Mongabay.co.id

Dampak Perubahan Cuaca, Pendapatan Nelayan Rajungan Menurun

 

Pagi menjelang siang, puluhan perahu berukuran 7 Gross Tonnage (GT) bersandar rapi di tempat pendaratan perahu di pesisir pantai Desa Tunggul, kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Di tengah cuaca yang terang itu angin bertiup kencang, membuat perahu dengan corak yang beragam ini bergoyang-goyang diterjang gelombang.

Antara perahu satu sama lain berjarak, sehingga beruntung tidak membuat perahu-perahu ini benturan. Para nelayan setempat biasa menggunakan perahu ini untuk mencari hasil tangkapan di perairan laut Jawa. Suasana tampak sepi, hanya ada dua orang terlihat tengah memperbaiki jaringnya yang rusak.

“Sekarang ini hasil tangkapan semakin sepi. Cuaca makin hari makin tidak menentu, tidak bisa ditebak,” keluh Mulianto (37) disela aktifitasnya memperbaiki alat tangkap yang mata jaringnya berukuran sekitar 3 inchi itu, Rabu (14/03/2021).

baca : Nelayan Masih Nekat Melaut Meski Kondisi Cuaca Buruk

 

Saat cuaca buruk kebanyakan nelayan tradisional tidak berangkat melaut, sebagian memilih untuk memperbaiki perahu miliknya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kondisi ini, lanjut pria dua anak itu, membuat para nelayan urungkan niat untuk mencari nafkah. Akibatnya, penghasilan mereka untuk keluarga menjadi berkurang. Padahal semestinya pada bulan puasa ini sedang musim rajungan (Portunus sp.), tetapi karena kondisi cuaca yang tidak stabil nelayan tidak banyak yang pergi melaut.

Selain rajungan sebagai tangkapan utama, untuk sampingannya nelayan setempat juga menangkap cumi-cumi (loligo) dan ikan.

 

Cuaca Seringkali Berubah

Mulianto bercerita cuaca dulu dengan sekarang ini berbeda. Jika dulu cuaca bisa ditebak, sekarang ini susah. Dewasa ini cuaca seringkali tiba-tiba berubah memberikan tekanan pada nelayan.

Umpamanya musim angin timur yang semestinya menjadi musim laut tenang bagi nelayan saat mencari rajungan di laut, tiba-tiba angin barat datang. Kedatangan angin barat ini membuat nelayan tradisional merasa kesulitan mencari tangkapan. Sebab kedatangan angin barat ini selalu disertai dengan gelombang besar, sehingga resiko yang dihadapi juga tinggi.

baca juga : Nelayan Kalbar, Bergelut dengan Pandemi dan Cuaca

 

Adanya kapal-kapal berukuran lebih besar dari perahu milik nelayan rajungan ini juga menjadi faktor penghambat pendapatan nelayan menurun. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

“Sekarang ini panasnya juga berbeda, panas-panas dingin. Keluarnya ikan pun menjadi berbeda-beda. Di laut, saat cuaca panas tiba-tiba ada dinginnya. Itu ikan jadi tidak betah,” ujar pria yang mengaku merasakan perubahan cuaca ini sejak 10 tahun lalu. Akibatnya, hasil tangkapan makin hari makin menurun.

Dulu, sekali melaut dia bisa membawa pulang hasil tangkapan hewan yang masih sekelompok kepiting dari beberapa marga anggota suku Portunidae ini antara 15-30 kilogram. Sekarang ini hasil tangkapan tambah merosot, paling-paling pulang hanya dapat 3-5 ekor rajungan.

Hal senada disampaikan Miftakhur Rohim (43), pria yang menjabat sebagai ketua Rukun Nelayan (RN) Citra Samudra Desa Kemantren, Kecamatan Paciran, ini menjelaskan, biasanya di tahun-tahun lalu pada bulan April ini musim baratan sudah selesai.

Padahal musim baratan yang biasanya dimulai dari bulan Desember itu berakhir pada bulan Maret. Tapi sampai sekarang ini masih ada. Artinya masih berlanjut musim baratan atau warga menyebutnya dengan musim angin barat. Pada musim ini nelayan tidak banyak yang berani melaut. Bila terpaksa melaut karena persediaan sudah habis.

“Sedangkan nelayan disini kan harian, kalau tidak melaut ya tidak dapat hasil. Apalagi tahun ini kata orang pemerintah nelayan tidak dapat bantuan karena anggarannya dialihkan untuk penanganan COVID-19,” kata Miftakhur seusai mengecek perahu miliknya, Kamis (15/04/2021) petang.

baca juga : Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing

 

Nelayan rajungan membersihkan sampah plastik yang tersangkut jaring miliknya di Desa Tunggul, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Sampah menjadi salah satu permasalahan yang di hadapi nelayan saat mencari rajungan di lautan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Biasanya, kata dia, di tahun-tahun sebelumnya itu dapat bantuan dari dinas terkait terutama alat tangkap seperti jaring atau wuwu yaitu alat tangkap tradisional untuk menangkap rajungan.

Pria yang juga seorang petani ini melanjutkan, permasalahan yang dihadapi nelayan sekarang ini kompleks, tidak hanya cuaca yang tidak menentu saja, adanya kapal-kapal jangkar liar dan limbah pabrik yang mencemari lautan juga menjadi ancaman yang nyata bagi keberlangsungan ekosistem laut.

Selain itu, pendangkalan pesisir pantai juga menjadi faktor menurunnya hasil tangkapan nelayan. Dengan berbagai permasalahan yang dihadapi para nelayan rajungan ini Miftakhur berharap menjadi perhatian pemerintah baik ditingkat daerah maupun pusat.

baca juga : Gelombang Tinggi dan Angin Kencang Buat Nelayan Terpuruk

 

Miftakhur Rohim (43), ketua Rukun Nelayan (RN) Citra Samudra Desa Kemantren, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, menunjukkan rajungan dan kepiting hasil tangkapannya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Alternatif Usaha

Perubahan cuaca sudah dirasakan secara langsung pada sektor perikanan dan kelautan. Karena nelayan mengandalkan laut sebagai sumber mata pencaharian dalam kehidupan, nelayan tangkap sangat rentan dengan dampak perubahan dan variabelitas iklim.

Untuk mengurangi ketergantungan pada tangkapan di laut, Thoha Muslich, Penyuluh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lamongan mengatakan, salah satu upaya yang pernah dilakukan oleh pihaknya yaitu mengadakan kegiatan restocking dengan menebar ribuan benih rajungan dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara di perairan Desa Kemantren.

“Sebagai alternatif usaha, kita uji selama sebulan. Ternyata di kalangan nelayan sendiri ada konflik. Sehingga alternatif usaha ini tidak berjalan dengan baik, sekarang mangkrak,” ujarnya saat ditemui pada, Kamis (15/04/2021).

 

Rajungan (Portunus sp.) hasil tangkapan nelayan. Sekarang ini hasil tangkapan rajungan tambah merosot, paling-paling pulang hanya mendapatkan 3-5 biji rajungan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sebenarnya, lanjut pria yang sudah 10 tahun melakukan penyuluhan di wilayah tersebut, pihaknya sudah memberikan pelatihan-pelatihan pengolahan ikan dan rumput laut, terutama kepada ibu-ibu nelayan.

Hanya dirinya tidak bisa memprediksi para ibu-ibu nelayan ini mau melanjutkan atau mem-follow up hasil dari pelatihan tersebut atau tidak. “Karena juga mungkin sudah terbiasa berharap mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga tidak dilanjutkan,” katanya.

Sebelum ada COVID-19 ini pihaknya juga mengupayakan untuk mengajak ibu-ibu nelayan memanfaatkan atau mengolah kulit rajungan. Karena di tahun 2020 ada pengalihan anggaran karena COVID-19 ini sehingga gagasan tersebut masih belum terlaksana.

 

Sebelum di jual ke pengepul, sebelumnya rajungan di proses oleh istri nelayan di rumah terlebih dahulu. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version