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Rumah-rumah rusak

Sekitar 1,5 kilometer dari rumah-rumah warga yang roboh itu ada tambang batubara PT CV Tahiti Coal. Kengerian warga muncul mengingatkan kejadian buruk belasan rumah warga roboh itu.

Warga sekitar tambang tak ingin bencana terulang. Terlebih kini, mulai ada bangunan rumah retak dan kebun berlubang.

Di kebun milik Manap, ada lubang cukup dalam. Ketika hujan terdengar air mengalir di dalam lubang itu dan ada lorong-lorong air lain. Warga menduga itu lorong-lorong pertambangan yang ada di luar izin usaha pertambangan.

Perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Sumbar dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumbar sudah mendatangi lubang itu pada 10 Maret 2021.

Mereka melihat lubang dan 12 rumah yang dulu pernah diperiksa sebagai korban dari aktivitas pertambangan CV Tahiti. Warga juga mengajak perwakilan dua instansi itu memeriksa rumah lain jadi ada 18 unit.

Ira, yang rumahnya diperiksa mengatakan, petugas hanya melihat dari luar. “Ditanya mana bagian yang retak, tapi disuruh masuk nggak mau,” katanya.

Ira sempat ditanya tentang air. “Saya jawab dulu mandi di depan itu, sekarang nggak ada lagi air.”

Evda, juga rumah diperiksa mengatakan, rumah tak retak. Berbeda dari rumah tetangganya yang retak. “Tapi pertanyaan dan permintaan kita bagaimana solusi untuk jangka panjang. Apakah rumah kita dijamin tidak akan runtuh?” katanya.

 

Tanah Jalan Desa Sikalang dengan tak kokoh karena di bawahnya bekas tambang. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah daerah saling lempar?

Herry Martinus, Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumatera Barat mengatakan, yang inspeksi hanya Dinas Lingkungan Hidup Sumbar. “Itu DLH yang inspeksi, inspeksi lingkungan saja,” katanya.

Terkait pengawasan tambang yang melanggar, Herry hanya bisa mengatakan tak lagi punya kewenangan.

“Kami sudah tidak punya kewenangan lagi di sektor tambang sejak 11 Desember 2020 sesuai UU Nomor 3/2020 [UU Pertambangan Mineral dan Batubara].”

Mengenai inspeksi di Desa Sikalang, dia menyarankan konfirmasi Dinas Lingkungan Hidup Sumbar. “ESDM hanya mendampingi,” katanya melalui WhatsApp.

Siti Aisyah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumbar belum menanggapi pertanyaan Mongabay terkait hasil inspeksi ke lapangan pada 10 Maret 2021.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar sudah menerima surat hasil inspeksi itu. Surat bernomor 660/222/P2KLPHL-2021 terkait informasi hasil verifikasi lapangan kerusakan rumah di Desa Sikalang berisi lima poin.

Pertama, DLH Sumbar verifikasi bersama Dinas ESDM Sumbar, Inspektur Tambang KESDM, Dinas KPPLH Kota Sawahlunto, kepala desa, kepala dusun, Babinsa, Babinkamtibnas dan LPM Desa Sikalang. Ini terkait 12 rumah warga rusak karena aktivitas Tahiti Coal pada 29 Agustus 2019.

Dalam surat itu tertulis 10 rumah terindikasi mengalami kerusakan dan dua rumah tidak.

Kedua, DLH hanya menyebut kunjungan lapangan pernah dilakukan 14 November 2019. Ketiga, tertulis ada tambahan empat rumah rusak, lebih banyak dari laporan 29 Agustus 2019 jadi keseluruhan ada 16 rumah.

Keempat, DLH menuliskan berdasarkan kesepakatan berita acara 10 Maret 2021, penyelesaian ganti kerugian terhadap kerusakan rumah warga akan difasilitasi Pemerintah Kota Sawahlunto.

Kelima, hanya menyebutkan soal rekomendasi Komnas HAM Perwakilan Sumbar soal pengawasan aktivitas llingkungan kalau terjadi pelanggaran merupakan kewenangan Pemko Sawahlunto sesuai UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Juga Peraturan Pemerintah Nomor 22/2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Surat ini ditembuskan ke Gubernur Sumatera Barat, Kepala Dinas ESDM Sumbar, Kepala Dinas Kawasan Permukiman Pertanahan dan LH Kota Sawahlunto.

 

Salah satu rumah yang roboh karena tanah bergeser. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Warga mempertanyakan

Pada 10 Maret lalu, tim DLH bersama ESDM mendatangi 12 rumah warga yang pernah didata 2019. Dalam rapat warga merasa itu hal sia-sia karena hanya mengulangi pendataan lagi tanpa ada penyelesaian.

Hingga sore warga sempat meminta pihak yang inspeksi untuk memeriksa beberapa rumah lagi dan satu kebun. Awalnya, tim inspeksi enggan karena menganggap waktu mepet dan ingin segera pulang ke Padang. Akhirnya mereka memeriksa empat rumah dan satu kebun Manap yang ada lubang dalam. Dalam lubang itu terdapat lorong-lorong yang sudah teraliri air.

Tim juga diajak tim perusahaan Tahiti Coal melihat posisi tambang dengan drone. Setelah itu, mereka berbincang di Kantor CV Tahiti Coal. Dalam pertemuan itu warga diajak bertemu, namun beberapa warga yang tak terafiliasi dengan perangkat pemerintahan desa menolak karena dalam surat pemeriksaan rumah-rumah itu warga tidak dilibatkan.

Hingga malam tiba kemudian ada berita acara kegiatan di Kantor Tahiti Coal.

Dalam berita acara yang diterima warga dari hasil pertemuan DLH, DESDM di Kantor CV Tahiti Coal terdapat poin yang tidak disetujui masyarakat. Dalam poin itu disebut warga tidak menuntut ganti rugi. Faktanya, warga meminta pertanggungjawaban perusahaan atas dampak tambang batubara terhadap rumah mereka yang berpotensi rusak jangka panjang.

Warga kecewa dengan hasil verifikasi DLH. Menurut warga, DLH seperti tidak punya kapasitas dan tidak punya kesimpulan yang punya hubungan dengan masalah utama masyarakat termasuk keterancaman rumah mereka dalam jangka panjang.

Warga menganggap, DLH memperpanjang durasi penyelesaian masalah dengan melempar tanggung jawab ke Pemerintah Sawahlunto.

Warga pun sepakat akan menyurati DLH melalui Walhi Sumbar dengan beberapa tuntutan. Pertama, meminta informasi hasil verifikasi DLH secara resmi.

Kedua, meminta DLH verifikasi menyeluruh terhadap wilayah kelola masyarakat Desa Sikalang dari rumah, kebun, air, udara dan seterusnnya yang terdampak aktivitas tambang batubara.

Ketiga, meminta DLH audit lingkungan untuk mengetahui dampak aktivitas tambang batubara secara utuh dan menyeluruh terhadap lingkungan di Desa Sikalang.

Contoh rumah Evda, saat ini belum alami kerusakan, tetapi ke depan rawan rusak. Dalam catatan DLH, hanya dikatakan rumah Evda tidak mengalami kerusakan.

Padahal, saat inspeksi itu warga juga menceritakan juga masalah pencemaran air bersih dan dampak lain yang belum diperiksa DLH selain rumah rumah.

Mongabay berusaha mengonfirmasi pada Toyon, yang diketahui sebagai Kepala Teknik Tambang Tahiti Coal membantah ada masuk ke area pemukiman. Menurut dia, kabar itu disebarkan organisasi tertentu saja.

 

Alat berat mengeruk tanah untuk mendapatkan batubara. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Jerat hukum

Sukanda Husin, Pakar Hukum Lingkungan Universitas Andalas sekaligus anggota Indonesian Centre For Environmental Law (ICEL) mengatakan, ada dua tanggung jawab yaitu pada publik dan privat.

Kejadian di Desa Sikalang, katanya, tanggung jawab perusahaan pada publik. “Tidak bisa dipindahkan. Siapa yang melanggar hukum dia yang bertanggungjawab,” katanya.

Persoalan memindahkan tanggung jawab ke pemerintah, katanya, jadi aneh. “Kalau bencana alam baru tanggung jawab pada pemerintah. Kalau bukan bencana alam atau man made disaster atau bencana yang disebabkan manusia tanggung jawab si pelaku atau si pemberi perintah.”

Sukanda mengatakan, harus cari tahu pasal-pasal yang dilanggar. Pemerintah ikut bertanggung jawab, katanya, dalam kaitan instansi pemberi izin dan pengawasan. “Itu sisi yang berbeda.”

Dia contohkan, KESDM yang memberi izin, kementerian atau instansi itu yang bertanggungjawab.

Pejabat-pejabat di instansi itu, katanya, bisa terkena Pasal 111 dan 112 UU Nomor 32/2009.”Kalau Pasal 111 pejabat pemberi izin yang diberi sanksi kalau Pasal 112 pejabat pengawas yang diberi sanksi,” katanya.

Kejadian di Sikalang ini bisa saja pelaku korporasi atau masuk kategori corporate crime. “Jadi yang melakukan bisa dituntut individu, bisa juga orang yang menyuruhnya,” ucap Sukanda.

Sukanda mengatakan, selain jalur peradilan, masyarakat bisa juga menjalankan proses di luar pengadilan. “Minta Kantor DLH itu jadi mediator, kalau ndak selesai tingkat kabupaten kota naik ke provinsi. Kalau tidak selesai naik ke KLHK. Itu nggak main-main perbuatan mereka gali lubang, bisa macam-macam terjadi,” katanya.

Tambang dalam itu, katanya, harus punya teknologi tertentu. “Ini tidak, tambang dalam tapi teknologi konvensional, bencanalah yang terjadi.”

 

***

Belum jelas antisipasi bencana yang bakal menimpa warga. Kala instansi pemerintah saling lempar tanggung jawab, nasib warga Sikalang pun tak menentu. Sewaktu-waktu, bukan mustahil, kejadian 10 tahun lalu, rumah-rumah roboh, terulang…

 

 

*****

Foto utama: Tambang batubara yang mengancam pemukiman penduduk di Sawahlunto. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

Exit mobile version