Mongabay.co.id

Beratnya Mewujudkan Ekonomi Kelautan yang Berkelanjutan

Nelayan Cilacap tengah mencari ikan di sekitar kawasan perairan selatan CIlacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Mewujudkan ekonomi kelautan yang berkelanjutan menjadi komitmen Pemerintah Indonesia yang akan terus dijalankan dari sejak sekarang hingga yang akan datang. Komitmen itu terus dibangun, karena laut adalah wilayah yang sudah dan akan terus memberikan manfaat banyak kepada manusia.

Meski akan banyak upaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan ekonomi kelautan berkelanjutan, namun Indonesia bertekad tak akan menyerah. Hal itu, karena laut sudah memberikan kehidupan dan penghidupan bagi sebagian besar warga, utamanya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kepala Badan Riset dan Sumber daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BSDM KP KKP) Sjarief Widjaja mengatakan bahwa lautan sudah memberikan manusia dan makhluk hidup lainnya manfaat tak terhingga dan terus berlangsung hingga sekarang.

“Lautan menggerakkan ekonomi melalui perikanan, transportasi, energi, dan pariwisata yang telah menjadi bagian dari budaya, tradisi, dan identitas Indonesia sebagai bangsa bahari,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Tak hanya bagi Indonesia, peran penting lautan juga sangat berarti bagi warga bumi lainnya yang ada di berbagai negara. Lautan menjadi bagian dari wilayah bumi yang mencakup 70 persen dari total wilayah bumi, dan kemudian membentuk biosfer bumi hingga mencakup 90 persen.

baca : Begini Ajakan Indonesia untuk Pengelolaan Ekonomi Laut Berkelanjutan

 

Perjalanan menuju Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dengan segala manfaat yang sudah diberikan, tidak salah memang jika manusia dituntut untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada laut. Terlebih, laut juga memberikan manusia dan makhluk hidup lain berupa oksigen, makanan, dan pemicu cuaca.

“Sehingga planet ini layak huni dan dipenuhi kehidupan yang saling mendukung,” sebut dia.

Pada 2015 lalu, The Global Institute yang terdiri dari dua lembaga di dunia, yakni The Global Institute dan Universitas Queensland di Australia, merilis hasil studi yang mereka lakukan tentang kekayaan laut di dunia. Hasilnya, kekayaan laut dunia mencapai USD24 triliun.

Sementara, kontribusi sektor kelautan dan perikanan dunia terhadap GDP per tahun mencapai angka USD2,5 triliun. Hasil studi tersebut menegaskan bahwa potensi laut dunia sangat besar dan masih bisa untuk dikembangkan.

 

Potensi Indonesia

Khusus untuk potensi sektor kelautan dan perikanan di Indonesia, pada 2020 lalu Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) melaporkan bahwa jumlahnya diperkirakan bisa mencapai kisaran antara USD70 miliar hingga USD170 miliar.

“Data ini menempatkan Indonesia pada urutan ketiga ekonomi perikanan secara global, setelah Tiongkok dan Peru,” jelas dia.

Akan tetapi, untuk bisa mengembangkan seluruh potensi yang ada, dan sekaligus mengembangkannya dengan prinsip ekonomi berkelanjutan, diperlukan kerja sama yang kuat antar instansi, lembaga, dan semua pihak yang berkepentingan.

Dengan demikian, keinginan Indonesia untuk membangun ekonomi kelautan yang berkelanjutan bisa diwujudkan secara bertahap dari sejak saat ini. Juga, di saat yang sama, keinginan untuk melestarikan ekosistem laut dan pesisir akan bisa ikut terwujud.

Sjarief menerangkan, selain dari perikanan yang potensinya masih sangat besar, Indonesia juga memiliki potensi lain yang tak kalah besarnya. Potensi itu, tidak lain berasal dari ekosistem hutan bakau (mangrove)

Dari data yang dirilis lembaga Conservation International Indonesia (CII) pada 2019, diketahui kalau Indonesia memiliki potensi ekosistem mangrove hingga mencapai 3,14 juta ton karbon. Jumlah tersebut diketahui bernilai sekitar USD47,1 juta.

Sementara, lembaga Ocean Science Journal pada 2019 juga merilis hasil penelitiannya tentang potensi ekosistem padang Lamun (seagrass) di laut Indonesia. Dari penelitian mereka, diketahui kalau Lamun Indonesia menyimpan potensi setiap tahun hingga 7,4 megaton dan bernilai sekitar USD11 juta.

baca juga : Ekonomi Biru untuk Menjaga Ekosistem Laut dan Pesisir

 

Nelayan dari Suku Bajo di pesisir Teluk Tomini, tepatnya di kampung Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, memanfaatkan mangrove untuk mencari ikan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Selain potensi dari ekosistem yang ada di laut dan pesisir, Sjarief mengungkapkan bahwa ekonomi kelautan berkelanjutan juga sangat dipengaruhi oleh segala kegiatan ekonomi yang dilakukan di wilayah laut dan juga pesisir.

Dia menyebutkan, ancaman yang selalu muncul saat ini dan bisa menggagalkan upaya mewujudkan ekonomi kelautan yang berkelanjutan, adalah akivitas penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF).

Juga, ancaman lain yang tak kalah beratnya adalah aktivitas kejahatan di laut yang semakin sulit dibendung, masalah sampah laut, penangkapan ikan yang berlebihan, dan juga fenomena alam yang saat ini sedang mengancam dunia, yaitu perubahan iklim.

“Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) no 14 life below water sebagai pedoman internasional tertinggi untuk pembangunan laut pun belum menerima perhatian politik dunia sebagaimana mestinya,” tutur dia.

Agar semua tantangan dan permasalahan yang ada sekarang bisa dihadapi, maka diperlukan kerja sama yang kuat antar negara di dunia, utamanya negara-negara yang menjadi anggota Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan (High Level Panel Sustainable Ocean Economy/HLP SOE).

Sjarief menyebutkan, dalam dokumen Transformation SOE terdapat lima bidang prioritas yang didorong untuk bisa diperdalam lagi. Kelimanya yaitu, status kekayaan laut (ocean wealth), status kesehatan laut (ocean health), status manfaat sumber daya yang adil (ocean equity), ketersediaan pengetahuan laut (ocean knowledge), dan pembiayaan upaya kesehatan dan pengelolaan sumber daya laut (ocean finance).

perlu dibaca : Ini Tantangan Kondisi Maritim Indonesia untuk Keberlanjutan Perekonomian Laut

 

Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan para perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sinkronisasi Program

Agar kelima bidang prioritas tersebut bisa berjalan di Indonesia, diperlukan sinkronisasi dengan program yang dijalankan oleh KKP. Namun, untuk bisa menuju sinkronisasi, diperlukan dukungan internasional untuk menjadikan aktivitas perdagangan plasma nutfah, salah satunya benih bening Lobster (BBL).

Kemudian, perlu juga dilakukan penetapan wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 71 yang mencakup Laut Banda dan sekitarnya sebagai lokasi bebas tangkapan (no take zone) ataupun green environment.

Berikutnya, sinkronisasi yang perlu dilakukan adalah melaksanakan kesetaraan dalam menentukan tarif masuk produk perikanan ke negara-negara lain dari Indonesia. Tujuannya, agar pasokan pangan terutama yang dari laut dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Selain cara di atas, salah satu mewujudkan ekonomi kelautan yang berkelanjutan adalah dengan penerapan sertifikat Marine Stewardship Council (MSC) yang sudah menjadi standar global untuk memastikan kualitas dan ketertelusuran produk perikanan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, program laut berkelanjutan harus didukung penuh oleh masyarakat perikanan di seluruh Indonesia. Terutama, mereka yang berprofesi sebagai nelayan dan pelaku usaha perikanan, khususnya untuk komoditas Tuna dan Cakalang.

Menurut dia, sertifikat MSC diterbitkan oleh lembaga swadaya yang berbasis di Inggris dan berlaku selama lima tahun. Selama kurun waktu tersebut, setiap tahun dilakukan audit untuk memastikan pengelolaan perikanan masih memenuhi standar global dan berkelanjutan.

baca juga : Pertama di Dunia, Ratusan Nelayan Tuna Pulau Buru Maluku Raih Sertifikat Ekolabel MSC

 

Seorang nelayan dengan pancing ulur menangkap ikan tuna di perairan Pulau Buru, Maluku. sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning di Pulau Buru, Maluku, berhasil meraih sertifikat MSC. Foto : Indah Rufiati/MDPI

 

Perolehan sertifikat MSC ini, menjadi penanda bahwa Indonesia mendukung penuh pengelolaan perikanan berkelanjutan, sehingga populasi Tuna dan Cakalang bisa terjaga. Menjaga keberlanjutan ekosistem lautan ini juga menjadi salah satu fokusnya dalam memimpin sektor kelautan dan perikanan.

Salah satu lembaga yang berhasil mendapatkan sertifikat MSC tersebut, adalah Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI). Ketua AP2HI Janti Djuari menjelaskan, harga Tuna dan Cakalang dengan sertifikat MSC akan meningkat hingga 20 persen.

“Peningkatan harga ini tentunya akan berbanding lurus dengan kesejahteraan nelayan,” jelas dia.

Sertifikat MSC bisa diraih AP2HI, karena penangkapan ikan dilakukan dengan alat penangkapan ikan (API) ramah lingkungan. Dalam proses mendapatkan sertifikat, AP2HI melibatkan sekitar 380 kapal penangkap ikan yang ada di Sulawesi Utara, Maluku Utara, hingga Flores Timur dan Barat.

 

 

Keterangan foto utama : Nelayan Cilacap tengah mencari ikan di sekitar kawasan perairan selatan CIlacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version