Mongabay.co.id

Cerita Perempuan Adat Rakyat Penunggu Bangun Kemandirian Pangan

 

 

 

 

Riuh terdengar di Kampung Menteng Tualang Pusu dan Kampung Saentis, Deli Serdang, Sumatera Utara, medio April lalu. Pagi itu, para perempuan adat berkumpul untuk memanen di kebun dan sawah mereka. Anak-anak berlari sambil bermain di kebun dan sawah begitu ceria.

Di Kampung Saentis, para perempuan adat Rakyat Penunggu akan panen padi dan sayur mayur. Di Kampung Menteng, mereka bersiap panen sayur sayuran dan ternak. Di tengah kemeriahan panen ini, para perempuan adat berada dalam kegundalan adat mereka akan hilang karena pemerintah berikan izin kepada pemodal.

Meliana Yumi, perempuan adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng Tualang Pusu, juga Dewan Nasional Perempuan AMAN Region Sumatera bercerita, asal muasal mereka bercocok tanam. Awalnya, ketika bertani dan beternak Kampung Menteng tidak dianggap. Mereka dipandang hanya pelengkap di dalam lembaga adat. Mereka pun tidak boleh ikut dalam pengambilan keputusan.

Pada 2014, mereka membuat satu perkumpulan yaitu perwiritan ibu-ibu awalnya berjumlah 10 orang, sekarang anggota sampai 150 orang. Pada 2016, perempuan adat Kampung Menteng Tulang Pusu diminta ketua kampung untuk bergabung menjadi anggota Perempuan AMAN.

Pada Februari tahun 2016, mereka mulai banyak belajar berorganisasi di dalam lembaga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Mereka belajar mengadvokasi diri terutama advokasi kampung hingga para perempuan adat menunjukkan keberanian meminta kepada lembaga adat, terutama ketua kampung untuk masuk dalam struktur organisasi dan struktur kelembagaan adat.

Awalnya, mereka tidak diterima, namun tak berhenti sampai di situ. Pada 2018, para perempuan adat mulai membentuk kebun kolektif di kampung dan bekerja sama dengan seluruh anggota Perempuan AMAN.

Awalnya ada keraguan mengelola kebun, karena ada keyakinan bisa menunjukkan keberadaan perempuan adat, bukan hanya dengan pengurus kampung.

“Kami menyatakan diri kami bukan penggarap. Kami adalah perempuan adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng Tualang Pusu. Kebun yang kami tanam menghasilkan panen baik seperti sayuran kangkung dan bayam. Kami tunjukkan kepada bagi yang memandang kami sebelah mata,” kata Yumi.

 

 

Baca juga: Wilayah Adat Rakyat Penunggu Terancam Proyek Deli Megapolitan

 

 

Pada 2019, perempuan adat berani menunjukkan bukan hanya di kelembagaan adat, di kampung juga di seluruh kampung Rakyat Penunggu. Perempuan adat mulai berani mengkritik pemangku-pemangku adat yang menyalahi aturan hukum adat di kampung.

Kemudian perempuan adat mulai berani masuk mengambil posisi strategis dalam struktur organisasi. di kelembagaan adat kampung masing-masing.

Dalam 2020, perempuan adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng akhirnya diakui pemangku adat bahwa pengambil keputusan ada di tangan perempuan adat.

Kebun kolektif terlihat memberikan kontribusi peningkatan ekonomi di kampung dan mulai diakui warga di luar Kampung Menteng Tulang Pusu.

Para perempuan adat kemudian lakukan pendataan warga, penilaian ekonomi dan pemetaan partisipatif. Data ini mereka bawa bersama pengurus kampung untuk jadi data konkrit di desa. Tak menunggu lama, dua minggu kemudian kepala desa langsung mensurvei wilayah adat Kampung Menteng Tualang Pusu. Pada 24 Juli 2020, perempuan adat mendapatkan surat keputusan dari kepala desa terkait pengakuan keberadaan masyarakat adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng Tualang Pusu.

Dari sini, para perempuan adat mulai melebarkan konsep mulai berkebun, bertani lalu mencoba beternak lele dan bebek.

Mereka mengajak bapak-bapak dan pemuda bersama-sama mengelola ternak yang diinisiasi perempuan adat.

Hasil kebun dan pertanian mereka jual langsung ke pasar. Ada juga langsung ke warung-warung atau kedai. Kalau sudah panen raya, satu hari bisa menjual sampai 250 ikat kangkung Rp1.000 per ikat. Panen raya ini selama seminggu sampai 10 hari, rata-rata bisa mendapat Rp2,5 juta dalam waktu 10 hari.

Inilah yang membuat mereka bisa bertahan hidup meski di tengah pandemi.

Hasil penjualan mereka kontribusikan buat organisasi. “Ini kami melakukan secara transparan.”

Untuk ternak lele sudah ada penampung, menerima berapa pun panen warga. Setiap panen bisa 200-300 kilogram, tergantung harga pasar. Kalau harga pasar bagus, bisa Rp20.000 per kilogram. Harga normal Rp14.000 per kilogram. Dengan memelihara ternak lele, katanya, keperluan ekonomi bisa terpenuhi baik untuk sehari-hari bahkan bisa menyekolahkan anak.

Selain bertani berkebun dan beternak lele, perempuan adat juga mengembangbiakkan bebek petelur. Bebek-bebek ini dukungan dari PB AMAN yang langsung ke kampung melalui perempuan adat. Saat panen sudah ada penampung.

Warga-warga yang masih ada lahan kosong sekitar rumah buat kolam ikan. Setiap rumah dapat bibit 50-100 ekor.

 

Panen cabai perempuan adat Rakyat Penunggu. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

***

Di tengah geliat ekonomi mandiri perempuan adat Kampung Menteng ini, ada kekhawatiran besar apabila wilayah adat mereka hilang atau terrampas.

Tanah adat inilah tempat mereka hidup. Mereka bisa mandiri pangan tanpa menanti bantuan pemerintah walau masa pandemi. Pemerintah desa pun mengapresiasi mereka.

Kini, wilayah adat mereka terancam proyek Kota Deli Megapolitan. Kalau sampai proyek ini jalan, habis semua kerja keras perempuan adat. Bayang-bayang kemiskinan menghantui mereka.

“Kalau proyek ini berjalan kami tetap melawan, mempertahankan wilayah adat kami,” kata Yumi.

Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan AMAN menjelaskan, biasa stigma melekat ke perempuan adat itu bodoh, tidak punya pengetahuan. Padahal kalau melihat hasil di kampung, perempuan adat tumpuan pangan dan pengetahuan. Perempuanlah yang mengenal segala macam benih unggul, mereka mempelajari sendiri pengetahuan secara kolektif benih-benih itu.

Perempuan adat bisa menghasilkan benih cukup banyak. Perempuan adat dekat dengan alam, mereka bisa melihat situasi. Para perempuan adat, misal, mengetahui kapan muncul hama. “Itu mereka pelajari dari alam.”

Proses-proses ini, kata Devi, ditemukan di berbagai komunitas adat hanya tidak terdokumentasi.

Devi bilang, perempuan adat adalah penjaga ketahanan hidup keluarga dan komunitas. Peran utamanya, sangat strategis, mereka yang membuat gerakan masyarakat adat bertahan sampai sekarang. “Kuncinya, ada di tangan perempuan adat, logistik bisa dipenuhi sendiri tidak ada yang menghalangi kerja- kerja itu sendiri.”

Bagi perempuan, masa depan itu soal kehidupan berkualitas, memastikan anak-anak mereka tetap hidup di tanah yang mereka taruh atau tahu sejarahnya. “Ini merupakan proses luar biasa menarik dari perempuan adat dalam mempertahankan wilayah adatnya.”

Kalau dari pengalaman di Kampung Menteng, perempuan adat melihat penting bagi mereka kembali ke pertanian karena sumber hidup ada di situ. Jadi, dengan mengurangi membeli dari luar dan mulai kembali hidup dari tanah adat sendiri.

Devi menyatakan, panen padi di tengah kota ini proses luar biasa, di tengah-tengah penghancuran Masyarakat Adat Rakyat Penunggu.

Proses-proses ini, katanya, bahkan menghasilkan pengakuan dari negara terbukti dengan SK dari lima kepala desa keluar dari tiap kepala desa di Deli Serdang.

 

 

Perempuan Adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

****

Foto utama: Perempuan adat Rakyat Penunggu di Kampung Menteng, membangun kemandirian pangan. Di tengah semangat itu, mereka sedang terancam rencana pembangunan proyek Deli Megapolitan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version