Mongabay.co.id

Burung Endemik Maluku Utara Makin Terancam Kala Rumah Mereka jadi Kebun Sawit

Ribuan hektar kebun sawit itu dulu hutan dan kebun warga. Ia merupakan habitat satwa, termasuk burung endemik Maluku Utara. Ke manakah mereka kini kala habitat jadi kebun sawit? Foto: Ajun Thanjer

 

 

 

 

Kicauan burung di ranting pohon bikin Umar Hanafi penasaran. Lelaki 61 tahun ini mencari-cari asal suara khas itu di antara dahan-dahan pohon. Dari bunyi kicauan, Umar bisa menerka kalau itu burung luri merah yang lagi cari makan. Tak lama suara hilang, sepanjang perjalanan tak lagi terdengar suara burung.

Luri itu sebutan warga lokal untuk menyebut nuri, termasuk nuri merah (Eos bornea). Nuri ini punya belasan jenis.

Umar bilang, burung endemik ini sudah susah sekali ditemukan setelah ada kebun sawit skala besar.

Dia mengajak saya menyusuri perkebunan sawit PT. Gelora Mandiri Membangun (GMM), anak usaha Korindo Group. Jarak perkebunan dari pemukiman Desa Gane Dalam, Kecamatan Gane Barat, Halmahera Selatan, Maluku Utara, sekitar satu kilometer.

“Sebelum ada perkebunan sawit, ada kakatua putih, kakatua merah, hijau punya juga ada, banyak burung. Cuman sekarang, torang (kami) sudah susah dengar suara. Mereka (burung) punya kehidupan, juga sudah tidak ada tempat berteduh. Burung itu kan mesti ada pohon-pohon,” kata warga Gane Dalam ini sembari terus berjalan di perkebunan sawit.

Dulu, di kebun Umar, yang berada tidak jauh dari perkebunan sawit banyak sekali burung berterbangan. Di ranting-ranting pohon banyak burung hinggap. “Sekarang mau liat apa? Sudah tidak ada kayu untuk batera. Kemungkinan saja burung lari dimana yang ada hutan kosong, hutan yang masih anteru (utuh) tapi kalau disini memang susah.”

“Sekarang yang ngana (kamu) tanam jagung, yang tinggal makan itu babi, karena babi sudah tidak dapat hutan terpaksa duduk di lingkungan jorame (lahan kebun yang masih terdapat hutan), mereka tunggu pemilik kebun pulang lalu membabat habis tanaman warga.”

Ketua tim penolak sawit ini berdiri di samping tamanan sawit. Di belakangnya terbentang ribuan hektar sawit yang dulu adalah perkebunan warga.

Dia menunjuk ke arah kebun Sanusi Wahab. “Di sana itu kebun om Sanusi.” Kebun itu berada di tengah-tengah perkebunan sawit. Perusahaan sudah berupaya menggusur kebun itu, namun gagal karena warga menghadang alat berat sampai berujung pemenjaraan.

Sanusi termasuk satu dari 13 warga yang masuk penjara medio 2013 karena protes penyerobotan lahan kebun miliknya. Perusahaan berkilah warga menghalangi aktivitas pembukaan lahan dan merusak properti. Dalam proses putusan pengadilan tidak terbukti bersalah alias bebas murni.

Kebun milik Sanusi itu tidak dijual dan belum termasuk konsesi perusahaan. GMM yang memiliki izin perkebunan di Negeri Giman ini mulai membuka lahan pada 2012. Mereka mengantongi izin pelepasan pemanfaatan kawasan hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan ketika itu, MS Kaban, melalui SK Menhut Nomor SK.22/Menhut-II/2009.

GMM telah mengajukan surat permohonan untuk usaha budidaya perkebunan sawit pada 2007 dengan pertimbangan disesuaikan berita acara tata batas kawasan hutan untuk perkebunan sawit pada 24 Juni 2008. Walhasil, seluas 11.003,9 hektar hutan dan kebun jadi alokasi penggunaan lain (APL). Kemudian di lahan APL itu tumbuh sawit yang terbentang di belakang di tiga kecamatan, yakni, Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, dan Kepulauan Joronga. Dari Desa Gane Luar, Yamli, Gane Dalam, Jibubu tembus hingga di Paspipalele.

 

Baca juga: Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)

Perkebunan sawit PT GMM, anak usaha Korindo, yang berada di bagian timur Halmahera Selatan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Siang itu, kami melewati jalan berkerikil sepanjang hampir dua kilometer. Kami tidak tembus sampai di Gane Luar, Kecamatan Gane Timur Selatan tetapi menyusuri jalan hingga tembus di Desa Jibubu.

“Kebun warga memang tidak ada yang tersisa. Hanya milik beberapa orang yang mempertahankan saja hingga saat ini.”

Sejauh mata memandang, hamparan sawit membentang. Kebun yang belum tergusur hanya tampak jadi bercak. Luas tidak lebih dari satu hektar.

Hari itu, di perkebunan terlihat buruh sedang membersihkan gulma di bawah tanaman sawit. Di tengah terik matahari, dari jauh mereka terlihat menunduk sambil sebilah parang mengayun di atas tanah berumput.

Pada tapal batas yang dibikin warga sejauh satu kilometer dari pemukiman Desa Gane Dalam itu, sawit sudah banyak sekali. Rata-rata, pesisir jalan yang ada sawit sudah berbuah.

Konsesi perusahaan asal Korea ini berawal dari perusahaan kayu di Gane. PT Jati Maluku, beroperasi medio 1980-an. Kemudian Korindo masuk, lalu beralih jadi industri perkebunan monokultur, setelah tebang habis pohon. Bisnis serupa Korindo di Papua, dareah Boven Digoel dan Merauke.

“Sebelum terjadi pembukaan lahan besar-besaran dan hutan masih utuh, banyak jenis burung hinggap, termasuk di kebun warga,” kata Sanusi Wahab, warga Desa Gane Dalam. Dia sering melihat burung ketika mereka mencari makan, terutama saat pagi hari.

“Saat ini, ketika ke kebun, sudah jarang lihat. Entah lari kemana. Mungkin sudah tidak betah disini, karena makanan dan tempat tinggal sudah tidak ada,” kata lelaki lulusan Universitas Khairun itu.

Sanusi bilang, satwa di daerah sekitar juga sering mengharapkan makanan dari tanaman warga, namun karena kebun sudah tidak seperti dahulu, maka tidak heran satwa di sekitar hilang. Hama juga serang tanaman warga.

“Sekarang ini kebun warga bisa dihitung dengan jari, apalagi burung mau cari makan, manusia saja mau cari makan seperti pisang, buah-buahan itu sudah jarang, apalagi burung, yang setiap kali makan setiap saat makan.”

Kicauan burung perkici di sagu dan hutan mangrove masih sering terdengar. Namun, di kebun-kebun atau pinggiran kebun itu jarang sekali bahkan nyaris sudah tidak dengar. “Apalagi kita melihat. Itu yang kita pikirkan, kemana burung itu pergi, entah mungkin ada yang mati karena kelaparan atau seperti apa saya juga tidak tahu.”

Kasman Nurdin, Kepala Kecamatan Gane Barat Selatan, saat ditemui di Bacan 1 April lalu, mengatakan, sejak menjabat kepala wilayah disana, belum pernah sekali mendapatkan atau melihat burung endemik khas Maluku Utara.

Dia menduga, ini terkait pembabatan lahan berskala besar di Gane yang berdampak bagi kehidupan satwa.

“Secara langsung, ekosistem ini atau keragaman hayati yang hidup langsung sudah tergeser dari konsesi,” kata lelaki yang pernah bekerja di Burung Indonesia itu.

 

Baca juga: Setelah Kehadiran Sawit di Gane, Begini Nasib Warga dan Lingkungan

Kakatua putih sitaan di kandang transit BKSDA Ternate.  Perburuan sudah jadi ancaman nyata bagi burung endemik Malut, tambah lagi habitat tergeruk makin menambah keterancaman mereka. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

***

Sore hari, akhir Maret lalu, Yani Mukmat duduk bersama anak perempuannya di kebun kecil milik mereka tak jauh dari pemukiman. Kebun itu sekitar 500 meter. Mereka sedang membersihkan gulma.

Di sana ad a tanaman rica (cabai), tomat, pisang, termasuk beberapa cengkih dan pala. “Untuk kebutuhan makan saja, tidak lebih. Saya kan sudah tua. Tanah ini untuk anak-anak cucu saya nanti,” kata perempuan asal Gane Dalam ini. Dia gigih berjuang mempertahankan lahan dari ancaman sawit.

Mama Yani, begitu orang-orang menyapanya, tak sedikitpun ciut bila ikut protes perusahaan. Di kebun itu, ada sebuah bivak. Lantai gunakan kulit batang sagu termasuk atap dari anyaman daun. Hanya sebelah kiri, ada dinding papan, tidak semua tertutup.

Daerah Gane, mata pencarian warga memang bertani dan berkebun, tanam cengkih, pala dan kelapa. Kelapa buat kopra atau bikin minyak goreng bahkan manisan.

Lewat dampingan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara, warga juga tahu olah produk buah dari hutan bakau di pesisir Gane untuk jadi produk pangan. Warga punya koperasi. Pangan olahan ini jual di koperasi.

Upaya ini bagi warga bisa menjaga keberlanjutan usaha desa yang tergantung pada hutan. Hutan tersisa di wilayah semenanjung ini menyediakan sumber pangan, obat-obatan, bahan bangunaan dan air bersih secara berkelanjutan bagi masyarakat.

Ahmad Rusydi Rasjid, Direktur Walhi Maluku Utara mengatakan, GMM telah menghancurkan lansekap hutan primer di Teluk Gane. Mereka tidak mempertimbangkan kehidupan masyarakat yang tergantung pada hutan alam.

Perusahaan juga, katanya, mempersempit aksesibitas warga Gane terhadap hutan dan lahan termasuk sumber-sumber air, seperti sempadan sungai dan sarana-sarana penunjang hidup lain.

Walhi Malut belum punya data lengkap terkait keterancaman satwa dan habitatnya. Namun, bagi Ahmad, pembukaan lahan tentu mengancam satwa yang awalnya hidup di sana.

“Ketika pohon digusur, pembukaan lahan, makanan (pakan) sudah tidak ada, mereka akan pindah tempat,” ujar Ahmad.

Dalam laporan yang rilis 2016 berjudul,“Malapetaka: Korindo, Perampasan Tanah & Bank,” menyebutkan saat ini, GMM/Korindo ingin menguatkan usaha di Gane dengan membangun pabrik sawit, dan memperluas wilayah usaha dengan mengambil alih tanah pertanian dan hutan alam.

Dalam laporan itu BPN mengonfirmasi, GMM belum memiliki HGU jadi diduga beroperasi ilegal sejak 2012. Surat yang dikirim Korindo pada 2018 menyiratkan, perusahaan mengajukan permohonan HGU dengan memodifikasi batas wilayah.

Walaupun HGU adalah dokumen publik, Korindo menolak memberikan jawaban apakah HGU sudah terbit dan kapan terbit. Dari analisis satelit menunjukkan, GMM membuka wilayah di luar batas usulan HGU termasuk tanah seluas 231 hektar dekat Desa Sekely pada 2015.

Soal ini saya coba konfirmasi ke Fachruddin Tukuboya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara, namun dia tidak bisa berkomentar. Dia menyarankan, temuan-temuan itu diadukan ke DLH Malut.

“Bikin pengaduan resmi saja ke kita (DLH)…Temuan begitu jangan main di media, bikin aduan resmi, temuannya seperti apa,” kata Fachruddin saat dihubungi 11 April lalu.

Dia bilang, kalau ada temuan Walhi, laporkan secara tertulis. “Nanti kita coba tindaklanjuti sesuai SOP (standard operating prosedure) yang disepakati di kantor untuk pengawasan dan pembinaannya,” katanya.

 

Baca juga: Laporan Terbaru Ungkap Pelanggaran Perusahaan Sawit Korindo di Gane

Mama Yani, di tempatnya berteduh di kebun yang hanya 500 meter. Foto: Ajun Thanjer

 

Habitat hilang, burung terdesak

Rosek Nursaid, Ketua organisasi independen Protection of Forest & Fauna (ProFauna) Indonesia mengatakan, kebutuhan burung di suatu ekosistem jelas terganggu bila beberapa hal ini sudah tidak ada. Pertama, kebutuhan pakan, misal kakatua putih itu pemakan biji dan buah, ketika itu berubah jadi sawit, tentu ketersediaan pangan akan berubah.

Kedua, kebutuhan habitat, ruang dan tempat tinggal untuk bersarang, dan bertelur. Tentu burung akan memerlukan prasyarat-prasyarat tertentu yang terkait jenis pohon yang sudah bertahun-tahun mereka tempati.

Ketiga, burung yang sudah terbiasa dengan pola-pola perilaku yang membutuhkan keragaman jenis pohon untuk bertengger dan bersosialisasi dengan sesama.

“Ketika itu menjadi homogen, jadi tanaman sawit semua tentu akan mengganggu. Ketika mereka terganggu, stres, mereka akan tersingkir secara alami karena tidak bisa menyesuaikan diri. Jenis-jenis burung seperti nuri, kakatua, itu kan tidak ditemukan di perkebunan sawit.”

Bagaimana kalau burung-burung hadapi situasi seperti itu? Rosek bilang, yang pasti mereka terancam punah. “Itu pasti, karena prasyarat-prasyarat mereka berkembang biak tidak terpenuhi ketika itu menjadi tanaman yang bersifat homogen. Mereka pasti akan tersingkir.”

Burung memang tidak bisa bertahan hidup di perkebunan sawit, kalau terpaksa bertahan maka kepunahan lokal bisa terjadi. “Bisa jadi mereka punah secara lokal. Artinya, punah di tempat itu, bila itu kemudian perkebunan sawit meluas, bisa jadi kepunahan akan makin luas.”

Dia kahwatir burung-burung endemik Maluku Utara terancam punah. “Jadi, kalau kemudian di tempat itu punah, ya berarti punah total dong di alam, karena mereka hanya endemik di situ,” kata Rosek.

Laporan ProFauna Indonesia pada 2017 menyebutkan, sekitar 3.000 burung endemik macam kakatua putih (Cacatua alba), kasturi Ternate (Lorius garrulous), dan bayan (Ecletus rotarus) ditangkap di Halmahera Selatan dan diselundupkan di Pulau Jawa, Sulawesi hingga Filipina.

Penangkapan ini sudah terjadi sejak lama dan dalam skala cukup besar. Rosek bilang, ketika kemudian habitat juga terancam berarti mereka menghadapi dua ancaman besar selain ditangkap juga habitat berkurang.

Walau larangan perdagangan satwa dilindungi sudah ada melalui UU Nomor 5/1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistennya dan PP Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, namun penangkapan dan penyelundupan kian mengkhawatirkan.

Benny Aladin, dari organisasi Burung Indonesia bagian Biodiversity Conservation Officer juga menegaskan, perubahan hutan alam menjadi kebun sawit jelas mengusir burung seperti paruh bengkok.

“Tidak ada jenis paruh bengkok asal Maluku Utara bisa hidup di tanaman monokultur seperti sawit,” katanya.

Dia bilang, kemungkinan terjadi adalah burung pindah ke lokasi berhutan. Meskipun begitu, kalau hunian baru tak dapat menyokong sumber pangan, kepunahan lokal bisa terjadi.

“Ini fenomena memang sudah terjadi, beberapa daerah Maluku Utara dulu melimpah paruh bengkok sekarang sulit. Bahkan sudah tidak ada.”

Burung-burung seperti kakatua putih, kasturi ternate, nuri kalung-ungu, nuri bayan, katanya, sebetulnya sudah sangat terancam oleh perilaku perburuan yang tidak pernah berhenti. “Ditambah lagi pembukaan hutan untuk industri monokultur. Ini ibaratnya ancaman jadi dobel (ganda).”

Dia mendesak, harusnya pemerintah jadikan isu perlindungan burung-burung endemik masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Dengan begitu, pemerintah daerah punya kegiatan berkaitan dengan perlindungan atau konservasi satwa di wilayahnya.

Abbas Hurasan, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku Wilayah I Ternate, tidak menjelaskan gamblang saat ditanya dampak pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan monokultur di Gane. Dia bilang, soal dampak dan perizinan itu terkait tanggung jawab Dinas Kehutanan atau instansi terkait.

BKSDA, katanya, belum pernah inventarisasi atau pengamatan burung di wilayah pertambangan atau perkebunan sawit. Dia katakan, selain minim personil di lapangan, mereka juga hanya fokus memantau dan melihat pada tupoksi kerja di kawasan konservasi, terutama cagar alam.

“Kami tidak mencampuri ke tingkat masalah kawasan hutan, kecuali kalau mereka (perusahaan) lakukan itu (pembukaan lahan) di dalam kawasan konservasi. Ya disitulah peranan kami,” kata Abbas.

Namun, katanya, mungkin sudah ada kajian jelas dari dinas terkait yang memberikan perizinan. “Jadi, kami tidak bisa melarang ke tingkat itu karena itu bukan kewenangan kami.”

 

Kebun warga dan hutan berubah jadi kebun sawit. Foto: Ajun Thanjer

 

Namun menurut Rosek Nursahid, masalah sumber daya alam hayati termasuk satwa-satwa liar itu termasuk tupkosi kerja BKSDA. Mereka, katanya, harus memberikan perhatian serius pada spesies, termasuk burung bila terjadi keterancaman.

“Satwa itu walaupun tidak berada di kawasan konservasi, tetap itu BKSDA punya kewenangan. Kekurangan personil itu alasan klasik ya, dimana-mana juga kurang personil. Artinya, tugas untuk memastikan tidak ada spesies terancam punah, tidak ada spesies hilang, itu tetap tupoksi BKSDA.”

Soal burung-burung mulai jarang, M. Nasir Tamalene, pengajar Jurusan Biologi juga Ethnobiology & Wildlife Conservation curiga ada kaitan dengan izin tambang dan sawit di Maluku Utara. Baginya, eadaan ini ancaman bagi kehilangan spesies-spesies kunci di hutan yang menjadi habitat satwa liar terutama satwa endemik.

Burung, misal, setiap spesies memiliki kemampuan daya jelajah, strategi memperoleh pakan dan habitat berbeda atau sama dalam satu kawasan hutan. “Jika habitatnya rusak maka hilanglah interaksi antar spesies burung itu,” kata Naser.

Hal paling buruk, katanya, rantai makanan dari burung-burung ini terputus. Mereka akan bermigrasi ke tempat lain. “Ketika hutan jadi kebun sawit, yang terjadi migrasi spesies hewan ke habitat baru. Di dalam habitat baru butuh adaptasi, jika tidak bisa adaptasi maka punah. Kenapa? Karena ada banyak persaingan antar dan inter spesies.”

Di tempat baru, katanya, banyak persaingan karena hewan seperti burung memiliki wilayah jelajah berbeda. “Makin banyak individu akan berpengaruh pada ketersediaan pakan.”

ProFauna Indonesia dan organisasi Burung Indonesia meminta pemerintah daerah dan perusahaan harus turut menjaga kelestarian satwa terutama burung-burung endemik di Maluku Utara. Kondisi burung-burung endemik ini, sudah terancam.

Rosek meminta, pemerintah daerah mengeluarkan perda untuk melarang total penangkapan jenis burung apapun dari alam di Halmahera Selatan.

Perusahaan sawit, kata Rosek, harus bertanggung jawab menjaga kelestarian keragaman hayati dan punya kawasan alami untuk jadi bagian dari hutan konservasi sebagai kontribusi terhadap perlindungan kawasan.

“Harus ada tanggung jawab dari perusahaan dan pemerintah untuk memastikan, tidak ada kerusakan-kerusakan lingkungan terutama terkait keberadaan satwa itu harus diperhatikan,” katanya.

Selain itu, kata Benny, pemerintah daerah harus penyadartahuan di desa-desa sekitar perusahaan agar masyarakat memahami burung lebih bernilai daripada sekadar jadi satwa peliharaan.

Saya berupaya mengonfirmasi GMM/Korindo perihal keterancaman satwa ini, namun sampai tulisan ini terbit belum ada respon.

 

 

Ajun Thanjer adalah penulis di Maluku Utara. Tulisan ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Nuri Ternate hasil sitaan dari perdagangan ilegal yang siap dilepas di kandang utama di kawasan puncak Domato

 

****

Foto utama: Hutan dan kebun-kebun warga sudah berubah jadi tanaman monukultur, sawit di Gane. Ribuan hektar. Hutan dan kebun itu merupakan habitat satwa, antara lain burung endemik Malut. Ka manakah burung-burung itu kini kala rumahnya jadi kebun sawit? Foto: Ajun Thanjer

Exit mobile version